Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Sebuah Surga Para Milisi

28 Mei 2007 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tak berlebihan rasanya jika kita menyebut Libanon sebagai sarang kelompok bersenjata. Meski ada tentara pemerintah, di negeri berpenduduk sekitar 5,5 juta ini terdapat daerah-daerah yang tak terjangkau hukum dan dikuasai para milisi.

Yang paling muda umurnya adalah Fatah al-Islam yang kini sedang bertempur melawan tentara pemerintah. Kelompok pimpinan Syakir Yusuf al-Abssi, 52 tahun, ini dibentuk pada November 2006. Bersama Abu Musab al-Zarqawi, lelaki kelahiran Jericho, Palestina, ini divonis tiga tahun secara in absentia karena membunuh Laurence Foley, diplomat Amerika Serikat, di Amman, Yordania, pada 2002.

Kepada Reuters, Maret lalu, ia menyatakan kelompoknya bertujuan menerapkan syariat Islam di kamp pengungsi Palestina di Libanon sebelum berperang dengan Israel. Mereka punya modal untuk itu: pelbagai macam peluncur roket, meriam, dan sumber daya manusia yang melimpah.

Sangat mudah bagi Fatah al-Islam merekrut anggota lantaran mereka bermarkas di kamp pengungsi Palestina di Nahar al-Barid, Tripoli. Jaraknya sekitar 90 kilometer di sebelah utara Beirut. Di sini terdapat sekitar 28.358 orang. Semua pengungsi Palestina berjumlah 404.170 yang tersebar di 12 kamp pengungsian, yang terbesar di Ain al-Hilawah, Sidon.

Milisi yang memisahkan diri dari Fatah al-Intifada, sempalan Fatah yang didirikan mantan pemimpin Palestina Yassir Arafat, ini dengan leluasa dapat berlatih tanpa gangguan tentara pemerintah. Sebab, berdasarkan Perjanjian Arab 1969, tentara Libanon dilarang memasuki kamp pengungsian.

”Karena itu mereka menjadi sarang kegiatan kelompok fundamentalis,” kata David Schenker, peneliti senior soal politik Arab dari Washington Institute for Near East Policy.

Walau masih baru, sejumlah pihak sudah mengkhawatirkan kemunculan Fatah al-Islam, termasuk mantan komandan pasukan perdamaian PBB di Libanon Selatan (UNIFIL), Jenderal Alain Pellegrini. ”Sekarang mereka adalah kelompok berbahaya,” katanya.

Kebanyakan kelompok bersenjata di Libanon dibentuk berdasarkan agama atau sekte agama pada saat perang saudara 1975–1990. Dari kelompok Kristen Maronit, misalnya, muncul milisi pasukan Libanon yang dibentuk Basyir Jumayyil pada 1976. Milisi ini merupakan gabungan Partai Kataib bentukan Pierre Jumayyil pada 1936 dan milisi Kristen lainnya.

Dari semua milisi yang ada di Libanon, milisi dari kelompok Syiahlah yang paling berkuasa. Di golongan ini ada dua kelompok: Hizbullah dan Amal. Selama perang saudara, kedua kelompok ini juga saling menghancurkan. Amal yang berkekuatan sekitar 14 ribu tentara pernah menghancurkan kamp-kamp pengungsi Palestina selama 1980-an. Karena itu terkenal sebagai Perang Kamp.

Hizbullah merupakan kelompok bersenjata paling berkuasa saat ini. Personel terlatih mereka lebih dari seribu orang dengan personel cadangan mencapai 10 ribu. Dilengkapi 15 ribu roket Katyusha, Fajar 3, dan Fajar 5, dan 30 rudal Zelzal.

Organisasi ini secara resmi didirikan pada 1985 oleh para pengikut tokoh Syiah Syeikh Muhammad Husain Fadhallah. Mereka tidak mengakui dan bertekad menghancurkan Israel. Pemimpin mereka saat ini, Hasan Nasrallah, sangat konsisten dengan tujuannya itu. Sejumlah perang dan pertempuran pernah terjadi antara Hizbullah dan Israel. Terakhir, perang selama 34 hari pada Juli tahun lalu,

Kekuatan utama mereka berada di Libanon Selatan yang mayoritas Syiah. Bahkan saking berkuasanya, tak ada tentara pemerintah yang berani berjaga di Harit Thariq, sebuah kawasan pemukiman Syiah-Hizbullah di Beirut.

Ketika berkunjung ke sana pada awal Februari lalu, Tempo menyaksikan sejumlah pemuda dengan senjata di tangan melenggang di tengah keramaian siang. Para tentara Hizbullah terkesan bangga dengan gaya mereka. Hampir semua orang punya senjata, termasuk tukang cukur.

Seharusnya, Fatah al-Islam, Hizbullah, dan milisi lainnya, baik Libanon maupun bukan Libanon, segera melucuti senjata mereka sesuai dengan Resolusi Dewan Keamanan PBB 1559 Tahun 2004. Tapi mereka bertahan, nyaris tak tersentuh.

Faisal Assegaf (Aljazirah/ IHT)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus