KARTIKA hari-hari ini bukan nama yang indah di Indonesia,
melainkan menjengkelkan. Perebutan harta warisan almarhum H.
Thahir di Bank Sumitomo, Singapura, sekitar Rp 21,5 milyar masih
belum menunjukkan titik akhir. Antara Pertamina dengan Nyonya
Kartika Ratna, janda almarhum, perang di pengadilan ini bahkan
menginjak pertempuran baru. Apalagi setelah berbagai pejabat dan
kalangan swasta disebut-sebut Kartika Ratna sebagai menerima
komisi atau ikut main dengan suaminya almarhum 1. Thahir.
Seperti dapat diduga, 14 dari 17 orang pejabat dan swasta yang
disebut Kartika menyangkal ikut mendapatkan komisi baik dari
kontraktor Pertamina atau bisnis lainnya--sebagaimana disebut
Jaksa Agung Ali Said di Sinar Harapan? pekan lalu. Ibnu Sutowo
yang diangap Kartika banyak terlibat dalam kasus suaminya, juga
membantah semua tuduhan itu. Menurut sebuah sumber, bekas
Direktur Utama Pertamina itu mengakui punya deposito di Bank
Sumitomo, tetapi tidak ada hubungannya dengan almarhum Thahir.
Malah Ibnu menuduh bekas asisten umumnya itu menyalahgunakan
wewenang yang diberikan kepadanya. Padahal sebelumnya Ibnu
menganggap Thahir orang kepercayaannya dalam perundingan dengan
kontraktor-kontraktor asing.
Seorang tokoh lain, pengusaha besar Hasyim Ning juga menyangkai.
Ia disebut-sebut oleh Kartika dalam pembelaannya (statement of
defence) yang menghebohkan itu sebagai terlibat dalam usaha
bisnis dengan H. Thahir. Hasyim Ning, yang kini Ketua Umum
Kadin, mengatakan tidak kenal dengan Kartika--bahkan baru
melihat fotonya yang dimuat di majalah TEMPO.
Sangkalan-sangkalan ini, memperkuat alasan Jaksa Agung Ali Said
untuk menuntut Kartika Ratna, dengan tuduhan melakukan fitnah
dan penghinaan terhadap para pejabat Indonesia, bahkan Kepala
Negara dan Ibu Tien Soeharto. Untuk itu Jaksa Agung sudah
memanggil Kartika melalui KBRI di Singapura dan KBRI di Swiss.
Jika tidak datang, Jaksa Agung sudah bertekad untuk mengadili
Nyonya Kartika Ratna itu secara in absentia (tanpa hadirnya
tertuduh).
Tapi tentu saja itu tidak mudah. Seorang ahli hukum yang
mendalami hukum Anglo Saxon geleng kepala "Pemhelaan di sebuah
pengadilan negara Anglo Saxon dilindungi oleh hukum. " Artinya,
yang mengucapkannya dianggappunya kekebalan hukum.
Sementara itu seorang hakim senior di Pengadilan Negeri Jakarta
Pusat mengatakan, persidangan in absentia hanya bisa dilakukan
untuk perkara pidana subversi atau ekonomi, tidak untuk
penghinaan." Kecuali kalau Kartika akan diajukan dengan tuduhan
subversi," kata hakim ini--yang sering ikut mengadili perkara
ini absentia.
Albert Hasibuan, pengacara Pertamina dalam perkara ini
membenarkan pendapat bahwa pembelaan yang diucapkan di
persidangan Singapura itu dilindungi oleh undang-undang
Singapura. " Tetapi di Indonesia, apa yang diucapkan di
persidangan harus berdasarkan hukum," kata Albert Hasibuan.
Maksudnya, setiap tuduhan yang diucapkan dalam sidang pengadilan
harus dibuktikan kebenarannya.
Bukan Cuma Sinyalemen
S. Tasrif, Ketua Peradin (Persatuan Advocat Indonesia) juga
menganggap semua yang diucapkan di persidangan untuk pembelaan
tidak mutlak kebal hukum." Kata Tasrif, yang juga menjadi
pengacara anak-anak H. Thahir dari istri pertama, banyak contoh
untuk kasus ini. Tak jarang pembela dituntut ke pengadilan
karena menghina pihak lawan Seorang tersangka mahasiswa, yang
terlibat dalam perkara penghinaan terhadap Kepala Negara, bahkan
juga akan dituntut karena dalam pledoinya ia dianggap melakukan
penghinaan lagi.
Dalam kasus Kartika, hukum tersebut juga bisa diperlakukan,
walau Kartika mengucapkannya di pengadilan Singapura. Alasannya,
hukum Indonesia melekat pada setiap warga negara Indonesia di
mana saja berada. Apalagi Kartika dalam pembelaannya sudah lebih
jauh dari sekedar memberikan sinyalemen. "Jika ia mengatakan
komisi biasa diterima pejabat Indonesia itu masih wajar, tetapi
kalau sudah menyebut namanama orang, yang disebut bisa
menuntut," kata Tasrif.
Sangkalan-sangkalan pejabat Indonesia dan kalangan swastanya itu
juga akan dipakai oleh Pertamina untuk menjawab pembelaan
Kartika dalam lanjutan perkara di Singapura, bulan depan.
"Posisi kita bertambah kuat dalam perkara itu," kata Albert
Hasibuan tanpa memastikan kemenangan sudah berada di pihak
Pertamina. Pembelaan Kartika itu sama saja dengan "maling teriak
maling" artinya "Tuduhannya bahwa di Indonesia orang lazim
menerima komisi, justru sama dengan membenarkan uang itu hasil
dari komisi," ujar pengacara Pertamina tersebut. Apalagi
Pertamina menuduh, Kartika pernah memberikan kuasa kepala
Ibrahim Thahir, anak sulung Haji Thahir dari istri pertama,
untuk menagih komisi dari seorang kontraktor asing.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini