Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Raina Mustafa, 23 tahun, berjalan terseok-seok. Wajahnya letih dan berdebu. Tangan kirinya menuntun seorang anak balita, tangan kanannya menggendong bayi. ”Sangat tegang,” katanya, terlihat seperti histeris. Sampai hari itu, Rabu pekan lalu, sekitar 1.000 warga meloloskan diri dari kamp pengungsi Palestina Nahr al-Bared, di dekat kota pelabuhan Tripoli.
Seekor lembu lepas terdengar melenguh di jalan di dalam kamp. Gencatan senjata dimulai. Penduduk memanfaatkan waktu gencatan senjata antara kelompok militan Fatah al-Islam dan pasukan Libanon untuk keluar dari sana secepat mungkin. Tak ada yang tahu sampai kapan gencatan senjata bertahan. Yang terang, mereka mengusung penduduk yang luka di sepanjang jalan—banyak kawan-sanak mereka yang terjebak di antara bangunan rusak dan puing-puing akibat gempuran artileri.
Gencatan senjata itu memungkinkan pekerja bantuan medis masuk ke kamp. Dalam dua hari pertempuran itu mereka membawa 12 pengungsi Palestina yang terluka parah, termasuk empat anak-anak, ke Rumah Sakit Safad dekat kamp pengungsi Baddawi, 15 kilometer dari kamp Nahr al-Bared. Ahmad Sharshoura, bocah delapan tahun, berteriak kesakitan karena tubuhnya tertusuk pecahan granat yang menghancurkan rumah orang tuanya. Ibunya di sampingnya, tapi ia hanya bisa menangis dan marah.
Pertempuran antara Fatah al-Islam dan pasukan Libanon yang mengepung kamp itu sejak Ahad pagi, 20 Mei silam, membuat sekitar 31 ribu penghuni kamp terperangkap dalam desingan peluru dan tembakan artileri. Asap hitam membubung ke langit ketika militer Libanon menembakkan senjata artileri ke posisi militan Fatah al-Islam. Militer Libanon mengambil alih kontrol di jalan masuk ke kamp pengungsi dan jalan raya menuju perbatasan Suriah.
Telah empat hari penduduk menghindar dari berondongan peluru dan serangan artileri militer Libanon. Tak ada air, tak ada makanan, tak ada listrik, dan tak ada obat. ”Mereka (militer Libanon) melukai dan membunuh orang tak berdosa, dan mereka hanya dibiarkan terbaring di jalan. Semuanya dihancurkan,” ujar Mahmoud al-Rashid, staf administrasi Rumah Sakit Safad yang tinggal di kamp Nahr al-Bared.
Celakanya, anggota Fatah al-Islam menembaki pasukan Libanon dari atap rumah penduduk. ”Kami kabur dari rumah sebelum menjadi sasaran tembakan pasukan Libanon,” kata Safa Moaarbani, 20 tahun. Ia melihat mayat berserakan di jalan di dalam kamp. Hingga Rabu pekan lalu 68 orang tewas, termasuk 30 pasukan Libanon, 19 pengungsi Palestina, 18 orang militan, dan satu penduduk sipil Libanon.
Serangan pasukan Libanon ke kamp Nahr al-Bared terjadi setelah serangan bom terhadap pasukan Libanon di kawasan utara Libanon. Pemerintah menuduh Fatah al-Islam bertanggung jawab. ”Militer tak akan berunding dengan kelompok teroris dan kriminal. Nasib mereka adalah ditawan. Tapi, jika mereka menolak, kematian yang mereka peroleh,” kata Menteri Pertahanan Elias Murr kepada televisi Al-Arabiya.
Liga Arab, Amerika Serikat, dan PBB mendukung serangan militer Libanon terhadap Fatah al-Islam. ”Aksi Fatah al-Islam sebagai serangan terhadap stabilitas dan kedaulatan Libanon,” ujar Sekjen PBB Ban Ki-moon.
Tapi anggota Fatah al-Islam siap bertempur. ”Kami tak akan membiarkan mereka mengalahkan kami,” ujar salah seorang dari 12 anggota Fatah al-Islam yang mengaku bernama Abu Jaafar. Seorang militan yang mengaku bernama Abu Hureira berjanji membantai anggota militer Libanon jika nekat menyerbu kamp. Menurut Hureira, masih ada sekitar 500 militan Fatah al-Islam yang bertahan di dalam kamp.
Walid Jumblatt, anggota parlemen dari kelompok Partai Sosialis Progresif—partai kelompok Druze—menuduh Suriah mendukung Fatah al-Islam. ”Militer Suriah harus menggulung Fatah al-Islam untuk selamanya guna menghalangi (Presiden Suriah Bashar) Assad kembali ke Libanon dan menjadikannya Irak kedua,” kata Jumblatt. Suriah mendominasi politik dan militer di Libanon untuk menghentikan perang saudara. Pasukan Suriah bertahan di Libanon hingga 2005.
Pemimpin Fatah al-Islam, Shaker al-Absi, adalah sahabat Abu Musab al-Zarqawi, bekas pimpinan Al-Qaidah di Irak. Dari situ ia disinyalir sebagai bagian dari jaringan langsung Al-Qaidah. Al-Absi dihukum seumur hidup oleh pengadilan Yordania secara absensia karena bersama Zarqawi mendalangi pembunuhan seorang diplomat Amerika pada 2002.
Pada saat itu Al-Absi justru ditahan di penjara Suriah dengan tuduhan merencanakan serangan teror terhadap pelancong Barat. Namun tahun lalu ia dibebaskan dan kemudian pindah ke kamp Nahr al-Bared bersama pejuang anti-Amerika lainnya. Itulah sebabnya Suriah dituduh berada di balik gerakan militan Fatah al-Islam. Tapi Duta Besar Suriah untuk PBB, Bashar Jaafari, membantah keterlibatan Suriah.
Yang jelas, serangan terhadap kamp Nahr al-Bared membuat pengungsi Palestina di kamp itu menjadi korban. Mereka marah dan membakar ban sebagai protes terhadap serangan militer Libanon. ”Militer bertanggung jawab terhadap apa yang mereka lakukan kepada saya,” ujar Nehal Bashir, 28 tahun. Paha Bashir ditembak militer Libanon. ”Yang mereka jadikan sasaran tak hanya Fatah al-Islam, tapi semua penduduk Palestina di kamp. Mereka lebih jahat daripada militer Israel,” ujar Bashir.
Ketua gerakan Fatah di Libanon, Sultan Abu al-Aynayn, memperingatkan bahwa pengeboman berkepanjangan terhadap kamp Nahr al-Bared dapat memicu perlawanan pengungsi di kamp Palestina lainnya. ”Tak ada rakyat Palestina atau faksi Palestina di Libanon yang rela melihat rakyat Palestina dibantai dalam satu hukuman kolektif seperti yang terjadi di Nahr al-Bared,” ujar Ab Aynayn.
Namun militer Libanon membantah tuduhan bahwa sasaran serangan adalah penduduk sipil pengungsi Palestina. Menurut pernyataan militer Libanon, serangan itu dibutuhkan untuk merespons tembakan dari dalam kamp dengan tingkat presisi tinggi dan dengan senjata yang pantas. ”Komando militer menyelamatkan penduduk sipil, Libanon atau Palestina,” tulis pernyataan itu.
Pemerintah dan militer Libanon menyerahkan kontrol terhadap kamp pengungsi Palestina kepada faksi-faksi Palestina di Libanon sejak 1969. Tapi pengungsi Palestina dianggap sebagai masalah di Libanon, sehingga sering terjebak dalam konflik politik antara Israel, Suriah, dan Palestina. Misalnya, Israel menyerbu Libanon pada 1982 karena Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) menjadikan kantong-kantong kamp pengungsi di Libanon Selatan sebagai markas mereka untuk menyerang Israel. Sejak itu PLO pun terusir dari Libanon, pindah ke Tunisia.
Tapi itu pun belum cukup. Pada 16, 17, dan 18 September 1982 pasukan Israel mengepung kamp Sabra dan Shatila di dekat Beirut. Israel—ketika itu bekas perdana menteri Ariel Sharon menjabat Menteri Pertahanan—membiarkan milisi Kristen Falangis masuk ke kamp. Tujuannya menciduk anggota PLO yang masih berada di dua kamp itu. Tak ada satu orang Palestina pun yang bisa lolos ke luar kamp, dan pembantaian pun terjadi di hadapan mata perwira Israel selama 36 jam. Hasilnya, 3.500 orang tewas, termasuk perempuan dan anak-anak.
Pengepungan masih terjadi di kamp Sabra dan Shatila tiga tahun kemudian. Kali ini dilakukan Suriah lewat sekutunya di Libanon, milisi Amal di bawah pimpinan Nabih Berri, yang kini menjadi ketua parlemen Libanon. Ironisnya, pengepungan itu terjadi pada bulan suci Ramadan, oleh milisi Amal yang berasal dari kelompok Syiah Libanon yang pernah dilatih pejuang Palestina. Saat itu hubungan Suriah dengan Yasser Arafat memburuk. Pengepungan kendur setelah pasukan Suriah campur tangan.
Kini separuh dari 31 ribu penghuni kamp Nahr al-Bared telah keluar menyelamatkan diri sejak gencatan senjata pada Selasa malam pekan lalu. Beberapa membawa bayi dan tas plastik penuh pakaian. Mereka berjalan kaki atau bermobil melewati kedai yang hangus terbakar di jalanan yang penuh pecahan kaca, sampah, dan tikus mati. Tapi ribuan orang masih berada di kamp, mungkin terlalu sakit untuk melarikan diri dari kamp atau takut meninggalkan rumah mereka, dan kini mereka dalam bahaya menjadi korban baku tembak antara anggota Fatah al-Islam dan militer Libanon. ”Banyak yang bertahan di kamp karena takut terhadap militer (Libanon) sekarang,” ujar Fadi Moussa, 27 tahun, guru di sekolah PBB di dalam kamp.
Salah satu yang bertahan, Ahmed Kanaan, 92 tahun. Ia tinggal bersama anak perempuannya yang berusia 37 tahun. ”Kami diperlakukan seperti anjing,” ujar Ahmed, yang terusir dari rumahnya di wilayah Israel yang kini disebut Kota Nazareth pada 1948 setelah perang Arab-Israel.
Raihul Fadjri (Daily Star Libanon, AFP, BBC, AP)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo