BUKAN peluru kendali Irak yang menggelegar di Teheran, Senin dua pekan silam. Tapi sebuah bom mobil. Terjadi tidak jauh dari bazar, ledakan itu menewaskan sembilan orang dan melukai 14 lainnya. Dua puluh gedung bertingkat rusak berat, sembilan mobil hancur, sementara pelakunya tidak diketahui. Sabotase itu bukaniah yang pertama. Berturut-turut bom meledak pada Maret dan April, satu di antaranya terjadi di masjid, tatkala orang sedang melakukan salatJumat. Teheran rawan? Mungkin saja. Keadaan memang tampak kian buruk sejak satu bulan berselang karena banyak demonstran beraksi di jalan-jalan. Anehnya, aksi protes itu digerakkan oleh dua kelompok yang berlawanan, Hizbullah yang properang dan kelompok lamnya yang antiperang. Tapi pentas Teheran tidak hanya dimonopoli oleh mereka. Masyarakat kelas menengah Iran tiba-tiba saja muncul di lapangan Varnak, Jumat berselang. Memenuhi seruan bekas PM Shahpour Bakhtiar - PM terakhir di bawah pemerintahan Syah Iran - orang-orang kelas menengah itu melancarkan gerakan perlawanan nasional. Tujuannya dua: menentang penguasa Iran sekarang dan menentang perang melawan Irak. Sikap antipemerintah diperagakan secara damai, malah sedikit genit. Mengapa? Mereka unjuk perasaan dengan meluncurkan mobil ke jalan-jalan. Sebagian besar mengenakan pakaian tradisional Iran - dari bahan mahal tentu saja - tapi tidak sedikit pula yang membungkus dirinya dalam setelan jas gaya Barat, lengkap dengan dasi dan kemeJa lengan panJang. Sekadar mempertegas ciri kelompok, mereka mengangkut anak-anak mereka yang ceria, berikut karangan bunga, di mobil masing-masing tentu saja. Sedikit aneh memang, karena gerakan perlawanan Shahpour ini lebih mirip karnaval ketimbang demonstrasi.Tak urung petugas keamanan ikut sibuk. Polisi lalu lintas berusaha mengatasi kemacetan. Sementara itu, beberapa anggota Pasdaran - Pengawal Revolusi Iran - berjaga-jaga di banyak tempat. Ternyata, tidak banyak yang dapat mereka kerjakan. Aksi mobil tidak bisa dikenai larangan apa pun karena segalanya berjalan damai, tanpa yel-yel, slogan, ataupun poster. Oleh kantor berita Iran, Irna, demonstrasi ini dinilai kekanak-kanakan, sebuah "pertunjukan konyol" yang sepenuhnya dikoordinasikan dengan "kantor berita imperialis". Apa pun pendapat pemerintah, yang pasti para pendukung keluarga Syah kini sudah berani unjuk perasaan. Mungkin mereka tidak potensial, barangkali juga secara politis tidak ada artinya. Tapi gejala kebangkitan mereka memastikan satu hal, bahwa pemerintahan Khomeini tidaklah semantap dulu. Ada kesan seolah-olah mereka goyah di dalam. Apalagi jika ditinjau sikap mereka dalam menghadapi dua kelompok demonstran yang pro dan antiperang. Mereka tampaknya lebih suka jadi penonton, membiarkan dua kekuatan cakar-cakaran, sampai akhirnya muncul kelompok pemenang. Kepada kedua kelompok, Presiden Ali Khamenei mengimbau agar permusuhan dihentikan. Ettelaat, satu dari dua surat kabar berpengaruh di Iran, telah pula mengecam adu kekuatan yang sia-sia itu. Diingatkannya bahwa unsur-unsur revolusi Iran harus menggalang kekuatan, bukan baku hantam dan akhirnya terjerumus ke dalam anarki. Terlepas dari kericuhan di garis belakang ini, Iran kabarnya terus meningkatkan konsolidasi pasukannya di front terdepan. Menurut sumber resmi pemerintah AS, ada 100.000 tentara Iran siap siaga di perbatasan Irak. Dan mereka sekarang tampak lebih tangguh karena diperkuat pasukan tank dan artileri. Satu hal lain yang tidak kurang pentingnya adalah kunjungan dua hari menlu Arab Saudi Pangeran Saud al-Faisal ke Teheran, pekan silam. Pangeran ini menyerukan pendekatan hubungan kedua negara seraya menyatakan harapannya agar perang Iran-Irak segera diakhiri. Tapi Irak tidak menghiraukan inisiatif Saud itu, sedangkan Iran tampaknya kurang antusias.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini