Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Mencari jalan islam yang berliku...

Islamisasi di pakistan pasang surut. kaum politisi tak sependapat dengan para mullah, islam menjadi dasar negara. ali bhutto memadukan islam dengan sosialisme. ia digantung zia ul haq, demokrasi belum sempurna.

26 November 1988 | 00.00 WIB

Mencari jalan islam yang berliku...
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
MUNGKIN, mulanya adalah Iqbal. Pemikir Muhammad Iqbal (1876-1948), yang hidup di bagian Islam dari India, sejak 1909 bercita-cita: muslimin India mesti punya negara sendiri. Kemudian ada Mohamed Ali Jinnah. Dialah yang mendesakkan perpisahan India itu menjelang kemerdekaan diberikan kepada Inggris, suatu hal yang sangat memasygulkan Gandhi, tokoh pemersatu dan pemimpin rohani India itu. Boleh jadi, hasrat perpisahan itu berdasarpada kenyataan praktis. Mayoritas penduduk India adalah golongan Hindu. Dalam sistem kasta di sana, letak orang Islam tak jelas -- dan dalam kenyataannya dipandang rendah. Umat Islam umumnya melarat. Soal perbedaan ekonomi dan agama ini meledakkan kerusuhan berkali-kali. Lalu Pakistan pun berdiri. Tapi apakah negeri orang muslim ini harus jadi suatu negara dengan hukum Islam, dan diperintah oleh para pemimpin agama, belum ada kesepakatan. Jinnah bukanlah seorang ahli hukum Islam. Bagi Jinnah, Islam identik dengan nasionalisme: muslimin India ogah diperintah oleh mayoritas Hindu. Tanpa sempat merumuskan secara jelas, Jinnah memandang Islam sebagai suatu aturan sosial. Tak aneh bila kemudian terjadi beda pandangan. Ada golongan yang memandang Islam sebagai sumber nasionalisme belaka, ada yang menginginkan terjelmanya Pakistan di bawah hukum Islam yang komplet. Begitu negeri berdiri, para ulama menuntut agar Islamisasi dijalankan. Kaum politikus menolak. Mereka ragu, karena jika begitu, mereka tak sah lagi untuk tampil sebagai pemimpin. Yang merasa sah adalah ulama. Ada juga yang menganggap pengislaman negara Pakistan akan mengurangi kemungkinan partisipasi rakyat dalam menentukan hukum. Sebab, pada akhirnya, yang menentukan hukum adalah ulama. Maka, selama masa demokrasi parlementer (1947-1958), suatu proses tarik menarik terjadi. Januari 1951, suatu kongres yang dihadiri oleh 31 ulama yang mewakili berbagai aliran terbesar Islam dengan suara bulat mengesahkan sebuah resolusi yang mengajukan prinsip-prinsip negara Islam. Konstitusi Pakistan harus sejalan dengan prinsip itu. Dua tahun kemudian mereka berkongres lagi dan mereka menuntut agar pemerintah membentuk Mahkamah Agung yang beranggotakan lima ulama. Dalam kedua kongres itu, para ulama dengan tegas mendukung hak-hak asasi yang diberikan oleh hukum Islam kepada semua warga negara, muslim atau bukan. Yang belum jelas memang bagaimana partisipasi politik rakyat diatur. Seorang ulama terkemuka, Maulana Abulala Maududi, menegaskan bahwa warga yang bukan muslim tak bisa disertakan dalam peran legislatif yang akan menafsirkan hukum Islam. Dari sini juga para politikus menarik kesimpulan bahwa akhirnya memang kaum ulama menganggap diri paling berhak merumuskan dan mengatur hukum. Tapi sementara itu, para politikus merasa -- dengan berdirinya Pakistan -- bahwa mereka harus menunjukkan ikatan hati dengan gagasan negara Islam. Masalahnya ialah: bagaimana menafsirkan hal itu. Liaquat Ali Khan, perdana menteri pertama Pakistan, termasuk yang punya interpretasi sendiri. Ia mengatakan bahwa negara telah terbentuk, dan tugas negara tak lebih daripada membiarkan kaum muslimin menganut dan menjalankan hal-hal yang mereka percayai. Ia menekankan pula bahwa seluruh rakyat, termasuk yang non-muslim, punya hak dan kedudukan sama. Ali Khan ini bahkan menegaskan, para ulama salah ketika mengatakan bahwa seorang bukan muslim tak boleh jadi kepala negara. Ia menganggap tafsiran dari "yang menamakan diri ulama" sebagai "musuh Islam", yang akan "menghancurkan Pakistan". Kata-kata itu keras, tapi beberapa anggota Konsituante memang menyerang apa yang mereka sebut sebagai "mullahisme". Bagi mereka, bukan hanya ulama, kaum mullah, yang berhak menafsirkan Islam. Orang lain juga berhak. "Jika kaum muslimin tak memilih mereka, hak mereka apa untuk memutuskan apa yang sesuai dengan Quran dan Sunnah?" tanya seorang anggota. Perdebatan itu -- antara kaum ulama yang menginginkan berlakunya hukum-hukum agama dan politikus yang hanya mau negara yang bernapaskan Islam -- berlarut terus selama sembilan tahun. Tak ada yang bisa menyelesaikan secara tuntas. Para politikus umumnya berorientasi ke Barat. Kaum ulama, yang hanya mendapat pendidikan tradisional, kurang memahami dasar dan kompleksitas sebuah negara modern. Hasilnya: kompromi. Ini nampak dalam Konstitusi 1956. Konstitusi itu menyebut nama negara sebagai Republik Islam Pakistan. Asasnya demokrasi Islam. Presiden harus seorang muslim, sedangkan semua UU dan peraturan tak boleh bertentangan dengan Quran dan Sunnah. Tapi kemudian, terjadi perkembangan politik yang tak bisa diselesaikan dengan konstitusi. Berbagai krisis melanda Pakistan. Demokrasi parlementer menggoyahkan stabilitas administrasi waktu itu. Pada 7 Oktober 1958, Presiden Iskandar Mirza mengumumkan pembekuan konstitusi, pembubaran DPR pusat dan provinsi, dan pembubaran partai-partai politik. Negara dinyatakan dalam bahaya. Ia kemudian menunjuk Panglima Angkatan Bersenjata Jenderal Ayub Khan sebagai kepala pemerintah militer. Beberapa hari kemudian Presiden Mirza menyerahkan kekuasaannya kepada Ayub Khan. Ayub Khan berusaha membentuk suatu pemerintah pusat yang kuat. Dan jenderal lulusan Royal Military College di Sandhurst ini ebih terbiasa dengan tata cara opsir Inggris ketimbang peri laku dan pandangan seorang pemimpin Islam. Ia memandang rendah kaum ulama, yang dianggapnya kolot dan hanya memandekkan dinamika yang dibawa Islam. Bagi Ayub, Islam yang menghancurkan penyembahan berhala, oleh para ulama, telah dijadikan berhala baru. Kaum militer, birokrat tinggi, tuan tanah, industrialis, pengusaha besar, dan banyak cendekiawan mendukung sikap dasar Ayub Khan. Juga, sebagian ulama. Tapi sebagian besar kaum mullah ini menentangnya. Terutama terhadap undang-undang yang membatasi poligami, terhadap kontrol pemerintah atas kekayaan yang dihibahkan untuk agama dan terhadap rencana keluarga berencananya. Di bawah Ayub yang keras sikapnya seperti itu, ketegangan memang memuncak. Terutama ketika ketimpangan ekonomi nampak di bawah cara pembangunannya di akhir 1960-an. Juga, korupsi dituduhkan kepada keluarganya, dan ini semua tentu ada hubungannya dengan kekuasannya yang otoriter. Tak kurang gawat adalah kian retaknya dua bagian dari negara Pakistan yang berjauhan itu: Pakistan Timur dan Barat. Ayub Khan akhirnya juga mencoba menggunakan Islam sebagai cara mengimbau persatuan. Tapi ia juga gagal. Bendera "Islam" sekalipun tak bisa mengatasi sengketa daerah ini. Tahun 1971, Pakistan Timur memisahkan diri jadi Bangladesh. Dan Ayub Khan jatuh. Munculnya Ali Bhutto membawa tafsiran dan tawaran baru. Bhutto mengawinkan Islam dengan sosialisme, terutama dalam hal keadilan sosial. Slogan yang digunakan oleh Bhuitto untuk berkuasa adalah roti, kapre, makan, yang kurang lebih berarti sama dengan slogan "sandang, pangan, papan". Dan ia menang. Dalam pemilu 1970, Bhutto menghadapi oposisi Partai Jamaat-i-Islamiya, sebuah partai yang sepanjang sejarah Pakistan paling terinci menyampaikan sebuah program sosial dan ekonomi Islam. Tapi Bhutto menang. Bhutto sendiri sebenarnya tak kalah hebat menggunakan Islam sebagai bendera. Menjelang pemilu 1977, misalnya, ia mendatangkan imam Masjid Nabi di Madina dan imam Masjidil Haram di Mekah. Ia mengharuskan hotel kelas satu meletakkan Quran di tiap kamar. Ia menutup klub malam, tempat judi, dan penjualan alkohol untuk kaum muslimin. Tapi kaum oposisi tak mau ia memerintah lebih lama. Mereka bergabung dalam PNA, suatu aliansi yang beraneka ragam. Tapi dalam pemilu 1977 mereka kalah telak. Dari 200 kursi di parlemen, PPP yang dipimpin Bhutto mendapat 155 dan PNA cuma 36. Bhutto dituduh curang, dan kekerasan meledak. Kebencian diteriakkan. Keislaman Bhutto juga diragukan: ia memang orang yang hidup dengan gaya orang Barat termasuk, konon, suka minum alkohol. Akhirnya, tokoh militer Jenderal Zia ul Haq mengambil alih kekuasaan. Tanggal 5 Juli 1977, Bhutto diamankan. Ia kemudian dibebaskan kembali dan ditangkap pula kembali. Tetapi dengan begitu, ia jadi populer kembali secara cepat. Pada September 1977, ia ditangkap terakhir kalinya. Pemerintahan Zia kemudian membawanya ke tiang gantungan pada 1979. Jenderal Zia ul Haq adalah seorang muslim yang taat. Dialah orang pertama yang memperkenalkan Nizam-i-Islam atau Islamisasi Pakistan. Pada Februari 1979, pemerintah mengumumkan berlakunya hukum Islam. Pencuri akan dipotong tangan kanannya, sedangkan perzinaan dlkenai hukum cambuk seratus kali. Hukum cambuk juga dikenakan terhadap pelanggaran lain seperti minum alkohol dan menggunakan bahan apa saja yang memabukkan. Islamisasi Zia tak memperbaiki keadaan. Hukum Islam yang diterapkan ternyata tak menurunkan jumlah korupsi, misalnya. Bahkan banyak orang tak senang ketika zakat mereka diatur negara, dan tak percaya hasil pengumpulan zakat akan cukup untuk membantu orang miskin di Pakistan. Sementara itu, di bawah kekuasan Zia, orang bisa ditahan tanpa proses hukum, dan rakyat dilarang berkumpul untuk membicarakan politik. Partai-partai, kecuali Jamaat-i-Islamiya, banyak tersisih. Apakah tewasnya Zia membawa angin baru dalam pencarian ideologi? Benazir juga bicara "Islam". Tapi kita belum tahu, bisakah ia menerapkan Islam yang dianggap sesuai dengan ajaran dan enak bagi rakyat. A. Dahana

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus