SUDAH dua bulanwartawan asing tak diperbolehkan ke Battambang. Dikenal sebagai gudang beras Kamboja, dan pusat perdagangan barang-barang yang masuk dari perbatasan Muangthai, Provinsi Battambang termasuk salah satu dari sekian daerah rawan. Ibu kota provinsi itu, yang bernama sama, dikabarkan pernah diduduki tentara Khmer Merah selama 12 jam. Maka, banyak yang heran ketika tiga wartawan Indonesia diperbolehkan ke sana. Alhasil, hari Minggu, 4 Maret lalu, pesawat Antonov dengan empat awak Rusia terbang ke Battambang - ikut di dalamnya sejumlah wartawan asing yang ngepos di Phnom Penh. Banyak penduduk nonton tibanya pesawat Antonov di pelabuhan udara yang lengang itu, yang dijaga sejumlah tentara Vietnam dan Kamboja. "Sudah lama tak ada pesawat yang mendarat di sini," kata seseorang di Battambang. Kota terbesar setelah Phnom Penh, yang pernah dikunjungi Almarhum Presiden Soekarno, seakan mati. Pasar besar dengan gaya arsitektur Angkor yang dibangun pada zaman Sihanouk, kini hanya dihuni sejumlah truk yang parkir. Di sebuah jalan yang lebar, tak jauh dari pasar, anak-anak sedang asyik bermain bola. Suasana yang ramai baru tampak di pasar darurat, berupa puluhan kios bambu yang didirikan di bekas lapangan luas sejak empat tahun lalu, yang menampung berbagai macam barang konsumsi selundupan dari Muangthai. Adanya pasar itu telah menghidupkan perumahan di sekelilingnya, dengan membuka toko, kedai makanan dan minuman, sampai pandai besi. Di salah satu halaman perumahan itu beberapa orang Kamboja yang datang dari Paris terlibat dalam pembicaraan dengan seorang pemuda. Apa yang dipercakapkan mereka? "Kemarin malam ada serangan di luar Kota Battambang," kata salah seorang mengutip pemuda tadi. Itu diakui oleh Kong Srun, wakil gubernur yang memberikan brifing kepada wartawan, di sebuah gedung tua peninggalan aman Prancis. "Ya, itu terjadi di Desa Khum Don Teaw," katanya. Salah satu yang menjadi sasaran, menurut Kong Srun adalah tempat penggilingan padi, sekitar 6 km dari Kota Battambang. Serangan seperti itu terjadi beberapa kali pada malam hari. Tapi menurut Kong Srun, tak pernah sampai menjamah Kota Battambang. "Apalagi mendudukinya," katanya. Menurut pengamatannya, serangan itu tak ada yang melukai penduduk. Dan atas pertanyaan wartawan AP, pejabat penting di Provinsi Battambang itu mengatakan, masih banyak penduduk yang keluar malam ke Desa Khum Don Teaw. Ia juga mengakui kereta api yang datang dari Phnom Penh pernah tak bisa masuk ke Battambang, karena rel di Kompong Chhnang dirusakkan kaum gerilyawan. Menurut Kong Srun, itu hanya terjadi sekali. Tapi sumber lain di Phnom Penh mengatakan bahwa itu terjadi dua kali, dan membawa korban manusia yang cukup banyak, terkena tembakan senapan AK-47. Serangan yang lebih dahsyat kabarnya terjadi di Siem Reap, yang, seperti Battambang, terpisah sekitar 100 km dari perbatasan Muangthai. Kenapa musuh bisa merasuk begitu jauh? Berbagai spekulasi timbul: mengapa tentara Vietnam, yang pasti lebih kuat dan lebih terampil bertempur, seakan membiarkan sejumlah daerah diganggu musuh? "Kalau kami mau, bisa saja kami pukul mundur semua kekuatan koalisi dalam waktu sebulan," kata seorang jenderal di Hanoi. Dia salah seoran komandan pasukan tank yang pertama kali masuk ke Saigon, dan mendobrak pagar besi Istana Presiden Thieu ketika itu. Toh serangan besar Vietnam, yang menurut dugaan akan terjadi pada musim panas sekarang, tak dilakukan. "Kalau kami lakukan, mereka akan mundur ke daerah Muangthai, dan Vietnam tak ingin terpancing," katanya. Ada dugaan lain: Vietnam sengaja bertempur dengan sebelah tangan, untuk mengulur waktu, dan melatih tentara Kamboja berhadapan dengan musuh sebenarnya. Kalau dugaan seperti itu benar, mudah diduga peran di perbatasan Kamboia akan memakan waktu yang lama. Tapi kalau sampai tentara koalisi memberi perlawanan yang cukup besar, Vietnam baru akan membalasnya. Pihak koalisi agaknya tahu siasat itu. Mereka sampai sekarang tak mau melakukan serangan besar-besaran, tapi lebih suka melakukan siasat gerilya: pukul dan lari. Sementara itu, di medan diplomasi, Sihahouk sebagai presiden koalisi terbang ke sana-sini mencari dukungan. Di Washington, Sihanouk yang pandai bicara dan Son Sann, bekas perdana menteri Kamboja yang pro Barat, atas anjuran ASEAN, diterima Presiden Ronald Reagan Oktober lalu. Penampilan Sihanouk selama di Jakarta juga berhasil menarik simpati. "Saya tak mungkin suka dengan khmer Merah. Lima anak dan delapan cucu saya mereka bunuh. Saya tak punya pilihan, kecuali bergabung dengan mereka, atas permintaan ASEAN juga," katanya. Adapun kekuatan Khmer Merah diperkirakan 30.000-40.000 pasukan, Son Sann 15.000-17.000, sedangkan pengikut Sihanouk, yang bermarkas di O'Smach, dulu Sihanoukville, berjumlah 5.000 orang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini