BEBERAPA foto, peta dunia dari kayu dan dinding bertuliskan
Dasasila Bandung mengisi ruangan berukuran 22 kali 8 meter itu:
Ruang Asia-Afrika. Hampir tidak ada bukti lain bahwa gedung
Merdeka di Bandung ini pernah menjadi tempat diselenggarakannya
Konperensi Asia-Afrika yang termashur itu. Bisa dimengerti bila
banyak turis asing yang khusus datang ke Bandung untuk melihat
gedung bersejarah ini kecewa.
Jelas terlihat kurangnya perhatian untuk memelihara keaslian
gedung bersejarah ini. Kursi yang dulu pernah dipakai dalam
konperensi kini tinggal tersisa 400 buah, itupun joknya sudah
diganti dengan karet busa. Lalu masih ada 30 meja serta sejumlah
tiang bendera kecil. Yang lainnya? "Wah, itu tidak diketahui,"
kata R. Aksan Oleredja, pengelola Gedung Merdeka pada TEMPO.
Gedung yang dibeli pemerintah pada 1955 ini sekarang statusnya
di bawah Sekretariat Negara, tapi pengelolaan dan penggunaannya
oleh Pemerintah Daerah Jawa Barat. Sekneg sendiri tidak
menyediakan dana untuk perawatan gedung ini sedang biaya
pemeliharaannya memerlukan sekitar Rp 20 juta setahun. Rekening
listrik dan air saja per bulan berjumlah Rp 230 ribu. Lalu dari
mana biaya pemeliharaan didapat? "Daripada jadi rusak, gedung
ini terpaksa dikomersilkan," ujar Aksan. Maksudnya disewakan
pada umum.
Begitulah, berbagai pihak kemudian memanfaatkan gedung ini:
instansi pemerintah, swasta sampai untuk tempat resepsi
perkawinan warga non pribumi. Yang terakhir ini kemudian
mengundang reaksi masyarakat menentangnya, hingga sejak 2 tahun
lalu gedung ini tidak lagi dipakai untuk tempat resepsi
perkawinan itu.
Gedung Merdeka ini cukup laris karena taripnya memang miring.
Aula Hotel Homan misalnya memasang tarip Rp 150 ribu sedang
Gedung Merdeka hanya sepertiganya. Sesudah Kenop 15 tarip ini
memang naik, tapi masih di bawah Rp 100 ribu hingga gedung ini
paling populer di sewa berbagai panitia pencari dana.
Dibangun pada 1879 oleh 2 arsitek Belanda Van Galenlast dan Wolf
Schoemaker, gedung ini didirikan oleh Societeit Concordia,
perkumpulan opsir Belanda untuk tempat hiburan mereka. Dan di
zaman itu, ketika Bandung dikenal sebagai Parijs van Java,
gedung tersebut pernah merupakan bangunan paling ternama di
kawasan Priangan, ramai dikunjungi para pemilik perkebunan teh,
kina dan karet. Lantai dansa dan ruangan umum terbuat dari
marmer Italia, sedang lantai ruangan minum dan duduk memakai
eikenhout, kwalitas kayu yang melebihi jati. Lampu-lampu hias
kristal menerangi ruangan tempat berkumpulnya cabang atas
Belanda waktu itu. Kini, lampu kristal sudah berganti dengan
lampu neon, sedang eikenhout telah diganti tegel buatan Cimindi.
Tentara penduduk Jepang tetap menggunakan gedung ini sebagai
tempat pertemuan dengan nama Dai Toa Kaikan. Setelah proklamasi
kemerdekaan, para pemuda kita menggunakannya sebagai markas
perjuangan, dan pemerintah Kotapraja Bandung kemudian sempat
memanfaatkan sebagian gedung ini. Beberapa pertemuan, misalnya
Musyawarah Antar Kotapraja Seluruh Indonesia 1952
diselenggarakan di sini.
Societeit Concordia semula menolak waktu pemerintah ingin
membeli gedung ini untuk tempat penyelenggaraan Konperensi
Asia-Afrika. Tapi setelah mereka dihadapkan dengan kemungkinan
pengambilalihan demi kepentingan negara, mereka setuju. Dalam
waktu 3 bulan, Dinas Pekerjaan Umum Jawa Barat di bawah Srigati
Santoso merubah ruangan-ruangan gedung ini supaya sesuai dengan
keperluan konperensi.
Dinas Pos dan Telekomunikasi melengkpinya dengan cabang kantor
pos dan hubungan telepon langsung ke kota-kota penting Eropa dan
Amerika serta memasang sistim pengeras suara. Presiden Soekarno
kemudian memutuskan nama Gedung Merdeka mengganti Concordia
serta Jalan Raya Timur -- di mana gedung itu terletak menjadi
Jalan Asia-Afrika. Untuk melengkapinya, gedung Dana Pensiun
milik Departemen Keuangan dipakai juga untuk keperluan
konperensi dengan nama baru Gedung Dwiwarna.
Sekitar 10 hari menjelang Konperensi, Roeslan Abdulgani yang
menjabat Ketua Sekretariat Bersama negara sponsor konperensi
mendadak melapor pada PM Ali Sastroamidjojo ada persoalan yang
hanya bisa diatasi oleh PM. Ternyata setelah meninjau persiapan
konperensi pada 7 April 1955, Presiden Soekarno tidak setuju
dengan bentuk tempat duduk para delegasi di ruangan utama dan
minta supaya dibongkar dan dirubah. Kabarnya karena arsitek
Silaban yang mendampingi kunjungan Presiden menganggap bentuk
itu salah. Terpaksa PM Ali menghadap Presiden dan menjelaskan
hal itu tidak mungkin terlaksana karena waktu yang mendesak.
Bung Karno bisa mengerti tapi minta agar proyek restoran
Asia-Afrika yang telah dimulai Silaban hendaknya diteruskan. Ali
Sastroamidjojo berkeberatan karena tiadanya dana serta
terbatasnya waktu. Semua perubahan yang diusulkan Bung Karno
akhirnya tidak bisa dilaksanakan.
Seusai Pemilu, pada Desember 1955 Gedung Merdeka menjadi Gedung
Konstituante. Setelah Konstituante gagal menyusun UUD dan
kemudian dibubarkan Presiden, bangunan ini sempat dijadikan
gedung Dewan Perancang Nasional sebelum akhirnya menjadi Gedung
Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) sampai MPRS
menempati gedung baru di Jakarta.
Setelah peristiwa Gestapu/PKI Gedung Merdeka berada dalam
penguasaan militer dan ruangan belakang dan bawah sampai 1978
dipakai sebagai tempat tahanan Gestapu/PKI. Kini ruang belakang
ini direncanakan akan dijadikan ruang perpustakaan oleh Kanwil
P&K Jawa Barat. Departemen P&K pernah minta agar gedung ini
dijadikan Gedung Budaya sedang Departemen Luar Negeri minta
menjadikannya Museum.
Pemerintah kabarnya telah memutuskan untuk memugar gedung ini
dan menjadikan sebagian darinya museum. Tahun depan, dalam
rangka peringatan Seperempat Abad Konperensi Asia Afrika, Gedung
Merdeka akan dipergunakan untuk Konperensi Asian-African Legal
Council. Rupanya, kesadaran untuk mengabadikan konperensi
bersejarah ini akan terlaksana juga.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini