Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Cicit Nehru, Priyanka Gandhi, menentang Undang-Undang Amendemen Imigrasi.
Sedikitnya 27 orang tewas dan ratusan orang ditahan selama protes berlangsung.
Undang-undang itu dituding diskriminatif karena mengecualikan kaum minoritas muslim.
MOBIL putih Priyanka Gandhi Vadra, Sekretaris Jenderal Komite Kongres Seluruh India—presidium pusat partai oposisi Kongres Nasional India—sedang meluncur di jalanan Lucknow, Negara Bagian Uttar Pradesh, ketika serombongan polisi mencegatnya pada Sabtu, 28 Desember 2019. Saat itu, Priyanka hendak menengok Darapuri, pensiunan polisi yang ditahan karena berunjuk rasa menentang Undang-Undang Amendemen Imigrasi sejak delapan hari sebelumnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Cicit Jawaharlal Nehru, bapak bangsa India, itu kemudian berjalan kaki meski para polisi berusaha menahannya. "Saya dicegat. Seorang polisi perempuan menghentikan saya dengan mencekik saya. Saya didorong dan jatuh," kata perempuan kelahiran 12 Januari 1972 itu. Setelah lolos dari kepungan polisi, Priyanka sampai di rumah Darapuri dengan membonceng skuter seorang pejabat Kongres. "Saya datang dengan damai. Mereka tidak punya hak menghentikan saya," tutur Priyanka setelah bertemu dengan keluarga Darapuri.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kepolisian Nasional India (CRPF) tetap menuduh Priyanka sebagai anggota Kongres telah melanggar protokol keamanan pejabat tinggi. "Ada pergerakan tak terjadwal tanpa pemberitahuan. Pejabat itu juga tidak menggunakan kendaraan sipil antipeluru dan tanpa pengawalan polisi," ujar kepolisian dalam pernyataannya.
Bagi Ajay Kumar Lallu, pemimpin Kongres Uttar Pradesh, pencegatan itu cuma bentuk ketakutan pemerintah. "Jika kita ingin bertemu dengan seseorang dan berbagi penderitaan, mengapa hal itu membuat pemerintah sakit perut? Pemerintah merasa takut terhadap Priyanka sehingga menghentikan dia," ucapnya.
Ini upaya pencegahan kedua terhadap Priyanka. Sehari menjelang Natal, rencana Priyanka menemui keluarga dua korban tewas di Bijnor, Uttar Pradesh, akibat protes isu yang sama juga dicegah polisi. Priyanka hanya dapat berbicara dengan keluarga korban melalui sambungan telepon.
Undang-Undang Amendemen Imigrasi, yang disahkan Parlemen pada 17 Desember 2019, memicu protes di seluruh penjuru India. Perdana Menteri Narendra Modi dan BJP, partainya yang nasionalis Hindu, mengklaim undang-undang itu ditujukan untuk melindungi kelompok minoritas agama yang kabur dari persekusi di negara asalnya. Undang-undang itu memberikan jalur cepat untuk menjadi warga negara India bagi pendatang beragama Hindu, Sikh, Buddha, Jain, Parsi, dan Kristen dari Pakistan, Bangladesh, serta Afganistan yang masuk sebelum 2015.
Para pengritik menilai undang-undang itu melanggar konstitusi yang menjamin kesetaraan untuk semua agama. Aturan itu juga dituding diskriminatif karena mengecualikan kaum minoritas muslim yang menghadapi persekusi, seperti Ahmadiyah di Pakistan, Rohingya di Myanmar, dan Tamil di Sri Lanka. "Undang-undang itu menggunakan kata ‘pengungsi’ dan ‘perlindungan’, tapi mendiskriminasi berdasarkan agama," kata Meenakshi Ganguly, Direktur Asia Selatan Human Rights Watch.
Unjuk rasa pun pecah di berbagai kota, termasuk Mumbai, New Delhi, Lucknow, Bangalore, dan Malegaon. Pemerintah berusaha memadamkan kerusuhan dengan keras, termasuk menangkap demonstran, melarang unjuk rasa, dan memadamkan Internet. Hingga akhir Desember 2019, Global Voices melaporkan sedikitnya 27 orang tewas dan ratusan orang ditahan selama protes berlangsung. Sejumlah bangunan dan kendaraan dibakar massa. Sejumlah pemimpin partai ditangkap, seperti politikus dari Konferensi Nasional, Partai Demokratik Rakyat, dan Kongres.
Di tengah suhu politik yang panas itu, Priyanka Gandhi Vadra, yang resmi memasuki dunia politik pada awal 2019, turun ke jalan. Dalam pidatonya di depan anggota partai di New Delhi, 23 Desember 2019, Priyanka menyerukan gerakan "Satyagraha untuk Persatuan". Satyagraha, yang berarti berpegang pada kebenaran, adalah sebutan untuk gerakan perlawanan rakyat sipil tanpa kekerasan yang dulu digalang Mahatma Gandhi guna memprotes monopoli garam oleh pemerintah kolonial Inggris di India. Kini gerakan yang sama digunakan Priyanka untuk melawan pemerintah Modi. "Kita akan melindungi konstitusi dan tidak akan membiarkan konstitusi dihancurkan," ujarnya.
Priyanka dan sejumlah pemimpin Kongres juga bergabung dengan masyarakat dalam aksi duduk di depan Gerbang India, monumen nasional terpenting di jantung Kota New Delhi, pertengahan Desember 2019. Mereka memprotes tindakan brutal polisi terhadap mahasiswa Jamia Millia Islamia dan Aligarh Muslim University yang berdemonstrasi menentang Undang-Undang Amendemen Imigrasi sehari sebelumnya.
Keadaan makin runyam ketika pemerintah Negara Bagian Assam melanjutkan program Pendaftaran Kewarganegaraan Nasional (NRC). Program ini lahir dari kasus genosida terhadap orang Bengali oleh Angkatan Darat Pakistan, yang memaksa jutaan orang Bengali mengungsi ke India pada 1971. Kebanyakan dari mereka pulang setelah Pakistan Timur merdeka dan menjadi Bangladesh. Tapi ratusan ribu pendatang tetap berdiam di India dan kebanyakan tinggal di Assam.
Kehadiran mereka pernah ditentang penduduk Assam. Para pemimpin negeri itu menuntut mereka harus dideteksi, dihapus dari daftar pemilih, ditahan, dan dideportasi. Pemerintah berjanji mengidentifikasi mereka dengan NRC. Tapi, setelah keadaan kembali normal, janji itu terlupakan hingga Mahkamah Agung India, yang menanggapi petisi oleh organisasi non-pemerintah setempat, memerintahkan pemerintah Assam melanjutkan program NRC.
NRC mewajibkan semua warga Assam membuktikan bahwa mereka telah ada di sana sebelum 24 Maret 1971, sehari sebelum Bangladesh merdeka dari Pakistan. Hasilnya, hampir 2 juta orang gagal mendapat kewarganegaraan karena tak bisa memberikan bukti. Kebanyakan dari mereka adalah orang Bengali Hindu dan suku pribumi. Program NRC juga yang kini memicu protes massa di Assam.
Ketika Assam, Uttar Pradesh, dan wilayah lain bergolak akibat pemberlakuan Undang-Undang Amendemen Imigrasi dan program NRC, Modi malah mengaktifkan hukum kolonial dengan melarang pertemuan lebih dari empat orang, mematikan Internet, dan menuding kaum muslim sebagai pengacau. Ini seperti menyiramkan bensin ke api. Di seluruh India, orang-orang dari semua agama bergabung untuk menyatakan kesetiaan mereka kepada sekularisme, yang merupakan dasar Republik India.
Di New Delhi, kaum Hindu membentuk rantai manusia untuk melindungi kaum muslim selama unjuk rasa menentang Undang-Undang Amendemen Imigrasi. Di Hyderabad, 22 Desember 2019, puluhan ribu muslim, dipimpin Asaduddin Owaisi, anggota Parlemen dan presiden partai Majelis al-Itihad al-Muslimin Seluruh India, membacakan mukadimah konstitusi: "Kami, rakyat India, telah dengan sungguh-sungguh memutuskan membentuk India menjadi republik demokrasi sekuler sosialis yang berdaulat."
Hari-hari ini, Modi agaknya tak akan bisa tidur nyenyak. Sejumlah organisasi, partai, dan tokoh politik, termasuk Owaisi dan Priyanka, menggalang dukungan dan massa untuk menentang Undang-Undang Amendemen Imigrasi dan NRC dalam sebuah unjuk rasa "pawai sejuta rakyat" pada Januari ini.
IWAN KURNIAWAN (PRESS TRUST OF INDIA, GLOBAL VOICES, HINDUSTAN TIMES, CNN)
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo