RUANG pameran Gedung Kebangkitan Nasional di jalan Abdurrachman
Saleh, Jakarta, Senin pagi lalu tampak sepi. Hampir tidak ada
pengunjung yang menonton Pameran Foto dan Dokumentasi Konperensi
Asia-Afrika yang diselenggarakan Panitia Peringatan Tri-Windu
Konperensi Asia-Afrika 18-24 April lalu. Kurang dari 200 nama
tertulis di buku tamu pameran.
Suasana ceramah yang berlangsung di ruang pertemuan tidak jauh
berbeda. Hanya 18 orang yang hadir dalam ceramah yang diberikan
oleh Ubani, bekas Dubes Indonesia untuk Siria. Walau yang hadir
sedikit, penceramah sendiri kelihatan bersungguh-sungguh.
Beberapa pemuda yang hadir tampak membawa buku pinjaman dari
perpustakaan Idayu yang bertempat di kompleks yang sama.
Tertarikkah mereka pada peringatan Konperensi AA? "Iseng saja,
mas, habis dari perpustakaan Idayu. Daripada bengong di rumah,"
tutur salah satu dari mereka.
Suasana pembukaan pekan peringatan yang dilangsungkan di bawah
tenda di halaman Gedung Pola 18 April lalu cukup meriah. Sekitar
250 orang termasuk para diplomat Asia-Afrika hadir pada upacara
yang dibuka Wapres Adam Malik. Dalam rangkaian pekan peringatan
ini, termasuk juga diskusi panel dengan pemrasaran Menpen Ali
Moertopo serta suatu pekan film A-A.
Peringatan Tri-Windu Konperensi AA tahun ini dilakukan oleh
sebuah panitia yang didukung Angkatan 45, Lembaga Penelitian
Masalah Hubungan Internasional Universitas 17 Agustus, Yayasan
17-8-1945, Yayasan Idayu, Yayasan Studi Pembangunan dan
Pengembangan Nasional serta DPP KNPI. Pada 1971, Dwi-Windu
Konperensi AA diperingati pemerintah dengan suatu upacara
disertai pidato Presiden di TMII Jakarta.
Alasan peringatan, seperti disebutkau dalam salah satu selebaran
panitia, karena melihat kecenderungan masyarakat untuk tak acuh
terhadap peranan yang telah dimainkan prinsip-prinsip Bandung
bagi kemerdekaan bangsa-bangsa Asia-Afrika. Hingga
"sepantasnyalah bila kita melihat kembali pada sejarah kita
sendiri dan berusaha menghidupkan kembali prinsip-prinsip besar
yang telah dicetuskan di Bandung." Sasaran peringatan ini,
menurut Karna Radjasa, salah satu ketua panitia, adalah untuk
menarik perhatian masyarakat terutama kaum mudanya, bahwa kalau
ada kemauan politik yang cukup besar, bangsa Indonesia mampu
melakukan hal-hal yang luar biasa. "Saya lihat kebanggaan
nasional kita mulai pudar hingga kita harus berdaya upaya untuk
menggunakan apa yang ada untuk memupuk kebanggaan nasional ini,"
kata Karna Radjasa, putera Ali Sastroamidjojo Ketua Konperensi
AA.
Betulkah Konperensi AA suatu prestasi yang luar biasa yang bisa
dibanggakan? Mengapa generasi muda tampaknya kurang memahami
atau tertarik pada peristiwa sejarah besar itu? Pertanyaan
berikutnya: tidakkah peringatan ini sekedar nostalgia dari
generasi yang mengalami peristiwa itu? Atau seperti yang
ditanyakan Wapres Adam Malik: "Sebagai lamunan keberhasilan dan
kebesaran suatu kejadian 24 tahun yang silam?"
Terus terang, setelah Konperensi AA selesai, kita terkejut
girang bahwa konperensi ini telah berhasil mendobrak banyak hal.
Afrika terbakar oleh semangat Bandung." kata Roeslan Addulgani
yang pada konperensi itu menjabat Sekjen. Proses kemerdekaan
negara-negara jajahan Inggeris dan Perancis, terutama di Afrika
dipercepat. Jumlah anggota PBB meningkat. Akibatnya di badan
dunia ini muncul kekuatan baru kelompok Asia-Afrika dan
berakhirnya dominasi kelompok AS di PBB. Suatu solidaritas baru
tumbuh: solidaritas Asia-Afrika. Kemudian kelompok ini
berkembang lagi menjadi kelompok Dunia Ketiga.
Konperensi AA, kata Adam Malik, telah melahirkan kekuatan moral
yang luar biasa besarnya bagi kebangkitan bangsa-bangsa di dunia
dan suatu momentum sejarah yang sangat penting artinya bagi
penentuan nasib bangsabangsa yang masih atau pernah hidup dalam
alam penjajahan dan penindasan kaum imperialis dan kolonialis.
Pengakuan bahwa Konperensi AA yang menghasilkan Dasaila Bandung
,tampaknya memang lebih terasa di luar negeri terutama di Afrika
daripada di Indonesia sendiri. Sepinya perhatian generasi muda
pada peringatan tahun ini membuktikan hal ini. "Saya menghadiri
ceramah ini karena undangan. Kalau tidak, juga tidak akan
datang," kata Jeffrey Baso, Ketua Ikosis DKI di Gedung Juang 45
Senin lalu waktu menghadiri panel diskusi peringatan Konperensi
AA. Konperensi A-A memang dipelajarinya dalam pelajaran sekolah
dan itu dia akui "sebagai hasil orang tua."
Kurangnya perhatian dan pengetahuan sebagian besar generasi muda
itu diakui juga oleh Ketua Umum KNPI Akbar Tanjung. "Kecuali
tidak mengalami atau terlibat langsung, banyak generasi muda
merasa kurang melihat relevansi konperensi itu," katanya.
Berdasar kecenderungan tersebut KNPI berusaha membangkitkan
semangat kepeloporan bangsa Indonesia dalam Konperensi A-A ini
di kalangan generasi muda. KNPI semula merencanakan memperingati
konperensi ini dengan ceramah Roeslan Abdulgani, tapi setelah
mengetahui sudah adanya panitia lain, mereka menggabungkan diri
dengan panitia Karna Radjasa dkk.
Lalu seberapa jauh nostalgia berperanan dalam peringatan tahun
ini. Karna Radjasa dan juga Roeslan mengakui nostalgia ini
memang ada. Tapi berhasilnya Konperensi A-A menurut Roeslan
membuktikan bahwa daya kreatifitas bangsa Indonesia ada dan bisa
dibuktikan kalau menghadapi tugas besar. Roeslan, yang pada
Konperensi A-A berusia 41 tahun dan terpilih sebagai sekjen
bercerita tentang salah satu nostalgia pribadinya.
"Waktu itu 18 April 1955, hari pertama Konperensi A-A. Pembukaan
telah dilakukan oleh Presiden Soekarno dan siang itu sekitar jam
13.00 saya ditelepon di tempat penginapan saya. Hujan deras
disertai guntur yang jatuh siang itu ternyata telah membuat
bocor Gedung Merdeka dan air tergenang di ruang konperensi.
Untung sidang siang itu sudah selesai tapi akan dilanjutkan sore
itu juga. Buru-buru kami semua pergi ke Gedung Merdeka. Tanpa
terkecuali kita semua, para pekerja, para mahasiswa Akademi
Dinas Luar Negeri yang membantu panitia, Kepala Dinas PU Ja-Bar,
ir. Srigati Santoso, Kepala CPM Ja-Bar Kolonel Rusli, Gubernur
Ja-Bar Sanusi Hardjadinata dan saya sendiri mencopot baju dan
celana dan mengepel serta mengeringkan ruang konperensi. Untung
sekitar jam 14.30 hujan berhenti. Begitu sidang dimulai jam
15.30, ruang konperensi bersih dan kering, tak setetespun air
bekas bocoran tinggal."
Konperensi A-A memang betul timbul atas prakarsa murni
Indonesia. Di Konperensi Kolombo pada April 1954 yang dihadiri 5
PM Asia, Jawaharlal Nehru dari India, U Nu dari Birma, Mohammed
Ali dari Pakistan, Ali Sastroamidjojo dari Indonesia serta tuan
rumah PM Sir John Kotelawala, usul Indonesia untuk
menyelenggarakan konperensi antara negara-negara Asia-Afrika
disambut dengan dingin. Keempat negara tidak yakin gagasan
Indonesia itu bisa terlaksana.
Tapi perkembangan situasi dunia terutama ketegangan akibat
perang dingin antara blok AS dan blok Uni Soviet yang muncul di
Indocina makin "mematangkan" perlunya konperensi semacam itu.
Usaha AS di bawah Menlu Dulles untuk membendung pengaruh komunis
melahirkan SEATO pada September 1954. Sementara itu, RRC mulai
menembaki pulau Quemoy yang diakui sebagai wilayahnya, hingga
Armada VII AS digerakkan ke kawasan ini.
Gagasan Konperensi A-A ini kemudian makin dimatangkan dengan
kunjungan Ali Sastroamidjojo dan Menlu Sunario ke India dan
Birma. Konperensi Bogor yang dilangsungkan akhir Desember 1954
dan dihadiri 5 negara sponsor menetapkan jumlah negara yang
diundang serta tujuan konperensi. Persiapan dan penyelenggaraan
konperensi dipercayakan pada Pemerintah Indonesia. Ali
Sastroamidjojo kemudian menetapkan Bandung sebagai tempat
konperensi.
Dari 25 negara yang diundang (di luar 5 negara sponsor) hanya
satu yang menolak hadir Federasi Afrika Tengah yang walaupun
sudah merdeka bekas penguasa kolonialnya masih berkuasa. (Di
Afrika, waktu itu hanya ada 4 negara yang merdeka penuh).
Konperensi A-A adalah konperensi internasional penting pertama
yang diselenggarakan Indonesia. Persiapannya amat pendek 3
bulan. Mengetahui kesulitan-kesulitan tehnis yang dihadapi, PM
India Nehru lewat utusan khususnya mengusulkan untuk mengatasi
kekurangan fasilitas konperensi dengan mengadakan perkemahan
besar-besaran di suatu lapangan di Bandung. Partai Kongres
India, katanya, sudah berpengalaman dalam hal itu. Usul ini
ditolak karena alasan keamanan. Semua fasilitas yang diperlukan
akhirnya berhasil diatasi pemerintah. Masalah keamanan memang
yang paling rumit. Di Jawa Barat waktu itu DI/TII masih kuat.
Dan akibat sabotase, pesawat Kashmir Princess yang antara lain
membawa delegasi RRC meledak di atas Kepulauan Natuna.
Sekitar 600 orang dari 29 negara mewakili hampir 1,5 milyar
manusia yang merupakan 3/5 dari penduduk dunia hadir dalam
Konperensi ini. Sekitar 700 wartawan termasuk 300 wartawan
Indonesia mengkovernya. Pidato pembukaan oleh Bung Karno
memperoleh penghargaan tinggi dari semua delegasi hingga atas
prakarsa PM Nehru, konperensi secara aklamasi menyampaikan
terima kasih atas pidato pembukaan yang begitu mengesankan.
"Kolonialisme belum mati," kata Bung Karno. Kolonialisme bisa
memakai rupa baru, dalam bentuk penguasaan ekonomi, kebudayaan
dan politik. Kolonialisme adalah musuh yang lihai yang bisa
berubah dalam berbagai bentuk. Bangsa-bangsa Asia-Afrika
karenanya harus membentuk suatu front anti kolonialisme dengan
membangun dan memupuk solidaritas Asia-Afrika. Sudah waktunya
bagi bangsa-bangsa A-A untuk memperdengarkan suaranya dalam
percaturan politik dunia. Konperensi Bandung hendaknya mencari
jalan ke arah perdamaian, tidak saja untuk bangsabangsa A-A,
tapi bagi seluruh umat manusia."
Diselingi beberapa pertentangan sengit, terutama menyangkut
rumusan kolonialisme, penutupan konperensi dapat dilakukan
setelah 2 jam terlambat dengan pernyataan terakhir yang memuat
10 pasal yang kemudian terkenal sebagai Dasasila Bandung. Antara
lain: prinsip menghormati kedaulatan dan keutuhan wilayah semua
negara, tidak campur tangan dalam urusan dalam negeri negara
lain dan menyelesaikan segala perselisihan internasional secara
damai sesuai dengan Piagam PBB. Pada dasarnya prinsip-prinsip
ini kemudian dikenal sebagai prinsip hidup berdampingan secara
damai (peaceful coexistence).
Bahwa Semangat Bandung kemudian membakar dan merangsang banyak
bangsa-bangsa terjajah terutama di Afrika untuk melepaskan diri
dari belenggu kolonialisme diakui dunia. Keberhasilan Konperensi
A-A telah mengangkat tinggi kedudukan Indonesia di mana pun. Ini
kemudian mendorong semangat "anti nekolim" yang kemudian
melahirkan berbagai pertemuan yang serba Asia Afrika, seperti
Konperensi Mahasiswa A-A, Konperensi Wartawan A-A, Konperensi
Pengarang A-A serta Konperensi Islam A-A.
Lahirnya pemerintah Orde Baru, situasi dunia yang berubah serta
tantangan-tantangan jaman yang berubah pula menyebabkan makin
memudarnya Dasasila Bandung serta kenangan pada Konperensi A-A
yang diakui telah merubah sejarah. Hingga tema diskusi panel
yang dipilih Panitia Tri-Windu Konperensi A-A tahun ini: "Masih
Perlukah Dihidupkannya Semangat Bandung" menjadi amat aktuil.
Semua pembicara dalam diskusi yang diselenggarakan Senin lalu
mengakui masih relevannya Semangat Bandung. "Yang kita perlukan
sekarang ialah Semangat Bandung sebagai prinsip Dunia Ketiga
atau negara berkembang. Prinsip dan Semangat Bandung tidak akan
hilang relevansinya. Kita tetap memerlukannya selama orang di
Indonesia ini tidak ganti. Masalahnya, dasar negara kita adalah
Pancasila dan itu tercermin pula dalam semangat dan prinsip
Bandung," kata Menteri Penerangan Ali Moertopo dalam diskusi
itu.
Bekas Menlu pada jaman Konperensi A-A, Sunario (76 tahun) merasa
gundah kalau Pemerintah tampaknya "adem ayem" dalam peringatan
sekarang. Ia menghimbau pemerintah untuk mengkampanyekan
Semangat Bandung ini. Bukan saja karena semangat ini memang
masih relc!an, tapi juga karena tantangan-tantangan yang
dihadapi justru lebih besar. "Dunia sekarang malah lebih keruh
daripada dulu," tuturnya pada TEMPO. Menurut Roeslan Abdul gani,
Dasasila Bandung dapat digunakan sebagai pedoman dan pegangan
untuk menyelesaikan masalah-masalah internasional yang
non-militer.
Dunia mungkin memang lebih keruh. Kolonialisme dalam bentuk
penjajahan politik tidak menonjol lagi. Negara-negara baru
memasuki tahap pembangunan ekonomi. Perbedaan ideologi tidak
lagi menjadi penghalang hubungan antar negara. Kepentingan
nasional terutama kepentingan ekonomi makin menonjol dan
mengalahkan solidaritas ideologi. Konflik antar negara lebih
banyak diakibatkan pertentangan nasional ini. Peta bumi dunia
sudah berubah. AS berbaik dengan RRC sedang RRC dan Vietnam yang
sama-sama komunis bersengketa. Lalu beberapa negara Afrika
saling memusuhi. Solidaritas Asia-Afrika tampaknya tinggal
kenangan indah belaka. Dalam situasi demikian bisakah Indonesia
kembali "menghidupkan" dan menggalakkan Semangat Bandung?
"Adanya bantuan dari negara-negara barat yang cukup besar telah
merusak citra Indonesia di negara-negara Asia Afrika dan
non-blok," ujar Dr. Juwono Sudarsono dari Universitas Indonesia.
Indonesia dituduh lebih banyak condong ke Barat. Dan mereka
tidak bisa disalahkan karena itu memang wujud dari perasaan
mereka terhadap situasi pragmatis dari politik luar negeri
Indonesia yang lebih mementingkan bantuan ekonomi Barat, tanpa
melihat perwujudan idealisme.
Indonesia, menurut Juwono, harus bisa meyakinkan negara A-A
bahwa perjuangan itu tidak bisa lepas dari mencoba menyusun Tata
Ekonomi Internasional Baru. Usaha ini diakuinya susah karena
negara-negara itu sudah terlanjur mempunyai pandangan negatif
pada Indonesia. Jadi? Menurut dosen UI ini, yang paling penting
adalah bagaimana menata kembali sistim perekonomian kita dan
jangan terlalu bergantung pada bantuan negara Barat. "Seribu
kali kita keluarkan pernyataan bahwa Indonesia tetap non-blok,
tidak akan ada gunanya selama kita masih tetap seperti sekarang
ini, dan negara-negara non-blok tidak akan berubah pandangannya
pada kita."
Kemerdekaan dan kedaulatan telah dicapai sebagian besar
bangsa-bangsa Asia-Afrika. Solidaritas yag tumbuh telah pudar
antara lain karena tantangan-tantangan baru yang tumbuh. Suatu
prinsip bisa lestari relevansinya, tapi mengetrapkannya kembali
dalam suatu jaman yang lain tampaknya merupakan soal yang rumit.
Apalagi jika hal itu harus disodorkan pada negara lain.
Jadi apakah Dasasila Bandung hanya akan merupakan dokumen
sejarah saja yang sesekali akan disinggung? Ataukah
prinsip-prinsipnya telah diterima sebagai kebenaran umum tanpa
perlu menyebutkan sumber aslinya? Sebab tidakkah Deklarasi
Shanghai misalnya, yang membuka kembali hubungan AS-RRC,
samasekali tidak menyebut Bandung sekalipun prinsip koeksistensi
damai menjadi dasar utama?
Yang jelas saat ini tampaknya keberhasilan Konperensi A-A- atau
Dasasila Bandung tidak bergema di antara generasi muda
Indonesia. Mungkin bisa didalihkan, prestasi bersejarah
Konperensi A-A- kurang dikenal generasi muda karena itu dianggap
"hasil karya Orla." Kalaupun emosi telah mendingin dan akal
sehat kembali, yang bisa dicapai paI ing-paling suatu pengakuan
rasionil pada suatu prestasi besar yang pernah menjadi sumber
ilham banyak negara. Jadi apakah Konperensi A-A itu perlu
diperingati?
"Tiap peringatan ada perlunya, terutama untuk mengingatkan
kembali adanya sumbangan Indonesia bersama negara-negara A-A
pada pemikiran yang mendobrak situasi internasional 24 tahun
lalu," kata Roeslan Abdulgani. Menurut Roeslan di banyak negara
A-A, konperensi Bandung masih dikenang. Ini dibuktikan dengan
pertanyaan-pertanyaan yang diajukan padanya antara lain oleh
Organisasi Kesetiakawanan Asia-Afrika (OSRAA) tentang
kemungkinan peringatan 25 tahun Konperensi A.A. Pemerintah
Indonesia sendiri kabarnya merencanakan suatu peringatan
Seperempat Abad Konperensi A-A tahun depan. Mungkin bukan untuk
sekedar nostalgia, tapi kiranya akan bisa meletakkan sesuatu
pada tempatnya yang sesungguhnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini