Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“SALJU beterbangan, menari-nari, meleleh di tangan. Aku terpikat pasir yang putih dan gaib itu. Dan aku curahkan diriku ke dunia putih ini…,” suara Alima berkelana di layar film, mengiringi adegan lima bocah Belanda berwajah riang yang bermain-main di kebun berselimut salju. Alima di tengah mereka. Rambutnya dikonde, sementara tubuhnya dibalut kain batik yang dilapisi mantel tebal. Itu potongan film Mereka Panggil Aku Babu (Ze Noemen Me Baboe) yang digarap penulis sekaligus sutradara Sandra Beerends.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Film berbahasa Indonesia ini tayang perdana pada 23 November 2019 dalam International Documentary Festival Amsterdam (IDFA), festival dokumenter tahunan terakbar sejagat yang dihelat saban November. Tahun ini, ada 166 film yang berkompetisi meraih IDFA Audience Award, penghargaan film terbaik dari penonton. Dari ratusan film itu, Mereka Panggil Aku Babu berada di peringkat keempat dan menjadi satu-satunya film Belanda yang bertengger di posisi lima besar.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Seperti judulnya—kerap disebut Babu saja untuk mempersingkat—film ini bertutur tentang babu atau asisten rumah tangga bernama Alima. Babu mengambil latar 1945-an, tahun saat banyak keluarga Belanda di Indonesia menentukan pilihan: tetap bertahan di Indonesia yang sudah merdeka atau ikut beremigrasi ke negeri asal.
Alkisah, Alima angkat kaki dari kampungnya di Jawa Tengah untuk bekerja di Bandung, Jawa Barat. Di sana Alima mengasuh Jantje (dibaca “Yance”), bayi bungsu dari lima bersaudara sebuah keluarga Belanda. Saat keluarga itu pulang kampung, Alima turut menjejak Eropa. Kepergian itu disusul kabar Jepang menduduki Hindia Belanda. Keluarga Jantje lalu ditahan di kamp, dan Alima meratapi penderitaan majikannya. Namun, di sisi lain, ia juga melawan. Alima menyanggah anggapan sang majikan yang menyebut Hindia Belanda sedang dirampas. “Kami tidak merampas. Kami hanya merebutnya kembali,” kata Alima.
Nama-nama orang yang membantu Sandra Beerends untuk membentuk sosok Alima. Dok. Pieter van Huystee Film & TV
Sejak awal hingga akhir, narasi film Babu disampaikan lewat tuturan Alima kepada ibunya di kampung. Ia berbagi soal kesehariannya, juga kekalutan perasaannya pada masa peralihan kekuasaan Agustus 1945. Aspirasi nasionalisme Alima yang menggelegak berpilin dengan loyalitasnya kepada keluarga Jantje. Walau jauh dari tanah kelahirannya, Alima bersirobok dengan konsekuensi tragis kecamuk kolonialisme. Beerends menggandeng kita ke masa itu lewat adegan dan narasi yang teguh. Ada kalanya yang muncul adalah lanskap perdesaan dan kota di Jawa, tapi dalam adegan lain kita akan berjumpa dengan pemandangan yang banal. Bangunan-bangunan yang luluh-lantak terkibas api peperangan.
Film Babu meminjam narasi Alima untuk mengingatkan kembali luka imperialisme dan perang yang melahirkan dikotomi Timur-Barat. Kesenjangan sudut pandang Belanda-Indonesia ditampilkan secara simbolis lewat pendudukan Belanda oleh Jerman pada Mei 1941. Saat mendengar kabar itu, majikan Alima berkata, “Belanda diduduki”. Marlan, tukang kebun rumah Jantje yang juga seorang Indonesia, menimpali dari sudut pandang subordinat. “Indonesia dijajah selama tiga ratusan tahun,” ujarnya.
Bahasan yang keras itu berkelindan dengan perasaan sayang Alima kepada Jantje, yang dia panggil “anakku”. Saat mereka berpisah, Alima pun tak kuasa menyimpan kepedihannya. Ia berbisik kepada Jantje, berjanji selalu mengikuti ke mana pun hati bocah itu pergi. Sebab, bagi Alima, Jantje adalah anak sulung yang tak bisa lepas dari pikiran.
Selama di Eropa, Alima berjumpa dengan kejadian-kejadian yang menggugah keindonesiaannya. Ada satu adegan yang menunjukkan Alima sedang menonton parade di Belanda yang sebagian pesertanya memakai pakaian adat daerah Nusantara. “Eh, lihat! Orang Belanda paling suka melihat kita sebagai tontonan aneh,” tutur Alima. Lewat narasi, ia lalu mengenalkan kepada ibunya dua mahasiswa Indonesia yang belajar ilmu hukum di Belanda. “Dua lelaki itu bilang, di masa depan, keluarga-keluarga Belanda tak lagi berkuasa di Indonesia.”
Pergeseran perspektif Alima yang menjadi teramat kritis itu dinilai penulis asal Indonesia, Felix Nesi, kurang mulus. Felix mempertanyakan faktor yang membuat si polos Alima dalam film tiba-tiba saja punya pemahaman utuh tentang kolonialisme. Terlebih sebelumnya Alima punya ikatan emosional yang kuat dengan keluarga majikannya. Sedangkan sejarawan sekaligus presenter televisi di Belanda, Hans Goedkoop, justru heran terhadap sikap Alima yang terlalu setia kepada keluarga Jantje, sampai mengendurkan kritisismenya. Goedkoop menilai narasi yang dituturkan Alima terlalu lembut dan kurang tajam.
Namun urusan narasi itu, menurut Goedkoop, tertutupi oleh gambar yang indah. “Film ini sungguh puitis,” ucapnya. Hal itu ditambah suara Alima, yang diisi Denise Aznam, aktris keturunan Padang dan Manado yang lahir dan besar di Belanda. Suara Denise-lah yang mampu mengalirkan emosi Alima ke penonton, baik saat senang, berduka, cemas, geram, maupun jatuh cinta kepada Ribut, seorang pemuda Jawa. Denise menuturkan, ia belajar bahasa Indonesia dari kedua orang tuanya.
•••
WALAU kisahnya fiktif, Babu digolongkan sebagai dokumenter karena semua gambarnya diambil dari potongan film lawas yang kebanyakan amatir. Sedangkan naskah film dicerap Sandra Beerends dari wawancaranya dengan sejumlah narasumber, juga risetnya di Eye Filmmuseum Amsterdam. Dari 500 film yang dicermati perempuan 59 tahun itu, sebanyak 179 dia pilih untuk menyusun adegan Babu. “Membuat narasi dan gambar yang serasi itu cukup rumit,” kata Beerends.
Dalam beberapa adegan, ia membuat pilihan yang agak nekat dan janggal. Misalnya saat ia memasukkan adegan ritual dan tarian Bali, meski penonton tahu Alima wong Jawa. Ada juga pertunjukan wayang kulit Jawa di Bandung. “Kadang saya merasa perlu mengambil kebebasan artistik untuk menonjolkan emosi Alima pada saat itu,” ujar Beerends, beralasan.
Babu, Keluarga Belanda, dan Revolusi. Dok. Pieter van Huystee Film & TV
Seniman asal Indonesia yang bermukim di Belanda, Azuzan JG, menganggap interpretasi Beerends masih bisa dimaklumi. “Itu perlu, demi menggulirkan narasi. Apalagi, dalam film dokumenter, pesan adalah poin yang paling penting,” tuturnya.
Selain menyuguhkan adegan kontroversial itu, Beerends menyajikan cuplikan video yang selama ini jarang muncul. Salah satunya adegan Presiden Sukarno bercelana pendek dan bertopi rami sedang berpidato di tengah warga desa. Nukilan situasi politik ketika itu berpadu dengan keseharian Jantje kecil yang bermain dengan Alima di pekarangan, juga dengan gambaran aktivitas kapal penumpang rute Jawa-Belanda. Ada juga suguhan tradisi Jawa pada masa itu, yang direpresentasikan dengan adegan kelahiran orok di rumah dukun bayi yang disambut kehebohan warga.
Dari risetnya, Beerends juga memunculkan mitos-mitos Jawa. Misalnya suara tokek yang konon berhubungan dengan kesialan, ramalan Jayabaya, dan kisah burung kedasih. Mengenai hal itu, Beerends terilhami sutradara Garin Nugroho, yang ia kagumi. “Saya senang melihat cara Garin meleburkan mitos dalam karyanya,” katanya. Tafsir Beerends dan pilihan video ini memikat media Belanda. Majalah mingguan De Groene Amsterdammer menganggap karya Beerends indah dan mengharukan. Adapun harian Trouw menyebutkan kekayaan gambar film Babu sangat mempesona.
•••
Gambar dari film Ze Noemen Me Baboe: Seorang babu dan dua anak Belanda di atas kapal antara Indonesia dan Eropa. Dok. Pieter van Huystee Film & TV
DALAM film ini, kata babu dijelaskan asal-muasalnya. Diksi itu diduga lahir dari ucapan orang Belanda yang menggabungkan kata “mbak” dan “ibu”. Jika dua kata itu disandingkan, bunyinya akan terdengar seperti “babu”. Namun, menurut antropolog Eveline Buchheim, kata tersebut mengalami pergeseran makna. Selanjutnya, kata babu digunakan untuk menyebut pekerjaan pengasuh anak yang tidak melakukan pekerjaan rumah tangga lain.
Setelah 1945, atau saat keluarga Belanda berangsur-angsur meninggalkan Indonesia, istilah babu mulai merujuk pada pekerjaan asisten rumah tangga (ART). Bahkan, belakangan, kata itu memikul kesan lebih kasar bila bersanding dengan istilah ART ataupun pengasuh anak. Buchheim menduga hal itu terjadi karena babu adalah diksi warisan kolonial dan mempertegas hubungan majikan-ART yang tidak setara. Sayangnya, kata dia, sampai kini belum ada penelitian akademis tentang sejarah dan peran babu pada zaman kolonial. “Padahal babu cukup banyak disebut dalam surat-surat dan buku harian orang Belanda yang pernah tinggal di Hindia Belanda,” ujarnya.
Kisah beberapa babu pada zaman dulu pun menarik. Sandra Beerends menyebutkan ada sejumlah pengasuh anak pada masa kolonial yang berupaya lebih mandiri. Mereka bekerja khusus di kapal laut berpenumpang keluarga-keluarga Belanda yang pulang berlibur tanpa membawa babu tetapnya. Perempuan-perempuan itu disebut zeebaboe’s atau babu laut. Bahkan, setelah Indonesia merdeka, ada sejumlah babu yang memilih tinggal di Belanda sebagai pengasuh anak. Mereka semula menumpang di badan amal, seperti yayasan Kristen yang menyediakan tempat tinggal sementara. “Lama-lama sejumlah tempat itu berkembang menjadi semacam agen babu,” ucap Beerends.
Dari risetnya, Beerends juga mendapat testimoni mengenai babu dari kenangan orang-orang Belanda tentang pengasuh mereka. Salah satunya Philip Vencken, yang lahir pada 1950 di Singapura dan tinggal di Jakarta sejak 1953 hingga 1958. Vencken mengaku ingat kepada Su, babunya yang muda, selalu berkebaya putih, serta berkain gelap. Su selalu bertelanjang kaki di dalam rumah, dan kebiasaan itu kemudian diadopsi Vencken. Su-lah yang mengurus Vencken sejak bangun pagi hingga menutup kelambunya saat istirahat petang.
Poster film Mereka Panggil Aku Babu (Ze Noemen Me Baboe)
Ada pula Mug Elias yang lahir dan tinggal di Jawa Timur sebelum berangkat ke Belanda pada 1956, saat berumur 11 tahun. Elias mengaku merindukan Nahsia, babu yang merawatnya. “Aku ingat bau bedak talkumnya sesudah mandi, dan kondenya yang selalu berhias bunga yang wangi. Sampai saya besar, Nahsia berkeras menggendong saya di atas punggungnya sepulang saya dari sekolah,” kata Elias.
Walau banyak orang Belanda yang terkenang akan babunya, Beerends menyayangkan putus kontaknya mereka dengan sang pengasuh. Memang, ada sebagian orang yang berkunjung lagi ke Indonesia untuk mencari dan menemui babunya, tapi usaha mereka gagal karena tak punya identitas pengasuh tersebut. Namun, dari sederet kisah muram itu, ada satu cerita menyenangkan, yakni tentang babu yang pernah bersekolah dan menolak ikut majikannya pindah ke Belanda. Sang babu beralasan ingin menetap di Indonesia agar bisa berjuang untuk pendidikan anak-anak perempuan negeri ini.
Berpuluh tahun kemudian, keluarga bekas majikan itu menerima surat dari kerabat sang babu di Indonesia. Dalam surat tertulis, si babu sudah meninggal. Namun, sebelum itu, dia berhasil menjadi pendidik dan bahkan bekerja di Departemen Pendidikan. Kisah itulah yang menginspirasi Beerends melahirkan sosok Alima. Dalam film Babu, Alima juga dikisahkan bercita-cita menjadi pengajar anak-anak perempuan di Jawa.
Beerends mensyukuri prosesnya memproduksi film ini, juga bagaimana Babu disambut hangat di IDFA 2019. Menurut Beerends, sebagian penonton berusia sepuh menyalaminya dengan mata berair, sementara yang muda berterima kasih karena mendapat tambahan pengetahuan sejarah dari Babu. Hal itu, kata Beerends, memenuhi harapannya memperlihatkan betapa kompleksnya hubungan Belanda dan Indonesia pada masa lampau. “Bagaimana pun, ini adalah sejarah kita bersama, bagian yang baik maupun buruk,” tuturnya. Harapan Beerends kini bertambah satu: filmnya ditayangkan pula di Indonesia.
LINAWATI SIDARTO (AMSTERDAM)
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo