LEBIH dari seabad yang lalu ada seorang tua yang mengeluhkan perangai anak-anak muda. Orang-orang tua memang cenderung jengkel kepada anak-anak muda, tapi tokoh kita kali ini layak dicatat. Sebab, ia pandai menyusun kecamannya dalam tembang, dan menambahkan di dalam tembang itu sejumlah nasihat. Lebih penting lagi, sikapnya mencerminkan bukan saja suatu zaman. Kata-katanya juga menyoroti suatu soal, yang ternyata bisa ditemukan pada zaman-zaman yang lain. Orangtua itu adalah penyusun Wedatama, puisi panjang dari surakarta pada abad ke-19. Ada yang menyebut bahwa sang pencipta adalah Mangkunegara IV tapi tak seorang pun bisa tahu pasti. Mungkin juga siapa dia sebenarnya bukanlah persoalan yang relevan. Lebih penting lagi ialah apa yang diutarakannya: suatu kritik terhadap sikap beragama sejumlah anak muda, pada masa itu, yang cenderung pamer dan bertingkah, menarik perhatian. katungkul mungkul sami bengkrakan mring masjid agung (asyik masyuk beramai-ramai memamerkan diri di masjid agung) Tentu, anak-anak muda itu dengan giatnya menjalankan syariat agama. Mereka bahkan pandai berkhotbah, dengan melodi dandanggula. Suara mereka harum, ketika mengumandangkan alunan palaran. Tapi pada dasarnya mereka memendam pamrih "untuk dipuji". Atau, dalam kata-kata seorang sufi, mereka membangun cermin tempat mereka berkaca menyaksikan dan membenarkan diri sendiri. Apa sebenarnya yang berlangsung? Pasti, suatu semangat yang semarak dalam menjalankan ajaran. Tapi adakah di sana terbayang kedalaman yang cukup, itulah yang diragukan pengarang Wedatama. Bagi penulis puisi panjang itu, orang-orang yang benar tekun beragama, yang dalam ibadahnya, ialah justru mereka yang tuman tumanem ing sepi: terbiasa gemar "tertanam" dalam kesepian. Sebuah sikap mistik, kurang lebih. Dalam pelbagai tinjauan, pendirian penggubah Wedatama memang sering ditafsirkan sebagai pendirian seorang yang tak betah kepada mereka yang hanya repot dengan syariat. Atau, kalau tidak, Wedatama adalah satu cemooh seorang aristokrat tua Jawa, kepada generasi muda yang meniru sikap santri, yang "bising". Barangkali demikian. Tapi mungkin juga benar untuk menafsirkan Wedatama sebagai kritik terhadap verbalisme ideologi: kecaman terhadap begitu banyaknya kata-kata yang diobral untuk suatu keyakinan. Bunyi nyaring memang sering menunjukkan kosongnya sebuah tong. Wedatama dengan bagus berbicara tentang keyakinan seperti itu: hampa, hambar, seperti sepah yang habis dikunyah. Sepi asepa lir sepah samun . . . Tidakkah ia berbicara juga untuk zaman kita? Yakni zaman, ketika ideologi ternyata tak mati-mati, ketika kian rumit dan majemuk dunia, manusia kian perlu akan sebuah peta? Orang butuh arah meskipun arah itu kemudian membawa begitu banyak kekecewaan. Konon, manusia memang bangunan kelaziman dan ideologi barangkali salah satu bentuk mekanisme kelaziman itu. Dengan demikian, ia juga mengatur mana yang tak lazim dan mana yang tidak - lalu menyebut yang tak lazim, misalnya, sebagai "penyelewengan". Ia memberi sanksi. Ia mengganjar dan mengutuk. Perlahan-lahan atau tiba-tiba, ia, ideologi itu, bisa berperan sebagai daya ajaib. Maka, para Pengawal Merah pun merasa jadi unggul ketika mereka bisa menghafal ajaran-ajaran Mao dari belakang ke depan, vice versa. "Lumuh asor kudu unggul", kata Wedatama, "sumengah sesongaran". Dengan kata lain: tak mau kalah, harus unggul, pongah, dan penuh bual. Dengan kata lain: verbalisme. Goenawan Mohamad
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini