KECAMAN sudah datang dari berbagai negara. Israel tampaknya
tetap tidak peduli. Selama tahun ini saja, Dewan Keamanan PBB
sudah sembilan kali mengeluarkan resolusinya yang mengutuk
tindakan negara itu. Namun tak satu pun yang ditaatinya.
Termasuk, resolusi DK-PBB yang mengecam Israel karena memperluas
ibukotanya hingga Yerusalem Timur--wilayah Arab yang didudukinya
sejak perang 1967.
Dalam resolusinya (14 lawan 0, sementara AS blanko) yang
terakhir, DK-PBB juga menghimbau setiap negara yang
kedutaan-besarnya terletak di Yerusalem agar segera dipindahkan.
Tapi "resolusi itu tidak akan bisa mengubah status Yerusalem
sebagai satu kesatuan kota yang tak akan pernah dipisahkan
lagi," demikian pernyataan pemerintah Israel.
Sikap keras Israel ini hampir merupakan ciri khasnya. Bahkan
seruan Jihad (perang suci) yang dikumandangkan Putra Mahkota
Arab Saudi, Pangeran Jihad, untuk merebut kembali Yerusalem
dianggapnya sepele. "Kami tidak kaget dan juga tidak terkejut
mendengar seruan itu. Dan kami sudah tahu bahwa itu merupakan
sikap/Arab Saudi selama 30 tahun ini," ujar Naftali Lavie,
jurubicara Deplu Israel.
Pangeran Fahd dalam suatu wawancara pers pertengahan Agustus
mengatakan bahwa sikap moderat Arab Saudi selama ini terbukti
sia-sia. Dan menurut dia, tindakan Israel itu akan membawa
bangsa Arab dan umat Islam kepada suatu perang suci melawan
keangkuhan kaum Zionis.
Suara yang lebih keras muncul dari Irak. Presiden Saddam Hussein
dalam suatu pidato mengatakan bahwa jawaban yang terbaik
terhadap Israel sekarang ini adalah dengan menjatuhkan bom di
Tel Aviv.
Seorang jutawan Arab Saudi, Sheikh Hassan Abbas Sharbatil, 80
tahun, telah menawarkan bantuan keuangan bagi keperluan makanan
jika perang suci itu dilaksanakan. Ia selama ini juga telah
membantu membiayai gerilya Afghanistan yang melawan tentara
Soviet. Untuk itu Sharbatil telah mengeluarkan uang sebanyak 1
juta riyal (Rp 20 juta) setiap bulan.
Dari Abudhahi, pembantu TEMPO mengutip ulasan harian Al Ittibad:
"Tindakan politik sudah memasuki tahap kearah perang." Namun
koran itu tak lupa mengingatkan negara Arab agar mawas diri.
"Jika negara Arab dapat menyatukan sikap adalah mudah untuk
memobilisir seluruh kekuatan negara Islam," tambahnya.
Tapi Mesir rupanya punya sikap lain. Dikucilkan oleh negara Arab
lainnya sejak pertemuan Camp David, Mesir ternyata tetap ingin
sendirian dalam menghadapi Israel. Bahkan dalam suatu surat
kepada Raja Maroko Hassan II, Presiden Sadat menuduh negara Arab
yang mendorong Israel menguasai kota suci Yerusalem.
Begitu pun hubungan Mesir-Israel selama berlangsung perundingan
masalah otonomi Palestina tidaklah semesra yang dibayangkan
orang (lihat box). Niat Sadat untuk menyelesaikan masalah
Palestina melalui perundingan masih terlihat. Meski pun seruan
perang suci semakin gegap gempita, ia telah menghimbau untuk
diadakannya pertemuan tingkat tinggi segitiga Mesir, Israel dan
AS setelah pemilihan presiden AS, November mendatang.
Kesungguhan Sadat ini bisa dimengerti. Pada masa perang 1967 dan
1973, Mesir paling banyak menderita, bahkan wilayahnya --
Semenanjung Sinai -- sempat di caplok Israel. Namun sikap
Israel akhir-akhir ini mengecewakan Sadat. "Adalah sesuatu yang
menyedihkan bahwa pemimpin Israel tidak percaya pada maksud baik
saya," ujar Sadat kepada wartawan Israel yang mewawancarainya di
Alexandria pekan lalu .
Sadat mengakui ia berbeda pendapat dengan Presiden Jimmy Carter
dalam menghadapi perundingan masalah Palestina. Carter
menginginkan agar perundingan itu terus dilangsungkan. Sementara
itu PM Menachem Begin rupanya tidak melihat pentingnya diadakan
lagi pertemuan segitiga ala Camp David.
Suatu konperensi darurat Menlu Negara Islam akan berlangsung
awal Oktober di New York. Menurut Agha Shahi, Menlu Pakistan
yang juga Ketua Konperensi Islam, sidang itu akan menyusun
program untuk dijadikan bahan dalam pertemuan puncak negara
Islam. Gagasan itu, termasuk soal sanksi yang akan dikenakan
terhadap Israel, diduga akan menentukan masa depan perundingan
Mesir-Israel.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini