BANDAR udara Manila, pekan lalu, gempar. Sepucuk pistol otomatis kaliber 9 mm ditemukan dalam salah satu kopor milik Salvador Laurel, tokoh oposisi dan pemimpin Organisasi Persatuan Demokratik Nasional (UNIDO). Tak ayal lagi bekas senator itu pun dituduh memiliki senjata gelap - perbuatan yang bisa diganjar hukuman penjara seumur hidup. Tapi Laurel, 53, yang sehari-hari jadi pengacara itu, tidak takut. Sesaat sebelum digiring ke kantor jaksa, sempat melontarkan protes, "Mereka sengaja menyelipkan pistol itu agar saya tak jadi berangkat ke Amerika. Mungkin mereka ingin menahan saya." Namun, hal yang lebih buruk tidak terjadi. Sesudah 24 jam mendekam di penjara Fort Bonifacio - tempat Mendiang Benigno "Ninoy" Aquino mendekam selama tujuh tahun - Laurel dibebaskan. Presiden Ferdinand Marcos memerintahkan supaya tuduhan terhadap Laurel dicabut dan tokoh oposisi itu dibolehkan meneruskan rencananya semula: keliling AS untuk serangkaian ceramah. Pembebasan pemimpin UNIDO itu didua karena Marcos ingin membalas utang budinya kepada Mendiang Presiden Salvador Laurel, ayah Laurel muda. Di masa perang dulu, Laurel tua banyak menolong Marcos. Kabar lain menyebut bahwa Senator Edward Kennedy dan Stephen Solarz dari AS telah menghubungi Marcos, dan menyatakan rasa prihatin mereka atas penahanan Laurel. Benarkah pistol bersepuh emas itu diselipkan oleh orang-orang tak dikenal? Bagaimana hal itu bisa terjadi? Ceritanya, hari itu, Laurel dan istrinya, Celia, mengirimkan sejumlah kopor untuk diperiksa Bea Cukai, sebelum mereka sendiri tiba di bandar udara. Entah bagaimana, ketika mereka sampai di depan petugas, kopor mereka sudah terbuka dan sepucuk pistol tampak berkilat di situ. Bekas senator yang siap melangkah ke tangga pesawat Panam itu terpaksa urung, karena petugas keamanan tak mengizinkannya berangkat. Kawan-kawan seperjuangannya tidak tinggal diam. Wakil Ketua UNIDO Eva Estrada Kalauw berkata, "Laurel tidak bodoh. Buat apa dia membawa pistol, 'kan dia tidak memerlukan senjata." Peristiwa pistol terjadi hanya beberapa jam sesudah Salvador Laurel secara resmi mengumumkan bahwa UNIDO, koalisi 12 kelompok oposisi, bersedia mengikuti pemilu Mei depan. Kendati kesediaan ini sama sekali tidak di luar dugaan, pernyataan resmi seperti itu tetaplah mengejutkan. Terutama bagi kalangan oposisi lain yang bukan saja tegas-tegas menolak pemilu, melainkan juga menganjurkan rakyat supaya memboikotnya. AGAPITO "Butz" Aquino, atas nama keluarga Ninoy, misaLya, Rabu pekan silam sudah menentukan sikap: berdiri di pihak pemboikot. Sikapnya itu ditegaskan Kamis pekan lalu beberapa menit lewat tengah malam, sesudah batas waktu yang diberikan pada Marcos terlampaui. Alasan Butz dan tokoh oposisi lainnya, seperti bekas Presiden Diosdado Macapagal Pengacara Jose Diokno, dan Lorenzo Tanada, pemilu tidak mungkin bersih, apalagi adil, bila Marcos masih punya hak-hak istimewa. Karena itu, mereka menuntut agar Marcos melepaskan beberapa hak istimewanya, seperti membuat UU dan menahan orang, sebelum pemilu. Di samping itu, mereka juga minta tahanan politik dibebaskan dan kebebasan pers dipulihkan. Macapagal dan kawan-kawan bukan tidak mengajak UNIDO untuk sama-sama memboikot, tapi rupanya Salvador Laurel menentukan lain. Koalisi yang dipimpin Laurel tampak bertekad bertarung melawan partai Marcos, Gerakan Masyarakat Baru (KBL) dalam satu pemilu, sekalipun belum tentu bersih. Dan akhirnya kenyataan itu muncul juga: oposisi pecah di dalam. Tapi justru itulah yang ditunggu-tunggu Marcos. Hanya saja, berita itu diterimanya persis pada saat berita buruk dari Tokyo tiba. Salah seorang dari tiga prajurit yang mendampingi Aquino turun dari pesawat, menurut analis suara manusia Dr. Matsumi Suzuki, telah mengucapkan akona yang artinya saya yang akan melakukannya. Kata akona terekam jelas pada pita rekaman liputan pembunuhan Ninoy. Tapi, sebegitu jauh, Ketua Komisi Corazon Agrava belum memberi komentar apa-apa.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini