Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Kartika In-Absentia ?

Kartika M. Thahir dituduh memfitnah dan menghina para pejabat Indonesia sehubungan dengan harta warisan H. Thahir. Jaksa Agung bertekad mengadili Kartika secara in absentia.

30 Agustus 1980 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KARTIKA hari-hari ini bukan nama yang indah di Indonesia, melainkan menjengkelkan. Perebutan harta warisan almarhum H. Thahir di Bank Sumitomo, Singapura, sekitar Rp 21,5 milyar masih belum menunjukkan titik akhir. Antara Pertamina dengan Nyonya Kartika Ratna, janda almarhum, perang di pengadilan ini bahkan menginjak pertempuran baru. Apalagi setelah berbagai pejabat dan kalangan swasta disebut-sebut Kartika Ratna sebagai menerima komisi atau ikut main dengan suaminya almarhum 1. Thahir. Seperti dapat diduga, 14 dari 17 orang pejabat dan swasta yang disebut Kartika menyangkal ikut mendapatkan komisi baik dari kontraktor Pertamina atau bisnis lainnya--sebagaimana disebut Jaksa Agung Ali Said di Sinar Harapan? pekan lalu. Ibnu Sutowo yang diangap Kartika banyak terlibat dalam kasus suaminya, juga membantah semua tuduhan itu. Menurut sebuah sumber, bekas Direktur Utama Pertamina itu mengakui punya deposito di Bank Sumitomo, tetapi tidak ada hubungannya dengan almarhum Thahir. Malah Ibnu menuduh bekas asisten umumnya itu menyalahgunakan wewenang yang diberikan kepadanya. Padahal sebelumnya Ibnu menganggap Thahir orang kepercayaannya dalam perundingan dengan kontraktor-kontraktor asing. Seorang tokoh lain, pengusaha besar Hasyim Ning juga menyangkai. Ia disebut-sebut oleh Kartika dalam pembelaannya (statement of defence) yang menghebohkan itu sebagai terlibat dalam usaha bisnis dengan H. Thahir. Hasyim Ning, yang kini Ketua Umum Kadin, mengatakan tidak kenal dengan Kartika--bahkan baru melihat fotonya yang dimuat di majalah TEMPO. Sangkalan-sangkalan ini, memperkuat alasan Jaksa Agung Ali Said untuk menuntut Kartika Ratna, dengan tuduhan melakukan fitnah dan penghinaan terhadap para pejabat Indonesia, bahkan Kepala Negara dan Ibu Tien Soeharto. Untuk itu Jaksa Agung sudah memanggil Kartika melalui KBRI di Singapura dan KBRI di Swiss. Jika tidak datang, Jaksa Agung sudah bertekad untuk mengadili Nyonya Kartika Ratna itu secara in absentia (tanpa hadirnya tertuduh). Tapi tentu saja itu tidak mudah. Seorang ahli hukum yang mendalami hukum Anglo Saxon geleng kepala "Pemhelaan di sebuah pengadilan negara Anglo Saxon dilindungi oleh hukum. " Artinya, yang mengucapkannya dianggappunya kekebalan hukum. Sementara itu seorang hakim senior di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat mengatakan, persidangan in absentia hanya bisa dilakukan untuk perkara pidana subversi atau ekonomi, tidak untuk penghinaan." Kecuali kalau Kartika akan diajukan dengan tuduhan subversi," kata hakim ini--yang sering ikut mengadili perkara ini absentia. Albert Hasibuan, pengacara Pertamina dalam perkara ini membenarkan pendapat bahwa pembelaan yang diucapkan di persidangan Singapura itu dilindungi oleh undang-undang Singapura. " Tetapi di Indonesia, apa yang diucapkan di persidangan harus berdasarkan hukum," kata Albert Hasibuan. Maksudnya, setiap tuduhan yang diucapkan dalam sidang pengadilan harus dibuktikan kebenarannya. Bukan Cuma Sinyalemen S. Tasrif, Ketua Peradin (Persatuan Advocat Indonesia) juga menganggap semua yang diucapkan di persidangan untuk pembelaan tidak mutlak kebal hukum." Kata Tasrif, yang juga menjadi pengacara anak-anak H. Thahir dari istri pertama, banyak contoh untuk kasus ini. Tak jarang pembela dituntut ke pengadilan karena menghina pihak lawan Seorang tersangka mahasiswa, yang terlibat dalam perkara penghinaan terhadap Kepala Negara, bahkan juga akan dituntut karena dalam pledoinya ia dianggap melakukan penghinaan lagi. Dalam kasus Kartika, hukum tersebut juga bisa diperlakukan, walau Kartika mengucapkannya di pengadilan Singapura. Alasannya, hukum Indonesia melekat pada setiap warga negara Indonesia di mana saja berada. Apalagi Kartika dalam pembelaannya sudah lebih jauh dari sekedar memberikan sinyalemen. "Jika ia mengatakan komisi biasa diterima pejabat Indonesia itu masih wajar, tetapi kalau sudah menyebut namanama orang, yang disebut bisa menuntut," kata Tasrif. Sangkalan-sangkalan pejabat Indonesia dan kalangan swastanya itu juga akan dipakai oleh Pertamina untuk menjawab pembelaan Kartika dalam lanjutan perkara di Singapura, bulan depan. "Posisi kita bertambah kuat dalam perkara itu," kata Albert Hasibuan tanpa memastikan kemenangan sudah berada di pihak Pertamina. Pembelaan Kartika itu sama saja dengan "maling teriak maling" artinya "Tuduhannya bahwa di Indonesia orang lazim menerima komisi, justru sama dengan membenarkan uang itu hasil dari komisi," ujar pengacara Pertamina tersebut. Apalagi Pertamina menuduh, Kartika pernah memberikan kuasa kepala Ibrahim Thahir, anak sulung Haji Thahir dari istri pertama, untuk menagih komisi dari seorang kontraktor asing.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus