Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

internasional

Prabowo Subianto di Mata Amerika Serikat

Kamala Shirin Lakhdhir, Duta Besar Amerika Serikat, bicara soal perempuan, pendidikan, dan pemerintahan baru Indonesia.

29 September 2024 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

INDONESIA bukan negara yang asing bagi Kamala Shirin Lakhdhir, Duta Besar Amerika Serikat untuk Indonesia yang baru. Salah satu tugas awalnya sebagai pegawai Departemen Luar Negeri Amerika adalah menjadi staf Kedutaan Besar Amerika selama tiga tahun di Jakarta. Dia tiba pada 1994, tepat ketika Indonesia menjadi tuan rumah Kerja Sama Ekonomi Asia-Pasifik (APEC), dan langsung sibuk mengurus berbagai kegiatan presidennya, Bill Clinton, selama di sini.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pada tahun yang sama, pemerintahan Presiden Soeharto membredel Tempo setelah majalah ini menerbitkan laporan tentang korupsi pembelian kapal perang bekas Jerman. Lakhdhir ingat betul peristiwa itu karena dia mengoleksi beberapa kaus putih bertulisan “Innalillahi wa innailaihi rojiun Tempo dibredel”. Saat itu, “Semangat orang Indonesia mulai tampak bergerak menuju apa yang menjadi reformasi dan Indonesia demokratis yang baru,” ucap Lakhdhir pada Jumat, 20 September 2024.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lakhdhir masuk Dinas Luar Negeri (Foreign Service), kedinasan di bawah Departemen Luar Negeri Amerika, pada 1991 dan telah bertugas di berbagai tempat, termasuk Arab Saudi, Cina, dan Malaysia. Dalam wawancara sekitar setengah jam dengan wartawan Tempo, Iwan Kurniawan dan Dewi Rina Cahyani, dia menuturkan perjalanannya menjadi diplomat, perhatiannya pada isu pendidikan dan kesehatan, serta kerja sama Indonesia-Amerika di bawah pemerintahan baru.

Bagaimana dulu Anda memutuskan menjadi diplomat?

Orang tua saya, Ann dan Noor Lakhdhir, mengilhami saya untuk memiliki karier internasional dan karier di Dinas Luar Negeri. Ayah saya lahir di India, lalu datang ke Amerika Serikat untuk kuliah di University of California, Berkeley. Dia ke Kota New York untuk meraih gelar MBA dan bertemu dengan ibu saya, yang kuliah pascasarjana jurusan hubungan internasional di Columbia University. Mereka jatuh cinta, lalu menikah dan membesarkan dua anak. Kami mudik ke India setiap dua-tiga tahun, tapi orang tua saya sangat tertarik pada budaya dan masyarakat lain. Jadi, setiap kali ke India, kami akan pergi juga ke negara lain. Misalnya, pada 1968, mereka membawa kami ke Cekoslovakia, Uzbekistan, dan Uni Soviet. Kami selalu bepergian ke banyak tempat dan mendorong kami memikirkan belahan dunia lain. Saya pikir inilah yang menuntun saya ke karier ini.

Ada tantangan menjadi perempuan diplomat?

Ibu saya ingin bergabung dengan Dinas Luar Negeri dan mencobanya pada 1955. Namun, menurut aturan, jika Anda masuk Dinas sebagai perempuan yang menikah, Anda langsung dipaksa mengundurkan diri. Ketika mencoba masuk, dia sangat berhasil dalam ujiannya, tapi mereka mengabaikan keseriusannya dan tidak merekrutnya. Saya tumbuh dengan cerita semacam ini. Ini adalah sesuatu yang ingin dia lakukan. Tapi, karena dia seorang perempuan, dia dihalangi.

Karier Anda sendiri bagaimana?

Dunia telah banyak berubah. Pegawai perempuan menggugat Departemen Luar Negeri dan memenangi gugatan itu pada awal 1970-an. Namun, dalam karier saya dan bahkan hingga hari ini, para pegawai perempuan terus mendorong segala hambatan untuk meraih kesuksesan karier. Ini adalah sebuah perjalanan. Saya adalah Duta Besar Amerika perempuan pertama untuk Indonesia. Perjalanan ini terus berlanjut, kami akan meraih kesuksesan. Ibu saya berada di surga, tapi dia tentu sangat bangga.

Anda akan bertugas di masa pemerintahan baru Indonesia....

Indonesia akan memiliki pemerintahan, presiden, dan kabinet baru. Di Amerika, pada Januari 2025, kami juga akan memiliki presiden, kabinet, dan Kongres baru. Kami dan pemerintah Amerika akan bekerja sama dengan pemerintahan baru. Kami bekerja sama dengan Menteri Pertahanan Prabowo Subianto lima tahun terakhir dan bahkan lebih awal. Jadi kami punya banyak pengalaman bekerja sama dengannya dan menantikan hubungan yang sangat erat. Pemerintahan baru saya nanti akan sangat berfokus menegaskan kembali hubungan kita yang kuat dan semua kerja kita. Kedua negara telah meningkatkan kemitraan menjadi kemitraan strategis komprehensif, yang disepakati Presiden Amerika Joe Biden dan Presiden RI Joko Widodo pada tahun lalu. Kedua presiden meminta kami memperluas dan memperdalam kemitraan kita di banyak sektor.


Kamala Shirin Lakhdhir

Tempat lahir: Brooklyn, New York

Pendidikan
• S-1 Harvard College, Massachusetts, Amerika Serikat, 1986
• S-2 National War College, Washington, DC, 2007

Pekerjaan
• Staf Kedutaan Amerika Serikat di Riyadh, Arab Saudi, 1992-1994
• Staf Kedutaan Amerika di Jakarta, 1994-1996
• Staf Sekretariat Menteri Luar Negeri, 1996-1998
• Staf Kedutaan Amerika di Beijing, Cina, 2001-2005
• Asisten Khusus Menteri Luar Negeri untuk Urusan Asia Timur dan Pasifik, 2005-2006
• Direktur Kantor Kemaritiman Asia Tenggara di Departemen Luar Negeri, 2007-2009
• Konsul Jenderal Amerika di Belfast, Irlandia Utara, 2009-2011
• Asisten Eksekutif Wakil Menteri Urusan Politik, 2011-2015
• Duta Besar Amerika untuk Malaysia, 2016-2021
• Sekretaris Eksekutif Departemen Luar Negeri, 2021-2023
• Duta Besar Amerika untuk Indonesia, 2024-sekarang


Apa yang akan dikembangkan di sektor pendidikan?

Presiden terpilih Prabowo berbicara tentang pembangunan kapasitas manusia Indonesia melalui pendidikan dan kesehatan. Sektor pendidikan tinggi kami sangat luas. Kami memiliki lebih dari 5.000 lembaga pendidikan tinggi. Kami terdepan dalam penelitian di berbagai bidang. Kami berupaya memperbanyak jumlah orang Indonesia yang belajar di sana. Saya juga berkomitmen menaikkan jumlah orang Amerika yang belajar dan tinggal di Indonesia karena tidak cukup banyak orang Amerika yang memahami Indonesia.

Anda tampaknya tertarik pada isu perempuan....

Kami telah lama menangani isu perempuan, seperti ekonomi dan pendidikan perempuan. Salah satu yang sedang kami kerjakan—yang saya pikir harus kita perdalam—adalah ketenagakerjaan perempuan. Di sini banyak perempuan yang bekerja di sektor informal. Banyak yang berpendidikan baik tapi sering keluar dari dunia kerja ketika mereka menikah dan punya anak. Indonesia telah berinvestasi untuk mereka, tapi keahlian dan pengetahuan mereka hilang dari dunia kerja. Kami berupaya membantu mereka agar dapat mengembangkan bisnis mereka menjadi bisnis formal. Kami juga berfokus pada upaya Indonesia agar perempuan menikah dapat kembali bekerja.

Bagaimana dengan anak lelaki?

Berapa persen anak lelaki yang diterima di universitas? Berapa banyak yang melanjutkan ke sekolah pascasarjana? Namun, seiring dengan berjalannya waktu, dunia kerja menjadi lebih rumit. Misalnya, kendaraan akan bergerak secara otonom sehingga tidak akan ada lagi pekerjaan untuk pengemudi truk dan bus. Jika mereka tidak bekerja, apa yang akan terjadi pada stabilitas sosial? Maka kita perlu mendidik anak lelaki dan perempuan secara sangat berbeda dan harus mencapai tingkat pendidikan dan pelatihan yang lebih tinggi.

Di sektor kesehatan bagaimana?

Saya sebut kesehatan masyarakat. Kita perlu memperdalam dan memperluas kerja sama di ranah tersebut karena ini untuk semua orang. Tidak ada politik dalam kesehatan masyarakat. Pandemi Covid-19 telah mengajarkan kita bahwa virus Covid-19 tidak peduli apakah Anda orang Indonesia atau Amerika. Kemitraan selama puluhan tahun dan pengalaman pandemi akan memperdalam dan memperluas apa yang telah kita lakukan, seperti dalam penanganan tuberkulosis, HIV/AIDS, resistansi antimikroba (AMR), polio, dan lainnya.

Bagaimana Anda akan menghadapi demonstrasi, misalnya soal Gaza?

Jika demonstrasi berlangsung damai dan tanpa kekerasan serta terkoordinasi dengan baik, kami akan menghormatinya. Kekhawatiran terbesar saya adalah para demonstran bisa terluka secara tidak disengaja. Di Amerika, kami punya tradisi panjang dalam menghormati demonstrasi. Saya pernah menjadi mahasiswa dan merupakan tradisi di sana bahwa mahasiswa dapat menyampaikan keyakinan mereka. Jadi saya menghormati mahasiswa atau orang lain yang ingin menunjukkan perhatian dan keberatan mereka. Tidak apa-apa, asalkan damai. Kekerasan adalah hal terlarang.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Kami Telah Lama Bekerja Sama dengan Prabowo"

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus