Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Sebuah negeri yang masih rawan

Wajah kamboja kini bangkit kembali dari puing-puing rezim pol pot, dan ditengah-tengah kemelut yang belum terselesaikan juga. hilangnya kaum cerdik pandai & tehnokrat akibat perang, terasa belum terisi.

17 Maret 1984 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

LAGU Tari Ramvong terdengar nyanng di sebuah restoran sea food di pinggir Sungai Tonie Sap yang membelah Phnom Penh ibu kota Kamboja. Lagu perjuangan yang dinyanyikan dalam irama pop itu diputar beberapa kali oleh wanita peniaga restoran itu, atas permintaan beberapa pengunjung. "Ramvong dance memang lagi top-hit di sini," kata seorang Kamboja. Restoran milik Departemen Perhubungan Kamboja itu masih ramai dikunjungi tamu, sekalipun waktu sudah menunjukkan hampir pukul 21.00, batas waktu jam malam di Phnom Penh. "Tenang saja. Jam malam memang masih kami pertahankan, tapi itu berlaku elastis," kata seorang pejabat Deplu. Dan rekannya menimpali, "Jam malam kami pertahankan untuk menghemat energi." Benar juga. Mobil merk Volga buatan Rusia yang membawa kami pulang ke hotel, lewat jam malam itu, hanya sekali dihadang oleh dua petugas bersenjata, seorang tentara Vietnam dan seoran lai tentara Kamboja. Lalu dibiarkan lewat setelah sopir menerangkan dalam bahasa sana. Phnom Penh pada malam hari memang masih terasa gelap dan sepi. Setiap perempatan dan beberapa instansi pemerintah masih dijaga tentara. Tapi kehidupan di pagi hari sudah jauh lebih ramai dibandingkan dua setengah tahun silam, ketika saya berkunjung ke sana. Kini jalan-jalan, yang serba lebar, tampak bersih. Dan puing-puing warisan Perdana Menteri Pol Pot, pendahulu Heng Samrin, sudah tak lagi berserakan seperti dulu. Orang-orang yang memikul barang dagangannya, bemo yang sarat penumpang, deru sepeda motor buatan Jepang, dan lalu lintas truk yang mulai ramai menunjukkan bahwa kegiatan ekonomi sudah berangsur pulih di kota yang praktis mati empat tahun lampau. Salah satu pemandangan pagi yang mencolok adalah di depan,stasiun di Phnom Penh. Ribuan manusia menjejali kereta api yang dua minggu sekali berangkat ke Battambang. Mereka umumnya adalah pedagang yang membeli macam-macam barang yang diselundupkan dari perbatasan Muangthai ke Battambang, untuk kemudian dijual lagi di Phnom Penh: tape recorder, tekstil, batik cap, sabun, rokok putih 555 sampai Dunhill, obat-obatan, jam tangan, kopl, dan barang-barang kebutuhan sehari-hari lainnya. "Itulah bisnis jutaan dolar,"kata seorang Kanada yang bekerja untuk salah satu organisasi bantuan internasional. Bisnis "jutaan dolar" itu pernah terhambat karena rel kereta api ke Battambang dirusakkan kaum gerilyawan yang antipemerintah Heng Samrin, konon Khmer Merah. "Tapi sekarang sudah normal kembali," kata Kong Srun, 57, wakil gubernur provinsi Battambang, (Lihat: suatu Siang di Battambang). Suasana yang tampaknya normal itu juga terasa di pasar Phnom Penh. Siang itu, 3 Maret, serombongan turis turun dari bis Obitour, di depan pasar paling besar di Phnom Penh. Mereka kebanyakan datang dari Rusia, Eropa Timur, tapi ada juga turis Swedia dan Jepang. Obitour, salah satu kegiatan Departemen Perhubungan Kamboja yang bekerja sama dengan Yumiori Travel, bahkan membawa para turis asin itu hingga di Siem Riep seperti diberitakan dalam Bangkok Post, 18 Februari lalu. Siem Riep dan Battambang adalah dua dari sekian kota yang konon pernah diduduki selama setengah hari oleh pasukan Khmer Merah. Itu pula kata Pangeran Sihanouk dalam konperensi pers di Wisma Negara, ketika berkunjung ke Indonesia akhir bulan lalu. Apakah Obitour masih berani mengajak para turis ke Siem Riep dan Battambang? Entahlah. Tapi kunjungan ke pasar Phnom Penh rupanya masih merupakan acara tetap bagi mereka. Di pasar itu, tak ada yang tak dijual: tekstil halus, kaca matafan, kamera Jepang, sampai barang antik. Pasar gelap pun berlangsung dengan santainya, di depan mata tentara Vietnam sekalipun. Untuk satu lembar dolar AS, orang mudah memperoleh 40 riel, mata uang Kamboja, sepuluh kali lipat kurs resmi. Membayar dengan dolar tampaknya merupakan hal yang biasa. Mereka keberatan dibayar dengan dong, mata uang Vietnam, yang di pasar gelap hanya bernilai sepertiga riel. Adapun barang-barang konsumsi yang dijual di sana, selain masuk dari Muangthai lewat lattambang, juga masuk dari Singapura. "Semingu sekali ada kapal yang berlabuh di sini dari Singapura," kata seorang pedagang tekstil. Jalan menuju ke sosialisme, seperti diakui seorang diplomat Vietnam, merupakan jalan yang panjang di Kamboja. Tapi sang diplomat, yang bertugas sejak tahun 1979 di Kamboja, merasa kagum melihat kemajuan negeri kecil itu. "Bayangkan, mereka mulai dari nol, dari puing-puing yang ditinggalkan Pol Pot, katanya. Bekas-bekas tangan rezim Pol Pot memang masih tampak di Phnom Penh. Bank Sentral yang dimusnahkan, berikut segenap kekayaan dan arsipnya, masih rata engan tanah hingga sekarang. Bangkai ribuan mobil masih tampak bertumpuk di beberapa tanah kosong, rumah yang hancur, jendela dan pintu yang koyak, universitas yang rusak merupakan pemandangan yang menyayat hati bagi siapa pun. Tapi yang paling menyedihkan adalah hilangnya kaum cerdik pandai, teknokrat, guru, dan siapa pun yang dianggap berpandangan modern di negeri itu. Suatu kekosongan yang besar terjadi ketika tentara Vietnam masuk ke Kamboja. Republik Rakyat Kampuchea (RRK), yang berdiri 10 Januari 1979, dengan deking Vietnam, boleh dibilang dipimpin oleh orang-orang yang belum berpengalaman. Mereka itu umumnya tergabung dalam Partai Revolusioner Rakyat Khmer (PRRK) yang anti-Pol Pot. Partai itu pada tahun 1975 dipimpin oleh Khieu Samphan. Sedang Pol Pot, yang menjabat sebagai sekretaris jenderal partai, pada tahun 1977, tampil sebagai perdana menteri. Paul Quinn Judge, wartawan spesialis Indocina yang antara lain menulis di Far Eastern Economic Review, berpendapat: masalah utama Kamboja sekarang adalah menciptakan suatu partai komunis yang unggul, dengan anggota yang bisa menjadi panutan rakyat. Awal Januari, setelah Khmer Merah dipukul mundur oleh tentara Vietnam, 66 tokoh yang anti-Pol Pot diam-diam mengadakan kongres ketiga PRRK. Dan ke-66 delegasi itu, demikian Quinn-Judge, diduga adalah seluruh anggota partai yang baru suatu jumlah yang, kalau benar, dianggap terlalu kecil. Ke-66 elite politik itu umumnya berasal dari anggota gerakan anti-Prancis Kher Issarak, yang berkumpul di Hanoi pada 1954, setelah persetujuan Jenewa tercapai, dan kader Khmer Merah Zone Timur yang bermukim di Vietnam akhir 1970-an, pada aman Pol Pot. Sesungguhnya, mereka yang bermukim di Vietnam Utara, dan beberapa negara Eropa Timur, jauh lebih banyak. Dari kelompok Khmer Issarak saja, demikian menurut jurnal Communist Revie, November lalu, ada 1.000 kader, dan 190 terdiri dari anggota partai. BANYAK dari mereka yang kembali ke Kamboja ketika Pangeran Sihanouk digulingkan pada tahun 1970. Tapi banyak pula yang dihabisi oleh Pol Pot, karena dituduh pro-Vietnam. Sisa-sisa pemimpin Kamboja sekarang memang masih tergolong muda dalam pengalaman politiknya - jika dilihat dari waktu mereka mendirikan RRK. Tapi, seperti dikatakan seorang diplomat India di Phnom Penh, masa lima tahun telah membuat mereka lebih matang. "Banyak di antara mereka yang cerdas, tajam, tak terlalu dogmatis, dan bersikap terbuka," katanya. Salah satu adalah Chan Si, 52, perdana menteri, atau dalam istilah sana disebut ketua dewan para menteri. Ia lama tinggal di Vietnam Utara, dan pernah bekerja di bawah Ieng Sary, menlu pada masa Pol Pot, memimpin Radio KAI. Pada tahun 1949, ia bergabung dengan Khmer Issarak, dan berhenti dari tentara setelah persetujuan Jenewa, 1954. Bagi Chan Si, anggota biro politik yang berasal dari provinsi Kompong Chhnang, prioritas utama adalah membangun kembali ekonomi Kamboja yang hancur. "Dari sana kami baru akan mampu membangun suatu tentara yang kuat," katanya kepada TEMPO. Bicara soal ekonomi Kamboja adalah bicara soal pertanian negeri itu. Uang yang beredar di negeri itu amat tergantung dari tinggi rendahnya produksi beras. Sistem pertaniannya, yang sejak dulu masih amat sederhana, boleh dibilang banyak tergantung dari sang musim. "Sistem irigasi belum banyak dikenal di sini," kata Menteri Pertanian Kong Sam Ol. Mengenakan celana dril biru tua, bersepatu sandal, Menteri Kong Sam Ol, 57, tak menyembunyikan kesulitan pangan yang dalam beberapa tahun ini melanda Kamboja. "Air memang cukup di sini, di muka Saudara mengalir Sungai Mekong," katanya. "Tapi bagaimana mengontrol aliran air, itu yang masih menjadi soal bagi kami." Menteri pertanian yang pernah belajar di Amerika dan Prancis itu tahu betul apa yang dibutuhkan petani Kamboja, yang tergabung dalam kelompok solidaritas - semacam KUD di sini. "Kami amat membutuhkan bantuan pupuk dan pestisida. Tapi sampai sekarang yang masuk baru sedikit cuma 5% sampai 10% dari kebutuhan," katanya. "Kami butuh itu di musim tanam bulan September dan Oktober tahun ini. Sebab, tanpa itu, kelompok solidaritas yang sudah mulai menanam bibit unggul sulit untuk bekerja." Tahun ini musim hujan diperkirakan akan cukup mengguyur daerah persawahan di Kamboja. Tapi Menteri Kong Sam Ol toh memperkirakan akan terjadi kekurangan beras sebanyak 300.000 ton - suatu jumlah yang dibenarkan kalangan organisasi bantuan internasional di Phnom Penh. KETEKORAN yang demikian besar antara lain disebabkan pertumbuhan penduduk yang begitu pesat di Kamboja - sampai 4% tahun lalu. "Wanita di Kamboja kalau tidak menggendong anak, ya, sedang mengandung bayi," kelakar J.C. Shamra, charge d'affaires kedutaan besar India di Kamboja. Pemerintah tampaknya membiarkan orang punya banyak anak. Maklum, pada zaman Pol Pot, penduduk, yang tadinya berjumlah 7,5 juta, tinggal separuh. Kini, diam-diam penduduk negeri itu sudah sedikit di atas tujuh juta. "Saya tahu, pertumbuhan bayi itu memang harus direm suatu waktu. Tapi untuk sementara kami biarkan," kata seorang pejabat. Mengapa? "Ya, tanpa penduduk yang cukup, mana mungkin kami membina ketahanan yang kuat di masa depan? Suatu pilihan yang sulit, memang. Membangun tentara yang kuat, yang pada waktunya akan mampu menggantikan tentara Vietnam, butuh waktu yang tak sedikit. Para pengamat dari Barat umumnya menaksir, pasukan Vietnam yang kini ditempatkan di Kamboja berjumlah 160.000. Bagi rakyat Kamboja sendiri, adanya penempatan tentara Vietnam tampaknya menimbulkan rasa aman. Juga bagi para tamu dari luar. Mengenakan sandal Jepit, atau sepatu sandal, dengan seragam yang agak lusuh, mereka bisa ditemui di pasar di warung kopi, atau sedang duduk di balai-balai di depan toko orang Kamboja. Tak terdengar ada penduduk yang merasa jengkel dengan kehadiran mereka. Jawaban yang umumnya keluar: "Kami butuh mereka, dan mereka pun tak menimbulkan masalah buat kami." Berbeda dengan lazimnya tentara pendudukan, kehadiran tentara Vietnam di Kamboja kelihatan halus. Tak ada kesan, mereka mengganggu penduduk, atau wanita Kamboja. "Kami sekarang juga bisa menjalankan ibadah dengan tenang," kata Ismail. Setiap Jumat beberapa masjid di luar Kota Phnom Penh banyak didatani jemaah. Sekolah di sebuah kampung Islam, selain mengajarkan bahasa Khmer, juga memberi pelajaran agama dan bahasa Arab. Bagi pemerintahan Heng Samrin, kehadiran tentara Vietnam dianggap sebagai kehadiran "partner senior". Itu secara jelas dikemukakannya ketika ia menyambut kedatanan presiden Vietnam, Truong Chinh, yang memimpin delegasi negerinya untuk memeriahkan ulang tahun kelima Republik Rakyat Kampuchea, 7 Tanuari lalu. Samrin, yang selain menjabat kepala negara juga merangkap sebagai sekretaris jenderal partai, menggantikan Pen Sovan, tentu tahu benar keadaan angkatan bersenjata Kamboja. AB mereka, yang diperkirakan 30.000-40.000 orang, masih membutuhkan latihan tempur yang lebih sering untuk berani menghadapi tentara Khmer Merah, pasukan Front Pembebasan Son San dan pengikut Sihanouk - yang bermarkas besar di tiga tempat, di lambung selatan Kamboja, perbatasan Muangthai. Ada lagi: mereka sampai sekarang belum memiliki suatu lapisan perwira dan staf umum yang cukup kuat. Beberapa diplomat di Phnom Penh mengatakan, para ahli militer Vietnam masih belum berhasil menciptakan suatu lapisan elite militer yang bisa menggantikan mereka kelak. Salah satu yang kini menonjol, dan sering disebut-sebut, adalah Chan Sopetra, yang dalam usia muda, sebagai komandan regu, berani melawan pasukan Khmer Merah. Chan, 25 kini memimpin salah satu dari tiga divisi pasukan Kamboja. Negeri Kamboja, yang masih muda, memang butuh lebih banyak figur seperti Chan Sopetra - yang pro Hanoi, tapi nasionalis. Dan Vietnam, seperti dikatakan seoran pejabat di Hanoi akhir Februari lalu, tak ingin terus-terusan mengangkangi Kamboja, karena itu juga berarti biaya yang tidak kecil. Vietnam, yang kini berpenduduk sekitar 60 juta dan kebanyakan masih naik sepeda, menderita defisit yang cukup besar. Tahun 1984, Dewan Moneter Internasional (IMF) mencatat defisit anggaran belanja negeri itu sebanyak 4 milyar dong. Pada akhir tahun yang sama, defisit neraca perdagangannya berjumlah US$ 200 iuta. Dan bukan mustahil jumlah itu, demikian ramalan IMF, akan merangkak hingga US$ 1 milyar akhir tahun ini. Tingkat inflasinya juga tinggi, kalau diukur dari harga dolar di pasar "gelap". Harga satu dolar AS, yang resminya 9,9 dong, pada Oktober 1981 mencapai 30 dong di pinggir jalan Ho Chi Minh City, dulu Saigon. Akhir Februari lalu, orang dengan mudah bisa memperoleh 57 dong untuk satu dolar. "Hidup di sini semakin sulit," kata seorang pedagang di HCM City. Dia berharap bisa menyusul keluarganya di San Francisco dalam beberapa bulan lagi. Untuk mengurus surat-suratnya, dia mengaku sudah mengeluarkan 2.000 dolar. Belum lagi sistem pajak yang dikenakan pada para pedagang. Seorang pedagang lain mengeluh karena harus membayar pajak antara 15.000-20.000 dong setiap bulan. "Tak peduli apakah dagangan saya laris atau tidak," katanya. Para pedagang kecil dan menengah memang dibiarkan membuka usaha pribadi atau keluarga. Tapi berbeda dengan beberapa tahun lalu, mereka kini dikenai pajak yang lebih tinggi. Jangan kaget, kalau cara menarik pajak yang lebih banyak itu mendapat dukungan IMF, yang mengirim suatu tim ke Vietnam, April tahun lalu. Salah satu arsitek dari sistem perpajakan yang baru itu, konon, Vo Van Kiet, kini ketua bappenas-nya Vietnam, menggantikan Nguyen Lam, yang sama-sama berpandangan pragmatis. Melalui sistem pajak yang baru itu, pemerintah berharap akan bisa lebih mempan menambal defisit, daripada cara meningkatkan peredaran uang di masyarakat. Sistem perangsang di daerah pertanian yang membolehkan petani memiliki 5% dari tanah kolektif - makin dikembangkan setelah Partai Komunis Vietnam berhasil merampungkan kongres kelima di tahun 1982. Caranya, melalui sistem kontrak produksi. Untuk setiap hektar tanah, para petani, yang tergabung dalam koperasi, diharuskan menghasilkan minimal 2,5 ton padi sekali panen. Untuk itu, mereka mendapat bantuan bibit, penyuluhan, pupuk, dan insektisida dan pemerintah. Kalau ada hasil yang berlebih, para petani itu boleh memilikinya dan menjual di pasaran bebas. Pabrik-pabrik milik negara juga dibolehkan membeli bahan mentah dari pasaran bebas. Siasat sementara? Suatu gerak mundur? "Tidak. Sistem perangsang itu akan tetap dipertahankan untuk waktu yang lama," kata Tran Phuong, wakil perdana menteri bidang ekonomi dan perdagangan Vietnam. Kabarnya, beberapa pemimpin yang beraliran keras merasa waswas dengan sistem itu. Mereka khawatir, "penyakit kapitalisme" bisa meruyak jauh dari sana, dan menggerogoti sendi-sendi sosialisme yang sedang mereka bangun. Bagaimana tak akan terganggu kalau para pegawai negeri dan kader partai hanya bergaji 200-300 don dan dengan jatah beras 20-30 kg sebulan, sementara dalam masyarakat tumbuh suatu "kelas baru" yang hidup lebih mapan? Semua itu kenyataan yang keras - yang sejauh ini tampaknya mengharuskan banyak pemimpin Vietnam aak mengalah, alias lebih pragmatis. Gagalnya Pelita II Vietnam (1976-1980) tampaknya telah memaksa sebagian pemimpinnya untuk mengendurkan pengawasan yang terlalu ketat dari pusat. Dan sistem perangsang di bidang pertanian ternyata menampakkan hasil yang menenteramkan "soko guru revolusi" mereka: para petani itu sendiri. Wakil PM Tran Phuong mengakui, kemajuan di bidang produksi pangan itu masih membuat rakyat Vietnam - dengan laju pertumbuhan penduduk 2,4% setahun - hidup pas-pasan. Tapi, dalam hal pangan, setidaknya mereka kini tak lagi terlalu tergantung dari luar. Sampai 1980, demikian Tran Phuong, Vietnam rata-rata masih mengimpor satu juta ton beras per tahun. Itu berlangsung sejak 1975. Tapi dengan bangga ia mengatakan, tahun lalu negerinya tak lagi mengimpor beras. Tahun itu produksi padi mereka mencapai 14,8 juta ton. "Kalau saja tak ada banjir di selatan, kami mampu mencapai target 15,5 juta ton," katanya. Vietnam sekarang adalah Vietnam yang lebih tunduk pada hukum-hukum ekonomi. Sistem kapitalisme Barat dan Amerika Serikat tak banyak terdengar dicaci orang. Yang sekarang menjadi musuh utama mereka, dan tampaknya akan tetap didengungkan untuk waktu lama, adalah bahaya dari Utara: RRC. Mereka, tua muda, masih bersuara galak kalau bicara soal Cina - negeri besar yang juga menganut paham komunis. Nada keras itu kembali terdengar pekan lalu, diucapkan tak kurang oleh Menlu Nguyen Co Tach di Jakarta. "Vietnam akan menarik seluruh pasukannya dari wilayah Kamboja, kalau Muangthai tidak digunakan sebagai tempat persembunyian pelarian dari Kamboja, dan bila rezim Pol Pot dihancurkan, serta ancaman dari RRC berhenti," katanya. Banyak pihak menduga, kunjungan Menlu Co Tach ke Jakarta, dalam perjalanannya ke Canberra, adalah untuk mencari penyelesaian kemelut Kamboja. Harapan itu bermula dengan kunjungan Pangab Jenderal Benny Moerdani ke Vietnam baru-baru ini, yang melihat bahaya yang lebih nyata datang dari RRC, bukan dari Vietnam. JENDERAL Benny dalam keterangannya kemudian di Bandar Seri Begawan, ibu kota Brunei Darussalam, akhir Februari, setuju bahwa Vietnam harus menarik pasukannya dari Kamboja. Sebab, bagaimana pun, kehadiran 160.000 tentara Vietnam di sana menimbulkan perasaan yang tak enak buat Muangthai. Tampaknya, yang paling mengganjal dalam penyelesaian masalah Kamboja adalah Pol Pot dengan pasukan Khmer Merah-nya, yang sampai sekarang mendapat bantuan senjata dari RRC. Kalau bagi pemerintahan Heng Samrin, bahaya Khmer Merah merupakan suatu trauma, maka bagi Vietnam setidaknya mereka dianggap sebagai suatu ranjau yang mengganggu. Hanoi tampaknya belum lupa ketika pasukan Khmer Merah berhasil menjebol perbatasan Vietnam-Kamboja dan memasuki Provinsi Tay Nin di Vietnam Selatan, yang hanya terpisah 60 km dari Saigon. Dan mereka berhasil merasuk hingga sekitar 30 km. Gebrakan Pol Pot yang tak diduga di sekitar bulan Oktober 1978 itulah yang membuat Vietnam menyerang ke Kamboja dua bulan kemudian. Vietnam tampak yakin bahwa dalang dari serangan mendadak itu adalah RRC. Maka, benar juga ucapan Pangeran Sihanouk baru-baru ini di Jakarta: "Kalau Vietnam bicara soal bahaya Khmer Merah, yang dimaksudkan tak lain adalah Cina." Vietnam rampaknya tak menutup untuk , berunding, kalau saja Pol Pot dan Khmer Merah ditinggalkan. Peking, yang merupakan sandaran utama keluatan Khmer Merah, sampai sekarang masih diam. Mungkin karena merasa sang waktu lebih berpihak pada mereka. Tapi ada kunci lain yang tampaknya perlu didekati: Muangthai. Sebuah sumber yang dekat dengan Deplu Muangthai, dalam keterangannya kepada koresponden TEMPO di Bangkok, Yuli Ismartono, mengatakan, "Muangthai punya hubungan yang khas dengan RRC. Kami satu-satunya negara ASEAN yang dapat berdialog derigan mereka." Muangthai agaknya bisa merupakan jembatan, kalau saja yang mereka maksudkan dengan "dialog" tadi adalah untuk menerem bantuan RRC kepada Khmer Merah. Sehingga ia mampu meyakinkan Vietnam untuk menarik sebagian besar pasukannya dari Kamboja. Tapi kalau dialog yang diinginkan itu berarti memperkuat pemerintah koalisi, dan meminta agar Khmer Merah tanpa Pol Pot ikut menentukan masa depan Kamboja, itu sama artinya dengan jalan buntu. Dan itulah yang, untuk sementara, tampaknya akan terjadi. Sebab, selain dipandang penting bagi Muangthai dan Vietnam khususnya, masalah Kamboja rupanya juga banyak berarti bagi keseimbangan kekuatan super di Asia Tenggara. Dalam pacuan mencari pengaruh itu tampaknya pihak Soviet yang lebih unggul di Kamboja. Bantuan Soviet yang besar kepada Vietnam dan Kamboja, militer dan ekonomi, semakin membuat kehadiran mereka diterima di kawasan Indocina. Selain memperkuat angkatan lautnya di Lautan Hindia postur politiknya juga semakin mantap di Asia. Kalau Soviet mau, bisa saja mereka mencari formula untuk mendamaikan kemelut di Kamboja. TIMBUL spekulasi pendekatannya dengan Beijing belakangan ini juga akan menyentuh soal Kamboja. Tapi beberapa pengamat masih meragukan niat Moskow itu. Lagi pula, tak masuk akal Soviet akan menarik atau mengurangi bantuan dananya kepada pasukan Vietnam di Kamboja dan Laos. Tindakan begitu hanya akan mengurangi wibawa mereka di seluruh Indocina. Negeri Asia lain yang mendapat angin adalah India. Manggut ke Barat dan ke Timur, India yang waswas terhadap Cina setelah tentara mereka dulu dihantam RRC di perbatasan - sejak awal sudah mengakui pemerintahan Heng Samrin. Itu pun mereka lakukan dengan sikap yang tetap bersahabat kepada ASEAN. AS, Eropa Barat, RRC, dan ASEAN kecuali Indonesia dalam batas-batas tertentu - bukan mustahil akan melanjutkan boikot mereka dengan mengasingkan Vietnam. Tapi selama rakyat Vietnam punya cukup makanan, dan tahan untuk hidup miskin, barangkali sang waktu lebih berpihak ke sana. Bukankah selama lima tahun ini Vietnam lebih mampu untuk memberi makan rakyatnya? Tapi bagaimana dengan Kamboja? Sampai sekarang, segala upaya penyelesaian Kamboja tampaknya tak pernah mendengarkan para pemimpin negeri itu. "Saya jadi heran, banyak orang membicarakan soal dalam negeri Kamboja tanpa mengajak kami," kata seorang pejabat di Phnom Penh. Rasa nasionalisme, atau katakanlah harga diri, tampaknya masih tebal di antara para pemimpin di Phnom Penh. Hun Sen, 33, menlu Kamboja, pernah mengutarakan rasa jengkelnya ketika menlu Vietnam Co Thach melemparkan gaasan perundingan antara ASEAN dan dua negara Indocina, kecuali Kamboja: formula yang disebut lima tambah dua. Baru kemudian dalam suatu sidang istimewa para menlu Indocina di Phnom Penh 12 April tahun lalu, para pemimpin Kamboja mendukung formula itu. Tentang Sihanouk? Bekas kepala negara Kamboja itu memang tak lagi dijadikan bulan-bulanan dalam kampanye mereka yang anti Pol Pot, Ieng Sary, dan Khieu Samphan. Tapi seorang di sana merasa aneh mendengar Sihanouk pernah mengirim surat kepada PM Vietnam Pham Van Dong, sampai tiga kali, tapi semuanya dikembalikan lagi. "Kalau ingin kembali, kenapa tidak mengirim kabar ke sini?" Bisakah Sihanouk kembali? Menjawab itu, PM Chan Si mengutip pidato terkenal Menlu Hun Sen, 7 Januari lalu. "Baik Sihanouk maupun Son Sann bisa saja kembali, sebagai pribadi, asal mengakui kesalahan mereka. Dan mereka, sesuai denan konstitusi, memiliki hak dan kewajiban warga negara: bisa memilih dan dipilih," katanya. "Itu juga berlaku bagi rakyat Khmer yang sesat, selama mereka tak lagi mendukung klik Pol Pot". Acara televisi malam Minggu, yang menyiarkan acara Khmer, banyak digemari rakyat. Sedangkan acara sehari-hari, dalam bahasa Vietnam, dari pukul 18.30 sampai 20.30, tak dimengerti orang. "Tak banyak yang bisa berbahasa Vietnam di sini," kata seorang wanita Kamboja. Ia, dan temantemannya, mengaku lebih suka belajar bahasa Inggris. "Setiap tamu dari India yang datang ke Kamboja selalu mendesak saya agar pemerintah India lebih banyak membantu negeri ini," kata J.C. Sharma. Itu juga yang terjadi ketika dua bekas dubes Amerika berkunjung ke Kamboja tahun lalu. Kepada pemerintahnya, kedua diplomat veteran itu kabarnya menganjurkan agar negerinya berhenti membantu kelompok koalisi. "Itu sama artinya dengan membuang-buang uang," katanya. Pertimbangan yang lebih didasarkan pada kemanusiaan bisa berbeda dengan pertimbangan politik. Dan pertimbangan itu pula yang agaknya membuat masa depan negeri kecil itu masih rawan - untuk waktu yang lama.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus