Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MENJAGA keutuhan kabinet terkadang mesti didahulukan ketimbang menjaga gengsi. Termasuk kalau harus mengemis dukungan lawan seperti dilakukan Perdana Menteri Israel Ariel Sharon, 76 tahun, akhir pekan lalu. Dengan kekuatan hanya 40 kursi, Likud—partai pendukung Sharon— cuma disokong oleh sepertiga kekuatan Knesset. Karena total jumlah anggota Knesset alias parlemen Israel itu adalah 120 orang, Sharon bisa-bisa rontok dihajar mosi tidak percaya setiap saat. Ketimbang terjungkal, dia rela mengajak Partai Buruh untuk saling berjalin tangan.
Langkah Sharon bukan tanpa pertimbangan. Posisi yang terlalu lemah di Knesset bukan cuma bisa membikin karier dia tamat. Rencana penarikan mundur tentara Israel dan warga Israel yang bermukim di Gaza dan Tepi Barat juga terancam kembali ke titik nol (Lihat Satu Wilayah, Dua Permukiman). Sharon langsung melobi anggota Dewan Sentral Partai untuk menyetujui usulannya agar Likud menggandeng Partai Buruh. Dari 3.000 anggota Dewan Sentral, 62 persen bersedia mendukung. Seterunya, Shimon Peres, juga memberikan sinyal positif. ”Saya akan berusaha keras untuk menjaga pemerintahan nasional yang bersatu,” ujar Ketua Partai Buruh itu.
Dalam kondisi normal, jangankan Sharon sebagai Ketua Likud, anggota pada posisi terendah pun emoh menoleh ke kubu Buruh. Namun, penolakan Knesset dengan perbandingan 69 : 43 suara terhadap rencana bujet 2005 yang diajukan Sharon awal Desember lalu membuat konstelasi politik dalam negeri Israel berubah seketika, selain membuat lebih solid Likud.
Sharon yang terkejut melihat penjegalan Knesset ditopang anggota Dewan dari Partai Shinui, langsung memecat lima menterinya yang berasal dari partai itu. Manuver ini kontan membuat kabinetnya pincang, mengingat Shinui adalah satu dari tiga partai yang diajak Likud untuk membentuk pemerintahan koalisi pada Maret 2001.
Penolakan Shinui terhadap bujet usulan Sharon terutama pada rencana peningkatan subsidi bagi partai ultra-ortodoks seperti Partai Torah Yudaisme Bersatu (TYB). Dalam hitungan Sharon, peningkatan bantuan terhadap TYB bisa memperlunak penentangan mereka terhadap rencana penarikan mundur tentara dan warga Israel yang ia jadwalkan akan berlangsung musim panas 2005. Meski dalam pemetaan politik posisi Likud berada di sayap kanan seperti halnya TYB, namun Likud jauh lebih moderat dalam mencoba penyelesaian damai dengan Palestina.
Selain itu, melunaknya TYB diharapkan akan menular kepada sikap para rabbi garis keras yang belakangan selalu mendelik setiap kali mendengar nama Sharon disebut. Seorang rabbi terkemuka, Yossi Dayan, bahkan mengeluarkan sumpah suci dalam tradisi agama Yahudi, Pulsa diNura, yang meminta Tuhan agar langsung menghukum orang-orang yang dianggap melanggar atau memalukan martabat bangsa Yahudi. ”Tahun 1995 saya pernah mengucapkan sumpah terhadap (Perdana Menteri) Yitzhak Rabin. Ia meninggal tak lama kemudian,” ujar Rabbi Dayan di satu jaringan televisi Israel, pekan lalu.
Ngototnya Sharon untuk rencana penarikan mundur memang mengejutkan para pendukung kebijakan garis keras Israel. Selama ini Sharon dikenal dengan kebijakan agresifnya yang tak sudi bernegosiasi dengan Palestina. Ketika ia menjadi Menteri Pertahanan pada 1982, ia dianggap berada di belakang pembantaian 3.000-an warga Palestina di kamp pengungsi Sabra dan Shatila, Libanon. Karena itu, bangsa Arab menjulukinya Penjagal dari Beirut. Di masa-masa itulah (1981-1983) Sharon melipat gandakan jumlah pemukim Israel di Jalur Gaza dan Tepi Barat lewat pengembangan program pemukiman Gush Emunim.
Sharon juga dianggap sebagai pemicu munculnya Intifadah Al-Aqsa setelah kunjungannya yang kontroversial di tempat suci itu pada tahun 2000. Tahun ini, Sharon kembali diyakini warga Palestina sebagai orang yang paling bertanggung jawab atas terbunuhnya dua pemimpin Hamas, Syaikh Ahmad Yassin dan Abdel Aziz al-Rantissi, dalam rentang tiga pekan yang berdarah pada Maret-April 2004.
Bagi warga Israel, politisi berdarah Jerman-Polandia itu justru mendapat dukungan. Jajak pendapat dari Universitas Tel Aviv pada Mei 2004 mencerminkan hal itu. Hampir 80 persen responden menyetujui tindakan keras yang dilakukan Sharon terhadap Palestina. Maka, tatkala ia mengumumkan rencana penarikan mundur, banyak kalangan di Israel seperti kebakaran jenggot, kecuali dari partai-partai sayap kiri dan moderat.
Terhadap tekanan yang kini mengeras dari partai politik dan para tokoh keagamaan itu, akan melunakkah sikap Sharon? ”Saya percaya bisa menemukan jalan keluar dari masalah ini. (Partai-partai) Sayap kiri tak ada yang mau melakukan (penarikan mundur). Sayap kanan menentang usulan ini,” ujar sang Perdana Menteri.
Toh, Sharon haqul yakin parlemen akan mendukung rencananya suatu saat nanti. Dengan optimistis dia berkata: ”Ini langkah maju bagi perdamaian yang harus dilakukan Israel.”
Akmal Nasery Basral (BBC, AP, Haaretz)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo