Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Gedungnya Laris Tapi Turis Kecewa

Gedung Merdeka tempat Konperensi A.A. di Bandung kurang mendapat perhatian & perawatan, sampai terpaksa dikomersilkan. Rencana terakhir, sebagian gedung Merdeka akan dijadikan museum. (nas)

28 April 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BEBERAPA foto, peta dunia dari kayu dan dinding bertuliskan Dasasila Bandung mengisi ruangan berukuran 22 kali 8 meter itu: Ruang Asia-Afrika. Hampir tidak ada bukti lain bahwa gedung Merdeka di Bandung ini pernah menjadi tempat diselenggarakannya Konperensi Asia-Afrika yang termashur itu. Bisa dimengerti bila banyak turis asing yang khusus datang ke Bandung untuk melihat gedung bersejarah ini kecewa. Jelas terlihat kurangnya perhatian untuk memelihara keaslian gedung bersejarah ini. Kursi yang dulu pernah dipakai dalam konperensi kini tinggal tersisa 400 buah, itupun joknya sudah diganti dengan karet busa. Lalu masih ada 30 meja serta sejumlah tiang bendera kecil. Yang lainnya? "Wah, itu tidak diketahui," kata R. Aksan Oleredja, pengelola Gedung Merdeka pada TEMPO. Gedung yang dibeli pemerintah pada 1955 ini sekarang statusnya di bawah Sekretariat Negara, tapi pengelolaan dan penggunaannya oleh Pemerintah Daerah Jawa Barat. Sekneg sendiri tidak menyediakan dana untuk perawatan gedung ini sedang biaya pemeliharaannya memerlukan sekitar Rp 20 juta setahun. Rekening listrik dan air saja per bulan berjumlah Rp 230 ribu. Lalu dari mana biaya pemeliharaan didapat? "Daripada jadi rusak, gedung ini terpaksa dikomersilkan," ujar Aksan. Maksudnya disewakan pada umum. Begitulah, berbagai pihak kemudian memanfaatkan gedung ini: instansi pemerintah, swasta sampai untuk tempat resepsi perkawinan warga non pribumi. Yang terakhir ini kemudian mengundang reaksi masyarakat menentangnya, hingga sejak 2 tahun lalu gedung ini tidak lagi dipakai untuk tempat resepsi perkawinan itu. Gedung Merdeka ini cukup laris karena taripnya memang miring. Aula Hotel Homan misalnya memasang tarip Rp 150 ribu sedang Gedung Merdeka hanya sepertiganya. Sesudah Kenop 15 tarip ini memang naik, tapi masih di bawah Rp 100 ribu hingga gedung ini paling populer di sewa berbagai panitia pencari dana. Dibangun pada 1879 oleh 2 arsitek Belanda Van Galenlast dan Wolf Schoemaker, gedung ini didirikan oleh Societeit Concordia, perkumpulan opsir Belanda untuk tempat hiburan mereka. Dan di zaman itu, ketika Bandung dikenal sebagai Parijs van Java, gedung tersebut pernah merupakan bangunan paling ternama di kawasan Priangan, ramai dikunjungi para pemilik perkebunan teh, kina dan karet. Lantai dansa dan ruangan umum terbuat dari marmer Italia, sedang lantai ruangan minum dan duduk memakai eikenhout, kwalitas kayu yang melebihi jati. Lampu-lampu hias kristal menerangi ruangan tempat berkumpulnya cabang atas Belanda waktu itu. Kini, lampu kristal sudah berganti dengan lampu neon, sedang eikenhout telah diganti tegel buatan Cimindi. Tentara penduduk Jepang tetap menggunakan gedung ini sebagai tempat pertemuan dengan nama Dai Toa Kaikan. Setelah proklamasi kemerdekaan, para pemuda kita menggunakannya sebagai markas perjuangan, dan pemerintah Kotapraja Bandung kemudian sempat memanfaatkan sebagian gedung ini. Beberapa pertemuan, misalnya Musyawarah Antar Kotapraja Seluruh Indonesia 1952 diselenggarakan di sini. Societeit Concordia semula menolak waktu pemerintah ingin membeli gedung ini untuk tempat penyelenggaraan Konperensi Asia-Afrika. Tapi setelah mereka dihadapkan dengan kemungkinan pengambilalihan demi kepentingan negara, mereka setuju. Dalam waktu 3 bulan, Dinas Pekerjaan Umum Jawa Barat di bawah Srigati Santoso merubah ruangan-ruangan gedung ini supaya sesuai dengan keperluan konperensi. Dinas Pos dan Telekomunikasi melengkpinya dengan cabang kantor pos dan hubungan telepon langsung ke kota-kota penting Eropa dan Amerika serta memasang sistim pengeras suara. Presiden Soekarno kemudian memutuskan nama Gedung Merdeka mengganti Concordia serta Jalan Raya Timur -- di mana gedung itu terletak menjadi Jalan Asia-Afrika. Untuk melengkapinya, gedung Dana Pensiun milik Departemen Keuangan dipakai juga untuk keperluan konperensi dengan nama baru Gedung Dwiwarna. Sekitar 10 hari menjelang Konperensi, Roeslan Abdulgani yang menjabat Ketua Sekretariat Bersama negara sponsor konperensi mendadak melapor pada PM Ali Sastroamidjojo ada persoalan yang hanya bisa diatasi oleh PM. Ternyata setelah meninjau persiapan konperensi pada 7 April 1955, Presiden Soekarno tidak setuju dengan bentuk tempat duduk para delegasi di ruangan utama dan minta supaya dibongkar dan dirubah. Kabarnya karena arsitek Silaban yang mendampingi kunjungan Presiden menganggap bentuk itu salah. Terpaksa PM Ali menghadap Presiden dan menjelaskan hal itu tidak mungkin terlaksana karena waktu yang mendesak. Bung Karno bisa mengerti tapi minta agar proyek restoran Asia-Afrika yang telah dimulai Silaban hendaknya diteruskan. Ali Sastroamidjojo berkeberatan karena tiadanya dana serta terbatasnya waktu. Semua perubahan yang diusulkan Bung Karno akhirnya tidak bisa dilaksanakan. Seusai Pemilu, pada Desember 1955 Gedung Merdeka menjadi Gedung Konstituante. Setelah Konstituante gagal menyusun UUD dan kemudian dibubarkan Presiden, bangunan ini sempat dijadikan gedung Dewan Perancang Nasional sebelum akhirnya menjadi Gedung Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) sampai MPRS menempati gedung baru di Jakarta. Setelah peristiwa Gestapu/PKI Gedung Merdeka berada dalam penguasaan militer dan ruangan belakang dan bawah sampai 1978 dipakai sebagai tempat tahanan Gestapu/PKI. Kini ruang belakang ini direncanakan akan dijadikan ruang perpustakaan oleh Kanwil P&K Jawa Barat. Departemen P&K pernah minta agar gedung ini dijadikan Gedung Budaya sedang Departemen Luar Negeri minta menjadikannya Museum. Pemerintah kabarnya telah memutuskan untuk memugar gedung ini dan menjadikan sebagian darinya museum. Tahun depan, dalam rangka peringatan Seperempat Abad Konperensi Asia Afrika, Gedung Merdeka akan dipergunakan untuk Konperensi Asian-African Legal Council. Rupanya, kesadaran untuk mengabadikan konperensi bersejarah ini akan terlaksana juga.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus