Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bagdad menjadi sebuah kanvas tak bertepi. Sebuah mural bertemakan sejarah Irak, seperti gambar Raja Hammurabi dari kerajaan Babilon kuno, yang terlukis di sepanjang tembok Jalan Saadoun, telah sedikit mengubah wajah Bagdad. Hingga kini, sudah sekitar 400 dari 560 blok tembok di dekat Hotel Bagdad itu penuh dengan gambar khas Negeri 1.001 Malam ini.
Tidak kurang dari 80 seniman yang tergabung dalam kelompok Jidar, dengan berbagai latar agama dan kepercayaan, seperti Sunni, Syiah, dan Kurdi, terlibat dalam proyek besar ini. ”Kami ingin sedikit memberikan kebahagiaan kepada warga Irak, yang melihat tembok bermunculan di sekitar mereka tapi tak bisa berbuat apa pun,” kata Talib Muhsin, yang menggambar pohon palem raksasa dengan burung-burung putih, Minggu tiga pekan silam.
Seperti kata Talib, aksi para seniman melukis tembok dilakukan untuk sedikit menghibur warga Bagdad yang sudah empat tahun dirundung konflik kekerasan, baik dengan pasukan Amerika Serikat maupun antarsekte. Selain itu, kelompok Jidar ingin memprotes berdirinya tembok di Azamiyah, distrik yang terletak di timur Sungai Tigris. ”Kami ingin mempercantik dinding-dinding pembatas ini, karena kami tidak mampu menghancurkannya. Tapi ada juga tembok yang tidak mungkin bisa dipercantik, karena sosoknya terlalu menyakitkan bagi warga Irak,” kata Talib.
Tembok sepanjang 5 kilometer dengan tinggi 3,5 meter itu memisahkan Azamiyah, yang berpenduduk mayoritas Sunni, dengan tiga distrik mayoritas Syiah yang mengelilinginya, yaitu Kazhimiyah, Kharadah, dan Sha’ab. Adapun tujuan pembangunan tembok itu, yang dilakukan secara maraton oleh AS sejak 10 April lalu—dan selesai Mei ini—adalah untuk mengurangi konflik sektarian antara Sunni dan Syiah. ”Tembok ini untuk menghalangi para pelaku bom bunuh diri dan menyelamatkan warga sipil. Itu saja alasannya,” kata Laksamana William J. Fallon, Panglima Pasukan AS di Timur Tengah.
Jika tembok selesai, warga Azamiyah hanya punya dua pintu keluar-masuk, yang dijaga ketat pasukan AS dan Irak. Tiap warga akan memperoleh kartu tanda pengenal yang mencakup data biometrik, seperti sidik jari dan warna retina mata. Meskipun tentara AS telah membangun cukup banyak tembok di berbagai pusat keramaian di Bagdad—seperti pasar dan kantor—sejak Februari lalu, tembok Azamiyah adalah dinding pertama yang khusus memisahkan komunitas Syiah dan Sunni. Azamiyah juga merupakan dinding terpanjang.
Sejak Presiden AS George Walker Bush mengumumkan strategi baru ”menang di Irak” pada Januari lalu, pembangunan tembok di berbagai tempat memang menjadi salah satu taktik. Alasannya adalah untuk melindungi warga Irak. Namun sesungguhnya tembok-tembok itu dibangun untuk mengontrol gerak warga. Untuk itulah, walaupun mural warna-warni pada tembok di dekat Hotel Bagdad itu dimaksudkan sebagai penghibur warga Bagdad, hal ini tidak membuat semua orang senang. ”Saya tidak suka dengan tembok dan gambarnya,” kata Lina Sarlina Ahmad Ghofar, 24 tahun, mahasiswi arsitektur di Universitas Bagdad, ketika dihubungi via telepon oleh Tempo, Rabu pekan lalu.
Lina, yang beribu warga Irak dan berayah seorang Betawi, mengaku tidak nyaman dengan banyaknya tembok yang berdiri di tempat-tempat strategis dan ramai. Kadang dia terpaksa memutar jalan saat pergi ke kampus. Waktu tempuh dari rumahnya di kawasan Jadriyah ke kampus, yang biasanya hanya 15 menit jalan kaki, bisa molor. ”Rasanya tidak seperti di ibu kota. Saya merasa tinggal di kebun binatang. Di mana-mana ada pagar,” ujarnya mengeluh.
Protes tertutup ataupun terbuka atas ”pembentengan kota” terus berlangsung. Ada yang hanya bisa menggerutu seperti Lina. Namun ada juga yang terbuka berdemonstrasi. Misalnya, ratusan warga memprotes tembok Azamiyah pada Senin dua pekan lalu. ”Ini hanya akan makin memecah belah rakyat kami yang sudah terpecah sejak perang terjadi,” kata Ahmad Abdul Sattar, 35 tahun, pegawai pemerintah. ”Ini seperti tembok pemisah di Tepi Barat,” ujar Um Usman, 45 tahun, seorang guru.
Tapi rencana penembokan jalan terus. Rencananya, tembok pemisah sekte Sunni dan Syiah akan dibangun di tempat lain. Sebab, pihak AS mengklaim pembangunan tembok Azamiyah telah mengurangi korban tewas akibat bom bunuh diri. ”Menjadi 4-8 per hari dari sebelumnya 100-120,” kata seorang juru bicara Kementerian Dalam Negeri yang menolak disebut namanya.
Memang, sulit untuk meyakini bahwa pembangunan dinding-dinding itu semata-mata untuk kepentingan warga Irak. Perdana Menteri Irak Nuri al-Maliki sempat meminta penghentian pembangunan tembok Azamiyah, akhir April lalu, tapi tak digubris.
Pemerintah Bush jelas tetap pada rencana ”menang di Irak”, meskipun Kongres AS sudah memutuskan agar Bush mulai memulangkan pasukan Oktober hingga Maret nanti. Kunjungan Wakil Presiden Dick Cheney ke Bagdad, Kamis pekan lalu, mempertegas hal itu. Di hadapan tentara AS di Tikrit—tempat kelahiran Saddam Hussein—Cheney menekankan perlunya ”untuk tetap ofensif”. Untuk itu diperlukan pasukan lebih banyak—Bush menambah lebih dari 20 ribu tentara—dan tinggal lebih lama di Irak.
Nah, persoalannya: akan efektifkah tembok-tembok itu meredam konflik sektarian dan kekerasan lainnya? Sepertinya tidak. Sebuah studi menyatakan tembok bata dan besi yang dibangun untuk memisahkan komunitas Katolik dan Protestan di Belfast, Irlandia Utara, justru meningkatkan eskalasi kekerasan antara kedua kelompok tersebut, sejak gencatan senjata 1994. Penyebabnya adalah makin tingginya rasa saling curiga antara Protestan dan Katolik.
Contoh lain adalah tembok yang dibangun Israel di wilayah Palestina di Tepi Barat. Memang, tembok tersebut mengurangi frekuensi serangan. Namun pembatas tersebut juga membunuh penghidupan warga kota yang dikepung tembok, seperti di Qalqilya, kota penghasil sayur-sayuran dan buah-buahan terbesar di Tepi Barat.
Seperti kata Perdana Menteri Maliki, tembok-tembok di Bagdad hanya akan mengingatkan orang pada kesengsaraan yang diakibatkan ”tembok yang lain”, yaitu di Palestina dan Tembok Berlin. Apalagi keadaan di Irak tidak juga membaik. Hingga kini, lebih dari 3.000 tentara AS, 3.500 tentara Irak, dan 4.500 polisi Irak mati sejak invasi AS pada 2003.
Menurut laporan Misi Bantuan Perserikatan Bangsa-Bangsa di Irak (UNAMI) pertengahan April lalu, korban konflik sektarian pada Februari-Maret tinggi, tapi pihak AS menolak memberikan jumlahnya. Sedangkan menurut data Pusat Riset Kongres AS, 13 persen populasi Irak telah menjadi pengungsi. Lebih dari satu juta orang menjadi pengungsi pasca-Perang Teluk I pada 1990-an. Sedangkan mayoritas justru mengungsi pasca-invasi tentara AS pada 2003.
AS harus benar-benar menghitung ”ongkos” membangun tembok: akan memperbaiki situasi atau malah memperburuk. Sebab, September nanti, pemerintah Bush harus mempertanggungjawabkan rencana ”Way Forward” yang dilansir Januari lalu di hadapan Kongres. Selain itu, pada bulan yang sama, kampanye pemilihan Presiden AS 2008 dimulai. Bisa dibayangkan apa jadinya Partai Republik bila Bush gagal total di Irak.
Faisal Assegaf (Azzamn, Aljazirah, BBC, USA Today, Washington Post)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo