MONUMEN Demokrasi di tengah Jalan Rajdamnoen, di pusat Kota Bangkok, sekali lagi menjadi saksi sejarah Muangthai. Setelah menyaksikan jatuhnya 50 korban dalam peristiwa berdarah Mei lalu, tugu berwarna putih setinggi 50 meter itu Ahad kemarin menyaksikan kemenangan kelompok pro-demokrasi. Inilah pemilu pertama di Muangthai dalam suasana militer tak punya campur tangan sejak kerajaan ini di kudeta tentara ditahun 1930-an. Proses tanpa campur tangan itu sendiri boleh dibilang begitu cepat. Ketika pemilu Maret lalu menimbulkan masalah karena calon perdana menteri dari Partai Samakhitam yang menang, Narong Wongwan, dituduh terlibat perdagangan memalukan bangsa Thai, yakni perdagangan narkotik. Waktu itu langsung saja militer mengambil alih persoalan, dan naiklah Jenderal Suchinda Kraprayoon, panglima angkatan darat, sebagai perdana menteri. Ini jelas menyalahi undang-undang. Perdana menteri harus dari partai yang menang pemilu, dan Suchinda seorang tentara yang masih aktif dan tentu saja bukan anggota partai mana pun. Protes pun muncul dari partai-partai. Akhirya insiden tak terhindarkan karena Suchinda memerintahkan tentara turun tangan. Maka 50 korban tewas di dekat Monumen Demokrasi, dan sekitar 200 orang dinyatakan hilang. Kasus itu akhirnya membuat Raja Bhumibol Adulyadej menunjuk Anand Panyarachun menjabat perdana menteri. Tugas seorang pengusaha besar ini: menyelenggarakan pemilu. Anand utuk kedua kalinya duduk di kursi pimpinan pemerintah. Ketika Suchinda mengkudeta Chatichai Februari 1991, Anand juga yang didudukkan di kursi itu. Tapi Anand 1992 bukan Anand 1991. Suasana yang digelindingkan kaum demonstran yang menuntut demokrasi, yang antara lain dipimpin oleh Chamlong Srimuang, ketua Partai Palang Dharma, tak bisa ditarik lagi. Kekuatan ini akhirnya menjadi landasan bagi Anand untuk menciptakan sebuah pemilu yang lebih kurang demokratis: diusahakan tak ada pembelian suara. Maka tak berlebihan bila disebutkan bahwa Anand-lah sebenarnya yang sudah meratakan jalan bagi demokrasi di Thai kini. Dalam kurun waktu hanya empat bulan Anand berhasil menciptakan iklim politik yang benar-benar sehat. Kampanye para wakil partai di layar televisi maupun radio berlangsung secara efektif berkat tak adanya campur tangan pemerintah dan militer. Dekrit Kerajaan tentang pengawasan media massa, yang dikeluarkan Anand Agustus lalu, mengakibatkan pemerintah Thai tak lagi bisa mendikte media massa. Dan hampir setiap hari dalam bulan ini pemerintah melalui televisi dan radio menganjurkan agar para pemilih menggunakan haknya menurut hati nurani -- bukan karena sogokan. Malah, sepuluh hari menjelang pemilu, anjuran itu ditampilkan setiap setengah jam. Pesan itu ada yang disertai lagu-lagu pop oleh para artis tenar, melalui sandiwara pendek, atau pesan-pesan yang disponsori oleh kelompok bisnis. Anjuran melalui media elektronik itu terbukti ampuh. Menurut pengamatan Poll Watch, badan independen yang dibentuk pemerintah, praktek sogok-menyogok masih berlangsung. Para pendukung pro-militer secara terang-terangan menawarkan uang sogok 200 baht (sekitar Rp 15 ribu), kepada pemilih sebelum menuju ke kotak suara. Belakangan baru ketahuan bahwa para pemilih itu ternyata memilih calon yang disukainya, meski uang sogok sudah dikantongi. Dua kekuatan rupanya saling mendukung menciptakan suasana pemilu bebas. Kekuatan pertama adalah kelompok demonstran. Kekuatan kedua adalah Anand. Direktur Saha Union, sebuah perusahaan konglomerat yang sukses, ini tak berambisi menjadi politikus atau terlibat dalam satu golongan. Karena itu, meskipun ia melakukan demiliterisasi di sejumlah BUMN, Anand tak dicurigai. Secara psikologis ia pun tak punya hambatan karena ia tak punya pretensi. Bagi Anand, bukan siapa yang menang tapi cara kemenangan dicapai itulah yang penting. Tapi Anand tak lalu bertindak asal membela kebenaran. Disini konglomerat ini pun ternyata politikus ulung. Ia, misalnya, tetap merahasiakan hasil pengusutan tim yang dibentuk oleh militer mengenai orang-orang yang hilang dalam Peristiwa Mei. Apa pun hasil itu mestinya akan membuat guncangan di masyarakat dan bisa mengganggu pemilu. Padahal terselenggaranya pemilu itu penting. Itu menjadi jalan terpilihnya perdana menteri definitif, dan lewat pemerintahan definitiflah ekonomi Thai yang terancam gangguan Peristiwa Mei itu bisa diselamatkan. Gara-gara Peristiwa Mei lalu Muangthai menderita kerugian US$ 1 milyar. Pendapatan dari sektor pariwisata, dianggarkan US$ 5 milyar, hanya tercapai sepertiganya karena banyak turis tak mau datang setelah peristiwa itu. Selain itu investasi asing, yang diharapkan mencapai US$ 5 milyar pada akhir tahun ini, bakal terancam karena pemerintah Jepang meminta para investornya berhati-hati menanamkan modalnya. Padahal investasi Jepang di Muangthai terbesar di antara investor asing lainnya. Lihat, begitu Partai Demokrat diumumkan menang Senin pekan ini, bursa saham Bangkok menembus angka 800, hal yang belum pernah terjadi dalam empat bulan terakhir. Ini berarti kepercayaan investor asing meningkat kembali. Lalu ke mana sang perata jalan demokrasi, Anand Panyachun? Konglomerat berusia 64 tahun itu sebelum pemilu pernah menyatakan ingin kembali mengurus bisnisnya saja. Dan tentang hasil pemilu, ia tak punya komentar selain bahwa ia merasa puas dengan hasil pemilu kali ini. Ada dugaan bahwa setelah mengundurkan diri dari kursi PM, ia akan diminta menjadi penasihat Raja Bhumibol Adulyadej. Yang jelas, ia tak ingin duduk di kursi perdana menteri lagi. "Tak akan ada lagi Anand Ketiga," katanya. Kecuali keadaan membutuhkan, barangkali. Didi Prambadi (Jakarta) & YI (Bangkok)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini