Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ibrahiem Hassan, 16 tahun, terkena pecahan granat di dekat kamp pengungsi Jabalia, utara Jalur Gaza. Tangan kanannya putus seketika. Abir Aramin, gadis 10 tahun, dipastikan mengalami kelumpuhan otak. Serdadu Israel menembaknya dua pekan lalu.
Banyak kekerasan dan kesewenang-wenangan Israel di Palestina. Tapi bukan itu yang membuat Presiden Amerika George W. Bush mengirim Menteri Luar Negeri Condoleezza Rice ke Timur Tengah pekan lalu. Dalam lima hari Rice mengunjungi Mesir, Israel, Palestina, Yordania, Kuwait, dan Arab Saudi. Dia bertemu para pimpinan, termasuk Presiden Palestina Mahmud Abbas dan Perdana Menteri Israel Ehud Olmert. Menurut Rice, dia akan mengundang Abbas dan Olmert dalam pembicaraan nonformal tentang penyelesaian Palestina-Israel, akhir Februari nanti. “Bukan negosiasi, tapi dialog pranegosiasi,” kata Rice.
Sebelum itu, Rice telah mengundang anggota Kuartet lain, yakni Perserikatan Bangsa-Bangsa, Uni Eropa, dan Rusia, untuk meminta mereka kembali terlibat dalam penyelesaian damai Palestina-Israel, 2 Februari nanti. Inilah pertemuan pertama sejak enam bulan lalu.
Itu semua untuk menindaklanjuti dukungan AS dan sekutunya terhadap Presiden Abbas. Dalam pembicaraan Abbas dengan Rice, awal Januari lalu, misalnya, AS menjanjikan bantuan uang dan senjata untuk tentara pengawal Abbas. Pemerintah Israel juga mencairkan US$ 100 juta (Rp 900 miliar) uang pajak yang menjadi hak rakyat Palestina, langsung diberikan kepada Abbas. Ya, AS langsung terjun ke tengah-tengah konflik Fatah-Hamas dan memilih Fatah sebagai kawan.
Arab Saudi dan Liga Arab juga siap dengan usulan damai. Mereka lebih memusatkan perhatian pada penyelesaian pertikaian internal Palestina agar tidak menjadi konflik sektarian seperti di Irak. Sedangkan Prancis, Italia, dan Spanyol secara informal mencoba memformulasikan resep mereka bulan lalu. Ada lima poin—salah satunya adalah agar Hamas mengakui eksistensi Israel.
Ya, banyak pihak “berlomba” memberi usulan perdamaian Israel-Palestina. Pemerintah AS, seperti dikatakan Presiden George W. Bush, bertekad ada deklarasi negara Palestina merdeka yang hidup berdampingan dengan Israel pada akhir 2007. “Solusi dua negara” merupakan bagian road map 2002, yang semula menargetkan Palestina merdeka pada 2005.
Bush ingin “menyelesaikan” masalah Israel-Palestina, paralel dengan strategi menang di Irak, seperti isi pidatonya dua pekan lalu. AS punya paket strategi mewujudkan kawasan Timur Tengah yang lebih baik (baca: sesuai dengan kepentingan AS), bebas dari ancaman nuklir Iran dan tidak menjadi lahan berkembangnya teroris.
Ingar-bingar perhatian banyak pihak untuk membantu mewujudkan negara Palestina merdeka dan perdamaian Israel-Palestina tak mendapat sambutan bagus di Palestina. Menurut mantan Menteri Luar Negeri Palestina, Nabil Saath, Fatah tidak terlalu percaya pada inisiatif AS. “Road map sudah terbukti gagal. Prioritas AS yang sebenarnya adalah Irak dan Iran, bukan Palestina,” kata Saath, yang pernah terlibat intensif dalam perundingan damai Israel-Palestina di masa Menlu AS dijabat Madelline Albright. Shaath yakin perhatian AS tertuju pada Irak, bukan Palestina.
Bisa diperkirakan, tanggapan skeptis juga datang dari pihak Hamas. Apalagi, Hamas sangat kecewa dengan ikut-campurnya AS dalam konflik Hamas-Fatah. Penolakan terhadap Hamas dan dukungan terhadap Fatah bertujuan mengobarkan perang saudara. “Mencegah berdirinya pemerintahan persatuan nasional serta menghancurkan proyek nasional Palestina secara keseluruhan,” ujar Perdana Menteri Ismail Haniyah, Rabu lalu.
Hal itu dibenarkan Saath. Kepada Tempo dia menyatakan, para pimpinan Hamas dan Fatah sedang bekerja keras mewujudkan pemerintahan bersama, seperti disepakati Haniyah dan Abbas sejak September 2006. Berbagai pertemuan digelar, termasuk antara sesepuh Hamas dan Fatah di Ramallah, Sabtu dua pekan silam. Bahkan Pemimpin Gerakan Jihad Islam Palestina, Nafeth Azzam, mendukung pembentukan pemerintah bersama.
Palestina tidak gembira dengan tawaran bantuan bertubi-tubi. Mereka tidak yakin Israel rela Palestina merdeka. Hal ini tidak hanya diyakini Hamas, yang tidak mengakui eksistensi Israel, tapi juga Fatah (lihat boks “Itu Hanya Buang-buang Waktu”). Penduduk Palestinalah yang paling tahu keadaan yang sebenarnya: tekanan, teror, serta kekerasan tentara Israel di Jalur Gaza dan Tepi Barat.
Apalagi sejak Hamas menang pemilihan umum parlemen, 28 Januari 2006. Karena AS dan sekutunya mencap Hamas teroris, rakyat Palestina dihukum secara kolektif. Israel tidak memberi jatah uang pajak hak Palestina US$ 60 juta (Rp 544 miliar) per bulan. AS dan sekutunya juga menghentikan aliran transfer melalui bank ke Palestina. Negara pun bangkrut. Lebih dari 100 ribu pegawai negeri tidak digaji selama berbulan-bulan—ini juga salah satu sebab pertikaian Hamas-Fatah.
Menurut Ilan Pappe, pengajar senior di Departemen Ilmu Politik, Universitas Haifa, Israel, pemerintah Israel terus menerus melakukan berbagai “eksperimen” untuk melemahkan Palestina. Sepanjang 2006, operasi militer Israel di Gaza terjadi tanpa henti. Dengan menggunakan berbagai nama seperti Operasi Hujan Pertama dan Operasi Hujan Musim Panas, tentara Israel mengerahkan pesawat-pesawat tempur dengan bom sonik, tank-tank, menggeledah rumah-rumah. Menurut Pappe, penculikan tentara Israel, Gilad Shalit, oleh kelompok bersenjata Hamas, Juni 2006, hanya memperkuat alasan pembenar bagi tentara Israel untuk semakin keras menekan rakyat Palestina.
Hasilnya nyata benar. Akhir tahun lalu, organisasi hak asasi manusia Israel, B’Tselem, menerbitkan laporan tahunan tentang kekerasan tentara Israel di Palestina. Menurut B’Tselem, 660 warga Palestina dibunuh, 141 di antaranya anak-anak, selama 2006, tiga kali lebih banyak dibanding tahun sebelumnya. Kematian terbanyak terjadi di Jalur Gaza. Jadi, sejak 2000, tentara Israel membunuh hampir 4.000 warga Palestina, sekitar setengahnya anak-anak. Karena B’Tselem adalah organisasi konservatif, diperkirakan jumlah korban lebih banyak lagi.
Selain itu, menurut Pappe, pemerintah Israel membuat kebijakan menekan Palestina, yang “terlalu membosankan jika diberitakan, dan terlalu kecil jika dipersoalkan organisasi hak asasi manusia”, seperti membuat kebijakan sipil yang diskriminatif terhadap warga Palestina, termasuk kesinambungan pembangunan dinding. Tujuan akhirnya, Palestina akan kehilangan hampir separuh wilayah di Tepi Barat pada 2010.
Tampaknya, Palestina dapat belajar dan menyesuaikan diri terhadap berbagai tekanan sepanjang waktu. Berbulan-bulan mereka hanya bisa merasakan tekanan militer Israel, baik di Gaza maupun di Tepi Barat. Dan kini, Bush menawarkan sesuatu yang susah mereka percayai.
Ahmad Taufik (IMEMC News, AP, AFP dan Reuters)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo