MESIR sebenarnya tidak perlu lagi meminta pendapat rakyat
terhadap persetujuan damai Arab-lsrael. Parlemennya sudah
menerima langkah damai itu 10 April lalu dengan suatu mayoritas
mutlak. Tapi pengukuhannya lewat referendum masih diperlukan
Presiden Anwar Sadat pekan lalu.
Hasilnya tidak meleset dari dugaan Sadat, yakni dukungan 99%.
Kini terbukti benar pada kaum pemimpin Arab radikal -- kelompok
Baghdad -- bahwa langkah damai itu merupakan keinginan rakyat
Mesir yang murni.
Sadat mengumumkan pula rencana Mesir mengadakan pemilu untuk
parlemen pada bulan Juni. Dijanjikannya liberalisasi kehidupan
politik dan pers.
Sebelum referendum, para pemimpin Mesir tidak lagi berbicara
mengenai "Nasionalisme Arab," melainkan sibuk dengan
"Patriotisme Mesir." Ketua Parlemen Mesir, Soufy Abu Taleb,
dalam suatu pidato pekan silam mengecam keras para pemimpin Arab
yang menentang langka damai Mesir. "Setiap huruf dalam
perjanjian damai itu dibayar dengan darah 100 ribu syuhada Mesir
yang tewas dalam 4 perang melawan Israel," demikian Taleb.
Namun kaum gerilyawan Palestina cenderung meningkatkan kegiatan.
Umpamanya sebuah bom surat pekan lalu meledak di kantor pos
Kairo. Korbannya seorang wanita. Di Beirut suatu kelompok
gerilya Palestina mengaku bertanggungjawab atas bom tersebut.
Sebelumnya, sekelompok orang Palestina bersenjata melakukan
pemboman terhadap calon-calon penumpang pesawat terbang Israel,
El Al, di Brussel, Belgia. Di Beirut sendiri terjadi
penggeranatan terhadap Kedutaan-besar Amerika dan Pusat
Kebudayaan Kennedy milik Amerika. Ke dalam Israel pun orang
Palestina melancarkan aksinya. Beberapa di antara mereka tewas
ketika mencoba melintasi perbatasan Israel-Libanon Selatan.
Para pemimpin Arab radikal masih mencoba dengan segala cara
melaksanakan hasil pertemuan Baghdad akhir Maret yang menghukum
Mesir. Di Baghdad mereka sepakat untuk menghentikan semua
bantuan ekonomi dan minyak kepada Kairo. Mesir juga disingkirkan
dari semua organisasi negara-negara Arab. Tapi kemudian Menteri
Perminyakan Arab Saudi, Sheik Ahmad Zaki Yamani, mengeluarkan
pernyataan yang mengejutkan. "Minyak kepada Mesir akan mengalir
terus dari Arab Saudi Ini tidak termasuk dalam kerJasama ekonomi
Arab," kata Yamani. Juga Bank Pembangunan Islam ternyata akan
terus membantu Mesir. Dr Ahmad Muhammad Ali, presiden bank
tersebut menjelaskan "Bank ini tidak ada hubungannya dengan
politik."
Pertemuan Baghdad yang terakhir itu memang bukan suatu majlis
yang akrab. Pertentangan melandanya demikian rupa hingga Yasser
Arafat, ketua PLO, serta delegasi Libya suatu kali meninggalkan
sidang. Sikap keras PLO dan Libya kabarnya hampir saja menjadi
sebab ditinggalkannya sidang itu oleh Pangeran Saud Al Faisal
dari Arab Saudi
Jelas ada ketidak-pastian di pihak yang menentang Mesir. Sadat,
tentu saja, mendapat keuntungan dari keadaan demikian. Tapi
keuntungan terbesar yang bisa dimanfaatkan Sadat adalah di dalam
negeri sendiri seperti hasil referendum pekan silam. Bahkan ia
berani memulihkan liberalisasi politik Mesir yang terhenti sejak
zaman Nasser. Dalam suatu negara yang ekonominya belum bisa
disebut sehat, liberalisasi politik itu mengandung risiko besar
bagi Sadat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini