TATKALA Humala Hutabarat dijatuhi hukuman 10 bulan penjara, Pangkowilhan I Letnan Jenderal Soesilo Soedarman pun mendongkol. Humala, 41, pada awal 1981 memalsukan cek dan giro yang merugikan Bank Pembangunan Daerah Sum-Ut Rp 812 juta. Di Pengadilan Negeri Medan, jaksa menuntut hukuman 2 tahun penjara, tapi Hakim Chabib Syarbini pada akhir April 1982 cuma menghukumnya 10 bulan penjara. "Sampai kentut pun saya tak akan bisa mengumpulkan uang sebanyak itu," kata Soesilo. Ternyata, Pangkowilhan I Sumatera/Kalimantan Barat ini tak cuma memendam kekecewaannya. Sejak akhir bulan lalu ia pun mengunjungi semua provinsi di wilayahnya dan mengumpulkan para pimpman aparat penegak hukum. Secara blak-blakan, Soesilo mengungkapkan pengamatannya: kegiatan aparat penegak hukum belum terpadu, belum mencerminkan kegiatan yang terintegrasi. Diperingatkannya, kurun waktu mendatang adalah untuk menegakkan wibawa hukum serta aparat penegaknya. Sembari menegaskan, "Saya tak bermaksud mencampuri hak-hak Saudara." Soesilo pun berpesan, tuntut dan vonis para penjahat secara setimpal, supaya jera. Soesilo tampaknya kecewa karena menganggap banyak vonis hakim di wilayahnya terlalu ringan. Ia tak sendirian. Banyak jaksa di Kejaksaan Negeri Medan gusar karena keputusan hakim mereka anggap kurang setimpal, jauh dari tuntutan yang mereka ajukan. Mereka khawatir hukuman yang ringan tidak membuat para penjahat jeri. Kapoltabes Medan Letkol Gandhi membenarkan dugaan ini. "Sebagian besar penjahat yang saya tangkap adalah mereka yang sering keluar masuk penjara," katanya. Bismar Siregar, Ketua Pengadilan Tinggi Sumatera Utara, juga mengakui. Banyak hakim di Sumatera Utara yang dinilainya tidak peka terhadap keresahan masyarakat. Ia memberi contoh. Rusli, 22, dihukum 2 tahun 6 bulan oleh Pengadilan Negeri Tanjungbalai pada akhir 1983 karena membunuh Pujiati, sebab pacarnya itu mau menikah dengan pemuda lain. Jaksa, yang sebelumnya menuntut hukuman 5 tahun, naik banding. Di tingkat banding, Bismar memutuskan hukuman 7 tahun penjara. "Itu hukuman yang maksimal dari pasal 354 dan 11 KUHP yang dituduhkan. Saya menghukumnya berat, karena gara-gara cemburu saja dia membunuh," ujar Bismar. Dalam kasus Achmad, Bismar bertindak lain. Achmad dijatuhi hukuman 3 tahun 6 bulan karena membunuh seorang preman (gali) yang mengambil roti jualannya secara paksa. Di tingkat banding Bismar mengurangi hukumannya menjadi 1 tahun 6 bulan. "Achmad baik-baik mencari makan dengan modal tak seberapa. Dia diganggu preman yang sok jago dan sok kuasa. Achmad memang harus dihukum, tapi harus dilihat juga mengapa dia sampai membunuh," kata Bismar. Yang paling akhir adalah putusan Bismar terhadap suami-istri Bahtiar Tahir dan Cut Mariana yang di ganjar hukuman 10 dan 15 tahun penjara karena berdagang ganja. Pada hal pengadilan Negeri Medan semula cuma memutuskan hukuman 10 bulan penjara. Pol Bismar: "Akibat yang ditimbulkan orang itu membahayakan. Biarlah mereka merasakan akibatnya." Langkah pertama "kampanye" Soesilo Soedarman adalah dengan membentuk "Kelompok Kerja Hukum" (Pokjakum) pada Agustus 1983 yang beranggotakan para wakil aparat penegak hukum di Sum-Ut. Diforum ini dibicarakan, antara lain, hambatan-hambatan teknis dalam penegakan hukum. Kemudian lahirlah kesepakatan 29 Februari 1984. Pangkowilhan I hari itu mengundang para pimpinan aparat penegak hukum di wilayahnya: Kapolda Sum-Ut Brigjen Bobby Rahman, Kepala Kejaksaan Tinggi Sum-Ut Rizal Thaib, Ketua Pengadilan Tinggi Sum-Ut Bismar Siregar, Ketua Oditurat Militer Letkol M. Thabir, dan Ketua Mahkamah Militer Sum-Ut Letkol Emli Suheili. Isi kesepakatan: "Kami semua sepakat untuk menuntut dan menjatuhkan hukuman mendekati sanksi maksimal dari pasal yang dituduhkan," kata Bismar Siregar. MENURUT Bismar, semua yang hadir sadar perlunya hukuman yang setimpal bagi penjahat. Pelita IV, mulai 1 April mendatang, yang mencanangkan dimulainya era pembangunan hukum, dianggap titik tolak yang paling tepat untuk memulai kampanye itu. Setelah lahir kesepakatan tadi, mulai muncul vonis yang mengagetkan di Pengadilan Negeri Medan. Beberapa contoh: A Tiong, 20, divonis 6 bulan 15 hari penjara karena tertangkap basah mengisap ganja. Muttaqin, 17, penjual sekilogram ganja, dihukum 4 tahun penjara. Chairuddin, 20, dihukum 1 tahun 6 bulan gara-gara memiliki dua lintingan ganja. Dan pada 6 Maret 1984, Hasby Pasaribu, 20, yang membunuh Kurniayah Pasaribu, 3, divonis 14 tahun penjara oleh Hakim Berlian Adham. "Karena pengaruh kesepakatan tadi, kami sekarang seakan berlomba membikin hukuman tinggi," kata Ismail Sebayang, seorang hakim di pengadilan itu. Sampai kapan vonis berat akan diterapkan? Menurut Hasan G. Shahab, Ketua Penadilan Negeri Medan, tindakan "edukatif" itu hanya untuk jangka waktu tertentu. "Setelah itu akan kami evaluasi hasilnya," ujarnya. Kepada para hakim di wilayahnya, Bismar Siregar mengingatkan agar mereka tidak mempertimbangkan hukuman semata-mata dari pasal-pasalnya. "Pelajari persoalannya secara lebih luas. Pembunuhan misterius terjadi karena 'si adil' belum berfungsi," kata Bismar.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini