Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

internasional

Wajah Uighur di Sepotong Telegram

Sejumlah dokumen rahasia yang bocor membuka informasi tentang apa yang terjadi terhadap kaum muslim Uighur di Xinjiang. Cina berusaha membangun citra positif.

4 Januari 2020 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Presiden Cina Xi Jinping menyebut ekstremisme Islam menyerupai virus yang bisa menular dan seperti obat yang membuat kecanduan.

  • Kolaborasi 75 wartawan dari 14 negara yang tergabung dalam ICIJ mengungkap isi kamp deradikalisasi untuk Uighur.

  • Cina mengundang diplomat dan tokoh agama Islam dari berbagai negara untuk mengunjungi Xinjiang.

SISWI kelas I sebuah sekolah dasar di Daerah Otonom Uighur Xinjiang, Cina, itu dikenal sebagai murid yang baik dan disukai teman-teman sekelasnya. Tapi dia tampak tidak terhibur. Gurunya, setelah bertanya kepada rekan-rekan sekelasnya, menyadari apa penyebab kesedihan sang murid.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

“Hal yang paling memilukan, gadis kecil itu sering terlihat menangis,” tulis sang guru di blognya, yang dikutip New York Times edisi 28 Desember 2019. Ayah murid itu sudah meninggal dan ibunya dikirim ke sebuah lokasi yang tak diketahui di Xinjiang. “Dia merindukan ibunya.”

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lebih dari 1 juta warga etnis Uighur dan minoritas muslim lain di Cina dikirim ke berbagai kamp di seantero Xinjiang dalam tiga tahun terakhir. Sejumlah negara dan lembaga hak asasi manusia internasional menyebut tempat itu sebagai “kamp pendidikan ulang” atau “kamp pengasingan”. Cina menyebutnya “pusat pelatihan vokasi”. Council on Foreign Relations, lembaga penelitian kebijakan internasional yang berbasis di New York, Amerika Serikat, mengkonfirmasi 27 lokasi kamp semacam itu. Jumlahnya di seantero Xinjiang ditaksir mencapai 1.200.

Xinjiang, daerah pegunungan dan gurun seluas 1.665 juta kilometer persegi, memiliki populasi sekitar 25 juta jiwa. Provinsi di barat laut Cina ini berbatasan dengan Pakistan, Afganistan, Kazakstan, Rusia, dan Mongolia. Daerah ini diklaim Cina sejak Partai Komunis Cina berkuasa pada 1949. Tapi sebagian warga Uighur menyebut daerahnya sebagai Turkistan Timur dan berpendapat bahwa mereka harus merdeka dari Cina.

Beijing telah lama menekan perlawanan orang-orang Uighur. Namun tindakan keras baru dimulai setelah gelombang protes anti-pemerintah dan anti-Cina yang berujung kerusuhan pecah di ibu kota Urumqi pada 2009 dan sejumlah serangan terhadap kaum Uighur pada 2014. Pejabat Cina khawatir terhadap ide-ide separatis Uighur dan menilai kamp-kamp itu sebagai cara menghilangkan ancamannya.

Beberapa dokumen internal Pemerintah Cina yang diperoleh International Consortium of Investigative Journalists (ICIJ).

Dalam dokumen lebih dari 400 halaman yang diperoleh New York Times dan dipublikasikan pada 16 November 2019 diungkap soal kegusaran Presiden Cina Xi Jinping terhadap kekerasan di Xinjiang. Sebanyak 200 halaman dari dokumen itu berisi pidato internal Xi dan para pemimpin lain. Lebih dari 150 halaman adalah panduan tentang pengawasan dan kontrol populasi Uighur di Xinjiang.

Dalam dokumen yang diberi label “The Xinjiang Papers” itu, Xi menyebut ekstremisme Islam menyerupai virus yang bisa menular dan seperti obat yang membuat kecanduan. “Dampak psikologis pemikiran keagamaan ekstremis terhadap orang-orang tidak boleh diremehkan,” ujar Xi kepada pejabat di Urumqi, 30 April 2014.

Dalam pidato sebulan kemudian di tempat lain, ia memperingatkan bahaya dari “keracunan ekstremisme agama”. “Segera setelah Anda mempercayainya,” kata dia, “itu seperti minum obat, dan Anda kehilangan akal, menjadi gila, dan akan melakukan apa saja.”

Xi juga mengkritik cara aparat keamanan setempat menangani masalah ini. “Kita harus sekeras mereka dan sama sekali jangan menunjukkan belas kasihan,” ucap Xi, seperti tertulis dalam dokumen itu. Dalam pidato-pidato tertutup itu, dia meminta partai memakai alat “kediktatoran” untuk memberantas Islam radikal di Xinjiang.

Sejumlah pidato Xi itu diterjemahkan pejabat partai dengan membangun kamp-kamp. Pembangunan “pusat pendidikan vokasi” itu bertambah pesat saat Beijing menunjuk Chen Quanguo sebagai Ketua Partai Komunis Xinjiang pada Agustus 2016. Chen adalah mantan Ketua Partai Komunis Cina di Tibet dan dinilai sukses membendung sikap anti-Beijing di sana.

Namun Xi juga mengatakan kepada para pejabat agar tidak mendiskriminasi warga Uighur dan menghormati hak mereka untuk beribadah. Dia memperingatkan agar tidak bereaksi berlebihan terhadap gesekan alami antara warga Uighur dan Han, kelompok etnis yang dominan di negara itu. Ia menolak usul mencoba menghilangkan Islam sepenuhnya di Cina.

Selain berisi pidato, dokumen-dokumen itu berisi panduan untuk pejabat pemerintah setempat dalam menghadapi kaum Uighur, seperti menjawab pertanyaan anak-anak Uighur soal orang tua mereka yang tak ada di rumah. Panduan ini merekomendasikan jawaban tegas bahwa kerabat atau keluarga mereka telah “terinfeksi virus” radikalisme Islam serta harus dikarantina dan disembuhkan.

Namun apa yang sebenarnya terjadi di dalam kamp masih menjadi misteri. Gambaran itu diketahui publik melalui mantan penghuninya yang buka mulut dan dokumen partai yang bocor. Salah satunya diungkap melalui liputan kolaborasi 75 wartawan dari 14 negara yang tergabung dalam International Consortium of Investigative Journalists (ICIJ). Mereka merilis laporan berdasarkan dokumen baru dari Cina, 23 November 2019. Selain itu, mereka mewawancarai lebih dari 40 warga Uighur di 10 negara.

Menurut Bethany Allen-Ebrahimian, jurnalis yang menulis laporan tersebut untuk ICIJ, mereka memperoleh dokumen itu melalui rantai transmisi yang diverifikasi oleh kaum Uighur di luar Cina. “Kami dengan hati-hati memverifikasi keaslian dokumen melalui berbagai metode,” katanya kepada Tempo, Kamis, 2 Januari lalu.

Selain melakukan analisis bahasa, ICIJ menunjukkan dokumen “China Cable” itu kepada sejumlah ahli, termasuk pakar dokumen rahasia Cina. Para pakar mengkonfirmasi bahwa dokumen itu tampaknya 100 persen asli. “Kami juga memverifikasi isi dokumen melalui wawancara dengan orang-orang yang pernah tinggal di kamp,” ujar Bethany.

Dalam dokumen berupa telegram pada 2017 dari komisi Partai Komunis yang bertanggung jawab atas aparat keamanan Xinjiang itu tercantum arahan bagaimana kamp-kamp tersebut harus dijalankan. Untuk mencegah pelarian, misalnya, partai menetapkan pengawasan video 24 jam dan pintu asrama yang dikunci ganda. “Siswa” diwajibkan sering mengikuti tes bahasa Mandarin. Mereka dilarang memiliki telepon seluler atau bekerja di luar kamp. Mereka juga tidak diizinkan melakukan kontak dengan dunia luar.

Dokumen berupa buletin berbahasa Mandarin itu menjabarkan hubungan antara pengawasan pemerintah terhadap warga Uighur dan kamp-kamp Xinjiang. Seperti dilaporkan Human Rights Watch, melalui sistem pengumpulan data terpusat ini, Cina menandai orang sebagai ancaman potensial dengan menjaring hal-hal seperti kartu identitas, gambar pengenal wajah, dan pelat nomor kendaraan.

Kedua jenis dokumen itu ditandai “Mi mi” (“rahasia” dalam bahasa Cina) dan disahkan oleh Zhu Hailun, Wakil Sekretaris Partai Komunis Xinjiang, dan pejabat keamanan tertinggi di wilayah tersebut. Buletin itu lalu dibagikan kepada polisi dan pejabat partai setempat.

Ada juga dokumen pengadilan tahun 2018 yang menggambarkan hukuman kepada seorang pria Uighur hingga 10 tahun penjara karena “kejahatan” ideologis, seperti memberi tahu rekan kerja “untuk tidak mengatakan kata-kata kotor” atau menonton pornografi agar mereka tidak menjadi “orang yang tidak beriman”. ICIJ menilai ini adalah contoh bagaimana Cina memenjarakan warga Uighur karena pelanggaran palsu atas dasar “hasutan kejahatan kebencian etnis”.

Hal yang paling penting diketahui tentang “China Cable”, kata Bethany, dokumen itu membuktikan bahwa orang Uighur masuk kamp tersebut tidak dengan sukarela seperti diklaim pemerintah. “Tujuan dari adanya kamp ini adalah untuk indoktrinasi,” ujarnya. Dokumen itu juga membuktikan bahwa ada orang-orang yang masuk kamp bukan karena mereka teroris atau ekstremis, tapi algoritma komputer memilih mereka untuk ditahan.

Dokumen itu juga memuat panduan tentang kesehatan dasar narapidana, termasuk perintah agar petugas kamp tidak membiarkan terjadinya kematian yang tak wajar. Ini mengharuskan petugas menjaga kebersihan, mencegah merebaknya penyakit, serta memastikan keamanan kamp dari kebakaran dan gempa bumi.

Tapi hal itu tak selalu tecermin dalam kenyataan. Ada sejumlah tahanan yang meninggal di kamp karena kondisi yang buruk dan kurangnya perawatan medis. Mihrigul Tursun, seorang Uighur dari Xinjiang yang sekarang tinggal di Amerika Serikat, mengatakan kepada parlemen Amerika pada November 2018 bahwa ia mendengar sembilan perempuan meninggal dalam keadaan seperti itu.

Sejumlah bekas penghuni kamp mengaku mengalami atau menyaksikan penyiksaan dan pelanggaran lain, termasuk pemukulan dan pemerkosaan. Sayragul Sauytbay, mantan penghuni kamp, menyebut adanya “ruang hitam” di dalam kamp dan mereka dilarang membicarakan tempat itu.

“Ada berbagai macam siksaan di sana. Beberapa tahanan digantung di dinding dan dipukuli dengan pentungan listrik. Ada tahanan yang dipaksa duduk di kursi paku. Saya melihat orang-orang kembali dari ruangan itu berlumuran darah. Beberapa kembali tanpa kuku,” kata Sauytbay, yang mendapat suaka di Swedia, seperti dirilis harian Israel, Haaretz, 17 Oktober 2019.

Sejumlah pemuda etnis Uighur mengikuti kelas yang diberikan pemerintah Cina di Xinjiang Islamic Institute, di Xinjiang, Cina, Januari 2019. REUTERS/Ben Blanchard

Sauytbay juga menyampaikan soal kasus pemerkosaan di dalam kamp. “Setiap hari para polisi membawa gadis-gadis cantik itu dan mereka tidak kembali ke kamar sepanjang malam. Polisi memiliki kekuatan tak terbatas. Mereka dapat mengambil siapa pun yang mereka inginkan,” ujarnya. Kesaksian ini diperkuat oleh eks penghuni kamp lain.

Pemerintah Cina lebih banyak menyangkal laporan semacam itu. “Itu pusat pendidikan dan pelatihan vokasi untuk pencegahan terorisme,” begitu pernyataan Kedutaan Besar Cina di Inggris. Kedutaan juga menyebut dokumen tentang kamp itu “murni buatan dan kabar palsu”.

Kedutaan Besar Cina di Swedia menyebut pengakuan Sauytbay sebagai “kebohongan total dan serangan jahat terhadap Cina”. Bahkan mereka balik menyerangnya. “Sayragul Sauytbay dicurigai melakukan penipuan kredit di Cina dengan utang sekitar Rp 640 juta.”

Selain itu, Cina berusaha membangun citra positif. Salah satunya dengan mengundang para diplomat berkunjung ke Xinjiang. Pada 28 Desember 2018, Cina mengundang diplomat dari 12 negara, termasuk Rusia, Pakistan, Malaysia, dan Indonesia, untuk menengok “pusat pendidikan vokasi” itu.

Cina juga mengundang tokoh agama Islam dari negara Islam terkemuka, termasuk Indonesia. Mereka yang diundang dalam kunjungan 17-24 Februari 2019 itu antara lain dari organisasi kemasyarakatan Islam besar, seperti Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah. Kunjungan yang singkat itu berjadwal padat. Kontak peserta kunjungan dengan warga setempat juga didampingi pejabat pemerintah.

Ketua Pengurus Harian Tanfidziyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama Robikin Emhas, yang ikut dalam rombongan, mengatakan konstitusi Cina sebenarnya membebaskan penduduknya memeluk agama apa pun, tapi mereka hanya boleh beribadah di tempat ibadah dan ruang privat. Saat bertandang ke Kedutaan Besar Cina di Jakarta, April 2019, pihak NU meminta umat Islam diberi kebebasan beribadah di sana.

NU, kata Robikin, juga meminta Cina berhati-hati dalam menentukan apakah seseorang berpaham radikal dan tetap menghormati hak asasi dalam penanganannya. Soal isu simpang-siur tentang kamp penahanan, menurut dia, “Dari penjelasan pemerintah Cina dan pengetahuan yang kami peroleh, tempat yang media Barat sebut kamp penyiksaan di Uighur itu adalah tempat pendidikan vokasi untuk memberdayakan masyarakat sebagai bagian dari program deradikalisasi.”

ABDUL MANAN (ICIJ, NEW YORK TIMES, WASHINGTON POST, HAARETZ, GLOBAL TIMES)
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus