Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
TEMPO.CO, Jakarta - Kementerian Kesejahteraan Jepang mengungkapkan jumlah populasi Jepang menyusut 512.000 lebih sedikit dibanding tahun lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Angka kelahiran Jepang, yang diperkirakan akan turun di bawah 900.000 tahun ini, berada di angka terendah sejak 1874, ketika populasi sekitar 70 persen lebih kecil dari 124 juta saat ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Di sisi lain, jumlah angka kematian meningkat. Tahun ini, angka kematian diperkirakan akan mencapai hampir 1,4 juta, level tertinggi sejak akhir Perang Dunia II. Kenaikan angkat mortalitas didorong oleh populasi yang semakin menua.
Kesenjangan antara kelahiran dan kematian telah menempatkan Jepang dalam tekanan demografis. Karena jumlah kelahiran menurun, ada lebih sedikit orang muda memasuki angkatan kerjanya. Itu berarti lebih sedikit orang untuk menggantikan pekerja yang pensiun dan mendukung mereka seiring bertambahnya usia, situasi yang menjadi ancaman serius bagi vitalitas ekonomi Jepang dan keamanan jaring pengaman sosialnya.
Menurut New York Times, 26 Desember 2019, Jepang bukan satu-satunya negara yang harus menghadapi masyarakat yang menyusut. Bahkan Jepang bukan negara dengan tingkat kelahiran terendah. Gelar itu jatuh ke Korea Selatan. Negara-negara lain termasuk Cina dan Amerika Serikat juga menghadapi penurunan angka kelahiran, yang bisa menyebabkan masalah di masa medatang.
Tetapi Jepang adalah negara dengan populasi tak bertambah di dunia, dengan hampir 28 persen penduduknya berusia di atas 65 tahun.
Populasi Jepang secara konsisten menyusut sejak 2007. Saat itu, populasi negara tersebut menyusut sekitar 18.000 orang.
Namun, sejak saat itu, kehilangan populasi telah meningkat, melewati angka setengah juta tahun ini untuk pertama kalinya. Bahkan desa-desa menghilang karena kaum muda memilih untuk tidak memiliki anak, atau pindah ke daerah perkotaan untuk mencari peluang pekerjaan yang lebih baik.
Bangsal kelahiran di Jepang.[Asian Nikkei Review]
The Japan Times melaporkan dari tahun 2002 hingga 2017, 7.000 lebih sekolah di seluruh Jepang ditutup, mayoritas di daerah pedesaan karena angka kelahiran terus menyusut. Ketika semakin banyak sekolah tutup dan layanan lainnya menghilang atau menjadi lebih sulit diakses, keluarga muda akan memiliki lebih banyak alasan untuk tinggal di kota-kota.
Pemerintah bahkan menawarkan pembayaran tunai hingga 3 juta yen atau Rp 383 juta kepada siapa pun yang mau pindah dari Tokyo untuk bekerja di perusahaan kecil atau menengah atau untuk memulai bisnis, serta berbagai subsidi untuk universitas dan bisnis lokal.
Pemerintah memperkirakan bahwa populasi dapat menyusut sekitar 16 juta orang, atau hampir 13 persen, selama 25 tahun ke depan.
Sebagai tanggapan, Jepang telah melakukan upaya untuk meningkatkan tingkat kesuburan, jumlah rata-rata kelahiran tiap perempuan dari level saat ini sekitar 1,4 menjadi target 1,8, atau masih jauh dari 2,1 yang dianggap perlu untuk menjaga populasi tetap stabil.
Pemerintah telah bergerak untuk mendorong kelahiran dengan meningkatkan insentif bagi orang tua untuk memiliki lebih banyak anak dan mengurangi hambatan untuk memiliki anak.
Tetapi insentif tersebut terbukti tidak mencukupi karena lebih banyak orang di Jepang yang menunda persalinan atau tidak memiliki anak sama sekali, dikarenakan mereka lebih memilih peluang ekonomi atau karena mereka khawatir bahwa peluang ekonomi tidak ada dan merasa bahwa mereka tidak mampu memiliki anak.
Permintaan untuk penitipan anak di Jepang jauh melebihi ketersediaan, sehingga menyulitkan perempuan karir yang bekerja untuk memiliki anak. Selain itu, budaya patriarki Jepang menggambarkan tempat pria seharusnya di kantor dan bukan di rumah, sehingga menyulitkan untuk berbagi tugas mengasuh anak.
Yang semakin mengkhawatirkan adalah angka pernikahan menurun. Jumlah pernikahan turun 3.000 tahun ke tahun menjadi 583.000, menurut data yang dirilis pada Selasa.
Seiring angka kelahiran yang terus menurun, Jepang telah mencoba untuk mempromosikan robot sebagai pengisi kekosongan tenaga kerjanya yang menyusut.
Mereka juga berkomitmen untuk menerima sejumlah kecil imigran untuk menangani pekerjaan penting seperti merawat orang tua. Tahun ini Jepang mulai mengeluarkan lebih dari seperempat juta visa untuk para imigran yang akan melakukan pekerjaan kerah biru.