Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Namanya Paw, perempuan Karen, suku minoritas di timur Myanmar. Di Ei Thu Tha, tempat pengungsian di perbatasan Myanmar-Thailand, orang sering menyaksikannya menarik napas dalam-dalam, juga menangis banyak-banyak.
Paw, nama lengkapnya Eha Hsar Paw, seperti ditulis di harian The Independent pekan lalu, sangat takut pada tentara. “Mereka menembak siapa pun yang terlihat, termasuk anak-anak,” kenangnya. Semua berawal pada Februari tahun lalu, kala desa kelahirannya dibakar tentara pemerintah. Sejak itu ia berjalan jauh dan kehilangan kelima anaknya. Selagi bersembunyi dengan teman-temannya di hutan, Paw kehilangan seorang anak dan janin di rahimnya. Dua anaknya ditembak tentara di desanya dulu. Seorang lagi meninggal setelah mereka tiba di tempat pengungsian.
The Independent tak memerinci kisahnya lebih jauh, tapi cerita muram Paw adalah cerita masyarakat suku Karen pada umumnya. Saat ini, sekitar 27 ribu warga Karen tinggal di sembilan kamp pengungsi di sepanjang perbatasan Myanmar–Thailand; 55 ribuan bersembunyi di hutan, menghindari serangan tentara. Selama satu dekade, lebih dari sejuta orang mengungsi akibat konflik bersenjata antara tentara pemerintah Myanmar dan gerilyawan separatis Karen.
Menurut Konsorsium Perbatasan Thailand Burma, lembaga nirlaba yang membangun tempat-tempat pengungsian di sepanjang perbatasan Myanmar-Thailand, militer Myanmar telah membakar habis 232 desa Karen. Warga Karen yang tertangkap dijadikan pekerja paksa atau disiksa sampai mati. “Situasinya sekarang lebih buruk ketimbang sebelumnya,” ujar Maung Taungy, seorang penghuni kamp Ei Thu Tha.
Penindasan terhadap suku minoritas Karen hanyalah satu dari rentetan pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan junta militer yang berkuasa sejak 1962. Junta militer ini telah membatalkan kemenangan beberapa kekuatan demokratis, seperti Liga Nasional untuk Demokrasi dan Liga Bangsa Shan untuk Demokrasi, dalam pemilihan umum 1990, pemilu pertama sejak 30 tahun.
Dengan menggunakan Pakta Perlindungan Negara 1975, pemerintah memiliki hak untuk menangkap siapa pun yang mereka anggap membahayakan keselamatan negara. Pada prakteknya, junta militer juga menyiksa, membunuh, dan memaksa mereka melakukan kerja paksa terhadap semua lawan politik mereka. Kini sekitar 1.100 aktivis politik ditahan, termasuk peraih Nobel Perdamaian 1991, Aung San Suu Kyi, yang masih sebagai tahanan rumah.
Sejauh ini pelanggaran hak asasi manusia di Myanmar selalu masuk catatan lembaga internasional HAM seperti Human Rights Watch dan Amnesty International, namun tiada penyelesaian yang cukup berarti buat mengatasinya. Pemerintah Amerika Serikat dan Inggris berusaha memasukkan Myanmar ke agenda pembahasan Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (DK PBB) pada September 2006. Tapi Cina dan Rusia membela Myanmar seraya menggunakan hak vetonya dalam sidang awal Januari 2007.
Indonesia, sebagai anggota tidak tetap DK PBB, abstain dalam pemungutan suara untuk mengakhiri represi politik dan pelanggaran hak asasi manusia di Myanmar. Menurut Menteri Luar Negeri Hassan Wirayuda, Indonesia abstain karena masalah Myanmar lebih tepat masuk agenda Dewan Hak Asasi Manusia PBB.
Pun di dalam ASEAN: usulan pemerintah Filipina mendesak reformasi politik di Myanmar, yang disampaikan dalam pertemuan tingkat tinggi di Cebu dua pekan silam, tidak didukung anggota lainnya. Padahal, sebagai anggota ASEAN, Myanmar selalu dianggap sebagai hambatan proses integrasi organisasi yang sekarang beranggotakan 10 negara di Asia Tenggara itu.
Rusia dan Cina beralasan, Myanmar tak perlu masuk agenda DK PBB karena negara berpenduduk sekitar 50 juta jiwa itu tidak membahayakan keamanan dunia. Jadi, Suu Kyi, para aktivis prodemokrasi yang masih ditahan, rakyat yang ditindas, dan 75 persen penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan harus menunggu lagi.
Faisal Assegaf (AFP, Irrawaddy, Mizzima News)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo