Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Kapal tradisional pinisi dengan tiang dan layar serta bertenaga angin nyaris punah.
Pinisi untuk wisata dengan panjang 25 meter dijual seharga Rp 2,5 miliar.
Kapal tradisional buatan para ahli kapal di Bulukumba kini bergeser menjadi kapal wisata.
BIBIR Pantai Tanah Beru, Kelurahan Tanah Lemo, Kecamatan Bonto Bahari, Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan, riuh oleh bebunyian alat pertukangan. Puluhan tukang tengah menggarap tiga kapal dengan panjang 19 meter, 30 meter, dan 40 meter. Yang terpendek adalah kapal penangkap ikan pesanan nelayan setempat. Dua lainnya kapal wisata pesanan seseorang dari Jakarta. Kapal terpanjang hampir rampung dibuat dan tinggal dipasangi tiang. “Yang kapal ikan ini harganya Rp 300 juta,” ujar Syarifuddin alias Daeng Pudding, 64 tahun. Ia ahli perahu atau panrita lopi di wilayah setempat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pantai di Tanah Lemo itu adalah pusat pembuatan kapal pinisi wisata atau nelayan berukuran besar. Di sepanjang bibir pantai, terdapat bantilang atau galangan kapal. Pudding dan panrita lopi lain memilih tempat ini lantaran bibir pantainya belum mengalami pendalaman sehingga mudah menurunkan kapal besar ke laut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pudding tinggal di Kelurahan Tanah Beru, tetangga desa Tanah Lemo. Dia mulai menggeluti pembuatan pinisi saat berusia sembilan tahun bersama orang tuanya. Ia adalah generasi kesembilan panrita lopi. Panrita lopi pertama dalam keluarganya adalah leluhurnya yang bernama Sayyidina Abbas, yang keahliannya menurun hingga ke Aman, ayah Pudding. Pudding pun mendidik putra sulungnya sejak berusia enam tahun. Menurut dia, tak semua orang mampu mewarisi ilmu ahli perahu dan membuat perahu. Jika ilmu itu disalahgunakan, pinisi yang dibuat tak akan jadi. Orang-orang menyebutnya “mati di darat”. Kalaupun jadi, perahu itu bisa tenggelam di laut. Saat ini hanya tersisa segelintir panrita lopi di sana.
Pada 2013, Daeng Pudding yang dibantu anak dan teman-temannya membuat video pembuatan pinisi beserta makna-maknanya. Setelah empat tahun dia bekerja, barulah karyanya bisa diterima masyarakat. Pada akhirnya, pengetahuan tentang pembuatan kapalnya diakui Organisasi Pendidikan, Keilmuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO) pada 2017 sebagai warisan takbenda dunia.
Sebuah perahu pinisi buatan panrita lopi Syarifuddin yang baru selesai dikerjakan dilarung ke pantai selama berhari-hari sebelum siap beralayar, di Tanah Beru, Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan, 23 September 2024. Foto Iqbal Lubis
Pudding membeberkan rumus pembuatan kapal pinisi, yakni tatta tallu atau tiga potong. Makna frasa itu menyangkut hal spiritual yang berkaitan dengan tubuh manusia, narasi filosofi yang cukup rumit. Kendati telah mewariskan ilmu kepada tiga anak lelakinya, ia belum berani melepas usaha pembuatan pinisi ini. “Saya tidak mau melepas karena banyak menghidupi orang (mata pencarian),” ucapnya. “Jadi panrita lopi itu sudah turun-temurun,” tuturnya lagi kepada Tempo ketika ditemui di Tanah Beru, Senin, 23 September 2024.
Pudding lalu mengisahkan awal mula keberadaan perahu pinisi. Awalnya sebutan perahu itu bukan pinisi, melainkan pajala (penangkap ikan). Filosofi pajala adalah menjaring semua orang untuk bersatu membuat perahu. Ia mengaku tak tahu siapa yang memberikan nama pinisi. Dulu perahu pajala dibuat dengan cara diukur menggunakan jengkal tangan jika muatannya di bawah 50 ton. Jika muatannya lebih dari 50 ton, perahu diukur dengan kaki (dua kaki dalam posisi didempetkan depan-belakang).
Seiring dengan perkembangan zaman, seingat Pudding, pada 1980 hingga 1990-an, pajala atau pinisi tak lagi terlihat lalu-lalang di perairan Sulawesi. Tiang layarnya berganti dengan mesin motor yang menempel di perahu untuk mempercepat laju ketika mencari ikan atau mengangkut barang-barang perdagangan. Perlahan pinisi bermotor berfungsi sebagai perahu wisata yang dianggap lebih berprospek cerah. Fasilitas dan ruangan di bagian atas dipermak dengan penambahan kabin, toilet, juga restoran. Tapi bagian lambungnya tak bisa diutak-atik. Ada beberapa model lambung, seperti bongkar kajang, tempurung, kerbau, dan kelapa. “Itu tidak bisa diubah karena menyatu dengan air,” ujarnya.
Pudding tak hanya mengandalkan pesanan. Ia sering menyetok perahu untuk orang-orang yang hendak membeli pinisi jadi. Banyak konsumen yang enggan menunggu berbulan-bulan. Harganya pun tergantung ukuran dan aksesorinya di dalam kapal. Misalnya kapal untuk menangkap ikan dihargai mulai dari Rp 50 juta. Adapun pinisi untuk wisata dengan panjang 25 meter dijual seharga Rp 2,5 miliar. Ia dapat meraih keuntungan lebih besar jika mampu menyelesaikan pekerjaannya sebelum tenggat. “Makin cepat selesai makin bagus,” tuturnya.
Sejumlah perahu pinisi berbagai ukuran yang sedang dikerjakan dan sudah selesai tertambat di Pantai Lemo-Lemo, pusat pembuatan perahu pinisi di Tanah beru, Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan 24 September 2024. Foto Iqbal Lubis
Sementara Daeng Pudding menggarap order perahu wisata dan penangkap ikan, Wahab, panrita lopi dari Kelurahan Ara, Kecamatan Bonto Bahari, memilih membuat pinisi wisata. Tukang-tukangnya tengah menyelesaikan pesanan dari sebuah perusahaan di Bali. Kapal pesanan ini termasuk yang terbesar di Bantilang, Kelurahan Tanah Lemo. Panjangnya 50 meter dengan lebar 12 meter. Pembuatan kapal ini sudah memakan waktu setahun, tapi yang sudah jadi baru lambungnya (bagian bawah). “Kapal ini sudah menghabiskan Rp 2 miliar, masih lambungnya,” ucap Wahab, generasi kelima panrita lopi dalam keluarganya. Karyanya sudah merambah pasar luar negeri.
Wahab mengakui saat ini pinisi sudah beralih fungsi. Sementara dulu hanya digunakan untuk mengangkut barang dari Makassar ke Jawa atau tempat lain, kini kapal itu sudah menjadi sarana wisata. Sejak saat itu, kata dia, pinisi tak lagi identik dengan tradisi. “Ada muatan teknologi di dalamnya,” ujarnya. Meski begitu, dia melanjutkan, ada hal yang tidak bisa diubah, yakni sistem pembuatan lambung atau dasar kapal pinisi. Bagian atas kapal bisa diubah sesuai dengan permintaan konsumen. Sejak pinisi dikenal dunia, prospek bisnis kapal itu makin menjanjikan. Sebab, banyak tenaga kerja dari masyarakat setempat yang terserap.
Meski prospek bisnis kapal itu cerah, para panrita lopi menghadapi sejumlah tantangan. Salah satunya bahan baku yang makin sulit didapatkan di Bulukumba. Mereka sampai mendatangkan bahan dari luar daerah di Sulawesi Selatan, seperti Sulawesi Tenggara dan bahkan Kalimantan. Kayu yang digunakan untuk pembuatan kapal bermacam-macam, seperti bitti, besi, ulin, dan jati. Wahab berharap pemerintah membantu mendatangkan bahan baku itu. Tantangan lain adalah keinginan konsumen yang perhitungannya berbeda dengan tradisi pembuatan kapal yang diketahui panrita lopi. “Mereka mengandalkan apa yang dilihat, bukan yang dirasakan.” Begitu juga ketentuan tentang gambar perahu untuk persyaratan dokumen. Padahal para panrita tak pernah menggambarnya.
Seorang pekerja mengangkut kayu yang akan digunakan untuk membuat pinisi di Tanah Beru, Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan, 23 September 2024. Foto Iqbal Lubis
Transformasi pinisi yang saat ini digunakan untuk wisata juga disinggung dalam narasi di pameran “Arthefact 3.0” di Museum Bahari, Jakarta, yang digelar hingga 26 Oktober 2024. Pameran bertema “The Monumental Ships: Shared Cultural Heritage, Sharing the Memories” ini menampilkan sejumlah narasi serta replika perahu atau kapal dari sederet negara dan perahu tradisional di berbagai wilayah Indonesia. Salah satunya pinisi.
•••
KAPAL-KAPAL pinisi wisata yang berseliweran, meski bertiang dan berlayar, tak mampu bergerak dengan tenaga angin. Layar dibentangkan untuk keperluan estetika semata karena kapal ini bergerak dengan tenaga mesin. Ahli kemaritiman dari University of Leeds, Inggris, Horst Liebner, yang mendalami kebudayaan maritim Austronesia, khususnya perahu Sulawesi Selatan, menjelaskan bahwa kapal pinisi berharga ratusan juta hingga miliaran rupiah tersebut bukanlah pinisi yang sebenarnya. Menurut dia, rupa pinisi (sering ditulis phinisi) tersebut jauh dari gambaran perahu layar pinisi nan ramping dan elegan yang terekam dalam foto-foto aslinya. Wujud kapal itu bertentangan dengan pinisi sebenarnya.
“Pinisi” wisata itu tidak bisa berlayar dengan angin karena tiangnya pendek dan layarnya kecil-kecil. Kebanyakan pemilik kapal dan pelaut di sana memang sudah tidak cakap mengendalikan perahu yang hanya dapat digerakkan oleh angin. Bila dilihat dari sisi teknis saja, lambung kapal-kapal wisata itu pun tak berjenis palari, salompong, ataupun jonggolang layaknya pinisi yang sebenarnya, tapi serupa dengan kapal Barat—dan dengan demikian juga tidak dibangun mengikuti pola rancangan tradisional tatta, salah satu sari pati warisan dunia takbenda tersebut.
Lantai dasar perahu pinisi yang sedang dibuat untuk kebutuhan wisata di pusat pembuatan pinisi di Desa Lemo, Tanah Beru, Kabupaten Bulukumba, 24 September 2024. Foto Iqbal Lubis
“Jadi tak usah heran jika jumlah panrita lopi, ahli pembuat perahu, yang masih mahir menciptakan lopi (perahu) yang sesuai dengan reka bentuk warisan leluhur orang Bonto Bahari itu tak sampai setengah lusin,” ucap Liebner. Saat ini, dia menambahkan, tak ada lagi pembuatan pinisi jenis palari, salompong, ataupun jonggolang.
Liebner mengungkapkan, karena pinisi di ambang kepunahan, tiga tahun lalu British Museum dari Inggris mendokumentasikan keterampilan membangun dan melayarkan pinisi bertipe palari-salompong. Foto, deskripsi historis, dan ingatan para panrita lopi tua didedahkan dalam Program Pengetahuan Material yang Terancam Punah (EMKP). Diinisiasi dengan dana terbatas oleh ilmuwan dan aktivis dalam dan luar negeri, program ini berfokus pada pembuatan pinisi. Kapal itu diberi nama Anugerah Ilahi. Sri Mutiara Tana Beru itu disiapkan untuk berlayar seperti kapal nenek moyang, tanpa mesin dan peralatan modern, dengan misi melestarikan pengetahuan berlayar para pelaut Bira.
Kapal ini pernah berlayar untuk program pendidikan, budaya, dan literasi ke Kalimantan dan Sulawesi. Tapi program misi budaya dan pendidikan yang dilontarkan tim penggeraknya tidak mendapat apresiasi serius dari berbagai pihak, baik instansi pemerintahan, organisasi kemasyarakatan, maupun donor swasta. Sementara itu, kapal tersebut tetap harus dirawat untuk pembelajaran.
Kapal Pinisi. pinisi.org
Liebner dan timnya berusaha merawatnya, tapi tak ada pendanaan yang masuk. Hingga akhirnya muncul rencana membakar kapal Anugerah Ilahi. Rencana itu diunggah di akun media sosial mereka pada pertengahan Juli 2024. Mereka memberi tenggat hingga akhir Juli. Jika tak kunjung ada pendanaan, kapal itu akan dibakar pada awal Agustus. Sejumlah peralatan, seperti mesin tempel, sekoci, dan alat navigasi, rencananya dijual.
Ultimatum ini didengar oleh PT Pelabuhan Indonesia alias Pelindo. Pada pertengahan Agustus 2024, di laman Facebook Pinisi Kita, mereka menyampaikan sebuah berita gembira. Perahu ini akan mendapat kucuran dana untuk meneruskan program mengajar-berlayar. Jadwal persiapan hingga pelayaran pun diunggah. Pelayaran pertama mereka ke Sulawesi Barat bertujuan meramaikan lomba dan festival sandek di Mamuju dengan rute Polewali Mandar-Mamuju. Mereka kemudian mengucurkan dana untuk menyambung napas Anugerah Ilahi hingga akhir tahun nanti. “Setelah itu tidak tahu lagi,” ujar Liebner.
•••
JAUH di Teluk Maju di perairan Selat Makassar, perahu palari Anugerah Ilahi baru bertolak dari Mamuju menunggu angin menuju Makassar. Kapal ini akan singgah dulu di Malunda dan Sendana di Majene. Kapal tersebut baru saja menyertai para pelaut dalam Sandeq Race dan Festival Sandeq dari Polewali Mandar menuju Mamuju, akhir September 2024. Horst Liebner menakhodai kapal bertenaga angin dengan layar ini yang berangkat dari Tanah Beru di Bulukumba menuju Mamuju, lalu bertolak ke Makassar. “Kami menemani para peserta lomba,” tutur Liebner kepada Tempo.
Merujuk pada situs Pinisi.org, kata “pinisi” merupakan kombinasi tujuh-delapan helai layar dan dua tiang yang serupa dengan schooner ketch dalam peristilahan pelayaran internasional. Istilah schooner atau sekunar dalam bahasa Indonesia dipakai karena kedua layar utamanya berbentuk trapesium bersudut tegak dan terbentang pada sebatang kayu yang terpasang ke arah buritan di sekitar tengah tiang. Adapun ketch atau kets digunakan karena kapal itu bertiang dua dengan tiang haluan lebih tinggi daripada tiang buritan.
Syarifuddin seorang panrita lopi (ahli membuat perahu pinisi) generasi ke-9 di keluarganya berdiri di galangan pinisi di Tanah Beru, Desa Lemo, Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan, 24 September 2024. Foto Iqbal Lubis
Secara singkat, hal ini merujuk pada nama tipe layar dan tali-temalinya, tidak ada hubungan apa pun dengan lambung perahu yang dipasangi jenis layar itu. Tapi definisi ini pun berarti “pinisi” bukanlah nama lambung perahu. Bagi pelaut Nusantara, jenis perahu dapat digolongkan dengan tiga cara. Ada istilah yang menandai jenis layarnya, ada yang menggambarkan bentuk lambung, dan ada yang berasal dari cara serta tujuan pemakaian perahu itu.
Dari penelitian Liebner, kata “pinisi” tertua muncul dalam selembar artikel majalah Koloniale Studiën bertarikh 1917 untuk merujuk pada sejenis perahu layar asal Sulawesi. Ia juga menyebut awal abad ke-20 sampai sekitar 1930 sebagai masa terciptanya “pinisi pertama’ di kawasan Tanah Beru-Lemo-Lemo-Bira-Ara. Gibson Hill menulis bahwa palari ini dibangun berdasarkan sejenis perahu asal Sulawesi, pajala.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Dian Yuliastuti berkontribusi pada penulisan artikel ini. Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Pinisi, Tradisi yang Mulai Punah"