SETELAH dalam seminggu dua kali dipanggil Raja Bhumibol Adulyadej ke Istana Chitralada, Bangkok, terakhir Jumat malam pekan lalu, Perdana Menteri Suchinda Kraprayoon akhirnya mundur juga dari kursi kepala pemerintahan Muangthai. Ia memang tak punya pilihan lain setelah kelima partai koalisi yang selama ini mendukung pemerintahannya berubah sikap sesudah dua kali pertemuan di istana itu, dan menyetujui pelaksanaan amandemen Konstitusi 1991 sesuai dengan tuntutan kelompok oposisi. "Ia bertanggung jawab atas tragedi yang menelan 40 korban jiwa," kata Menteri Luar Negeri Pongpol Adireksarn, yang tersedu-sedu minta orang kuat tersebut mengundurkan diri. Ketidaksenangan sebagian penduduk terhadap Suchinda, yang melesat menjadi perdana menteri tanpa ikut pemilu seperti selama ini, sebenarnya sudah terpendam lama. "Kami tak mau bekerja sampai Suchinda turun," kata Pisan Issaraprasarat, 26 tahun, yang sehari-hari hidup sebagai buruh kasar di Bangkok. Adapun sejumlah pengusaha muda memperlihatkan ketidaksukaan mereka dengan mengacau jaringan telekomunikasi pemerintah lewat pesawat handytalky dan telepon mobil mereka. Tak heran, begitu Suchinda menyampaikan pengunduran dirinya sebagai perdana menteri, rakyat menyambutnya dengan perasaan lega. Meski tanda-tanda ke arah itu sudah terlihat dengan dicabutnya pemberlakuan jam malam di Kota Bangkok, tak lama setelah Suchinda dan tokoh oposisi Chamlong Srimuang dipanggil Raja Bhumibol ke Istana Chitralada, Rabu pekan lalu, toh penduduk masih saja harapharap cemas menunggu keputusan partai koalisi yang memerintah tentang nasib tokoh yang mereka dukung tersebut. Penduduk khawatir kalau-kalau Partai Chart Thai, salah satu pemenang utama pemilu lalu dan dikenal dekat dengan militer, tetap bersikukuh mempertahankan Suchinda. Maka, begitu Pongpol Adireksarn, tokoh Chart Thai, menyebut Suchinda sebagai orang yang bertanggung jawab atas jatuhnya korban dalam demonstrasi berdarah di Jembatan Paan Fah, Bangkok, minggu lalu itu, tamat sudah impian yang dibangun sang perdana menteri sejak tahun silam. Tahun 1991, ketika menjabat sebagai ketua Dewan Pemulihan Keamanan Muangthai, Suchinda waktu itu juga merangkap panglima angkatan bersenjata merekayasa pembentukan Konstitusi 1991, yang memungkinkan seorang yang bukan anggota legislatif menjabat sebagai perdana menteri. Itu sebabnya, sewaktu perdana menteri terpilih Narong Wongwan, kandidat Partai Samakhitam, dihebohkan terlibat industri narkotik, orang tak begitu kaget ketika lima partai pemenang yang berkoalisi mendukung Suchinda sebagai orang kuat pengganti. Penunjukan Suchinda sebagai kepala pemerintahan baru, yang kemudian dikukuhkan oleh Raja Bhumibol, tampak dilakukan dengan taktik militer yang cukup mengagumkan. Betapa tidak. Pengumumannya dilakukan pada 6 April, saat Kota Bangkok sedang libur, karena hari itu hari jadi kerajaan dinasti Chakri. "Kami betul-betul kebobolan," kata Prinya Thevanarumitkul, sekjen Federasi Mahasiswa Muangthai, yang waktu itu tak sempat menggalang aksi protes bersama kelompok oposisi. Pengangkatan Suchinda itu bagi Prinya sudah menyalahi prinsip. Jika satu partai koalisi gagal membentuk pemerintahan baru mestinya kesempatan diberikan kepada pemenang berikutnya -- dalam hal ini bekas Pangab Jenderal Chavalit Yongchaiyudh -- dari Partai Aspirasi Baru. Maka, Arun Promthep, wakil ketua partai oposisi Palang Dharma, terang-terangan menyebut pengangkatan Suchinda sebagai "tindakan untuk mempertahankan kekuasaan militer dalam politik." Kalangan terpelajar dan mahasiswa Muangthai memang dikenal tak begitu suka dengan militer. Tak heran jika dalam demonstrasi minggu lalu ada mahasiswa yang nekat melempari pasukan yang tengah duduk beristirahat setelah mengamankan kota dengan bom molotov. "Ayo kalau berani, tembak!" teriak Narumon Siriratvarasa, 21 tahun, mahasiswi jurusan akunting, sambil berlari di depan seorang tentara yang membidikkan senjatanya ke kerumunan orang. Masuk akal bila tentara terpancing panas, dan kemudian menelurkan peristiwa berdarah di Jembatan Paan Fah, Bangkok, yang merenggut 40 jiwa demonstran itu. Untung, Raja Bhumibol segera turun tangan menghentikan insiden berdarah yang menghiasi lembaran hitam sejarah Muangthai itu dengan memanggil Suchinda dan Chamlong. "Saya menitahkan kalian berdua agar segera mengakhiri konflik yang mampu memporak-porandakan kerajaan ini," katanya kepada kedua tokoh yang bersimpuh di hadapannya itu. Maka, seusai pertemuan Rabu siang pekan lalu itu, Chamlong, yang sempat ditahan militer dua hari, langsung berseru melalui televisi kepada pengikutnya: "Saya minta kepada seluruh pendukung saya agar menghentikan semua bentuk kekerasan." Sementara itu, Suchinda menyatakan kesediaan untuk melakukan perubahan Konstitusi 1991 dalam waktu dekat. Esoknya, 3.000 demonstran yang ditahan pada saat kerusuhan di Jembatan Paan Fah dibebaskan sekitar 1.000 orang di antara mereka yang dilepaskan dari Penjara Klong Prem masih mengenakan baju berlumur darah. Selain itu, beberapa tokoh oposisi yang dikenai tahanan rumah sudah diizinkan kembali bepergian. Mengapa Suchinda sampai memberlakukan keadaan darurat dan menurunkan tentara bersenjata lengkap untuk mengatasi demonstrasi pendukung oposisi? "Kami terpaksa menggunakan kekerasan karena situasi tak terkendali," ujarnya, seperti dikutip harian pemerintah, Bangkok Post. Tentang korban 40 tewas dan 400 orang luka-luka, menurut seorang perwira yang ditugasi mengamankan Bangkok, sesungguhnya tentara tidak siap untuk menangani huru-hara tersebut. "Kami tak punya cukup gas air mata untuk membubarkan kerumunan massa, sehingga terpaksa memakai peluru tajam," kata perwira tersebut. Langkah pengamanan lain yang dilakukan tentara adalah mengejar dan menangkap orang-orang yang dicurigai. Berbekal dekrit Suchinda, tentara di bawah pimpinan KSAD Jenderal Issarapong, adik ipar sang perdana menteri, melakukan aksi pembersihan di Bangkok. Royal Palace Hotel, yang menjadi tempat berlindung para demonstran, digerebek. Setiap pintu kamar hotel digedor dengan sepatu lars atau popor bedil. Kebrutalan tentara terlihat Selasa malam pekan lalu, ketika seorang wartawati lokal dijambak rambutnya dan diseret ke luar kamar. Setelah wartawati itu menunjukkan kartu pengenalnya, tentara tersebut melepaskan jambakannya dan mengeloyor pergi tanpa minta maaf. Hasil penggerebekan malam itu, sekitar 3.000 demonstran yang terlibat dalam aksi protes antipemerintah ditangkap. Dengan tangan terikat baju masing-masing, mereka diangkut menuju ke beberapa penjara yang tersebar di Bangkok. Sementara, pemimpin oposisi Chamlong Srimuang, yang dituduh menjadi biang keladi demonstrasi, diborgol dan dijebloskan ke dalam sel di kompleks Pusat Latihan Polisi, Bangkok. Langkah pencegahan lain agar kerusuhan mereda, tentara memberlakukan jam malam di Bangkok mulai pukul 21.00 hingga 04.00. Sejumlah tokoh oposisi dikenai tahanan rumah, tiga koran lokal dilarang terbit selama tiga hari, termasuk koran terkemuka The Nation, karena menyiarkan gambar-gambar insiden berdarah Jembatan Paan Fah, dan semua organisasi politik dan organisasi massa dilarang melakukan kegiatan. "Kami dianggap mengganggu kestabilan nasional," ujar Nopon Tungkarat, pemimpin redaksi Naew Na, yang juga mendapat peringatan. Atas terkaparnya sejumlah demonstran diterjang peluru petugas keamanan, sejauh ini baru Malaysia dan Singapura yang menyayangkan penggunaan militer oleh Suchinda. "Tragedi itu sekali lagi membuktikan bahwa demokrasi dan militerisme tak bisa dicampur aduk," tulis harian The New Straits Times, pembawa suara pemerintah Malaysia. Sedangkan Sekjen Departemen Luar Negeri Malaysia, Ahmad Kamil Jaafar, menyiratkan kekhawatirannya tentang kemungkinan bahwa peristiwa berdarah di Jembatan Paan Fah berdampak buruk terhadap pertumbuhan ekonomi negara-negara anggota ASEAN. Kekhawatiran itu agaknya cukup beralasan. Akibat peristiwa berdarah itu saja, Muangthai menderita kerugian US$ 1 milyar. Pendapatan dari sektor pariwisata yang dianggarkan US$ 5 milyar diperkirakan tercapai sepertiganya, karena pemerintah Amerika Serikat, Inggris, dan Australia telah meminta warganya agar tak berkunjung ke Muangthai. Selain itu, investasi asing di Muangthai, yang diharapkan mencapai US$ 5 milyar pada akhir tahun ini, juga bakal terancam karena pemerintah Jepang meminta para investor mereka agar berhati-hati menanamkan modal. Padahal, investasi Jepang di Muangthai mencapai US$ 1 milyar lebih terbesar di antara investor negara lain. "Minimal dampaknya sampai akhir tahun ini," kata Mingsarn Kaosaard dari Institut Riset dan Pembangunan Muangthai. Tindakan kekerasan yang dilakukan pemerintahan Suchinda, menurut sejumlah pengamat, merupakan kesalahan yang sangat besar. Bagaimana tidak? Kedudukan Suchinda sebagai perdana menteri, secara konstitusional, sebenarnya sangat kuat. Berdasarkan Konstitusi 1991 yang tak menyebutkan seorang perdana menteri harus anggota parlemen posisi Suchinda tak dapat diganggu gugat. Apalagi jika dilihat mayoritas kursi di parlemen dikuasai kelima partai koalisi pendukung pemerintahan Suchinda. Maka, kedudukan oposisi bisa dikatakan sangat lemah. "Bagaimana mungkin kami memperoleh dukungan 316 suara agar amandemen itu gol, bila mereka menguasai parlemen. Lihat saja 70% kursi di senat sudah diduduki militer," kata Surin Pitsuwan, anggota oposisi dari Partai Demokrat. Jika demikian halnya, mengapa KSAD Jenderal Issarapong Noonpakde memerintahkan penembakan yang bisa meruntuhkan kedudukan kakak iparnya? Menurut analis politik terkemuka di Bangkok, Sukhumband Paribatra, tindakan penembakan itu mencerminkan betapa lemahnya lembaga kemiliteran di Muangthai. "Tingkah laku militer dalam insiden itu bukanlah ciri sebuah lembaga militer yang kuat dan percaya diri," katanya. Sukhumband menambahkan, sejak Suchinda melakukan kudeta tahun lalu, kelompok militer telah kehilangan kontrol dalam pemerintahan Muangthai. Sebenarnya Suchinda ingin mengulang sukses pendahulunya, Jenderal Prem Tinsulanonda, yang berhasil menjadi perdana menteri melalui kudeta militer pada 1981. Selama tujuh tahun pemerintahan Prem, ekonomi Muangthai maju pesat dan kestabilan politik terjaga. Terjaminnya kestabilan itu berkat peranan Prem yang mampu membina hubungan baik dengan tokoh-tokoh partai politik waktu itu. Sayangnya, kelebihan itu tak dimiliki Suchinda. Lulusan angkatan ke5 Akademi Militer Chulachomklao yang kurang mengenal politik ini lebih percaya pada kekuatan disiplin militer dan senjata. "Ia ingin dikenal sebagai figur pemerintahan, tapi tangannya tak mau dikotori politik," kata seorang pengamat. Buktinya, selama tiga hari krisis di Bangkok, Suchinda lebih banyak berada di markas besar angkatan bersenjata ketimbang di kantor perdana menteri. Ia lebih suka berdiskusi dengan Issarapong atau Pangab Jenderal Kaset Rojananil daripada dengan pemimpin lima partai koalisi yang mengangkatnya jadi perdana menteri. Ketika militer pendukung Suchinda merasa terancam oleh aksi demonstran, lalu mereka menggunakan senjata untuk menumpas gerakan antipemerintah tersebut. Sementara itu, kelompok moderat di kalangan militer melihat taktik main gebuk itu sebagai langkah yang salah. Tak heran bila kemudian santer terdengar adanya komplotan militer yang berniat menggulingkan Suchinda dari kursi perdana menteri. Nama yang disebut-sebut di belakang pasukan yang diturunkan dari pangakalan Nakhon Ratchasima, sebelah utara Bangkok, adalah Pangab Jenderal Kaset Rojananil, salah seorang dari tiga serangkai penggerak kudeta 1991. Belakangan, kabar itu dibantah Kaset. Meski tak diketahui jumlahnya, pasukan dari Utara itu dikenal sebagai pendukung setia Prem, yang masih populer di kalangan militer, dan Chaovalit. Kedua jenderal pensiunan ini adalah lulusan angkatan ke-7 Akademi Militer Chulachomklao yang sudah lama berselisih dengan perwira lulusan angkatan ke-5, seperti Suchinda. Kontak senjata dikabarkan sempat terjadi antara kedua kelompok tentara ini. Untunglah pertempuran segera padam begitu Raja Bhumibol muncul di layar televisi dan menitahkan untuk segera menghentikan semua konflik. Sementara itu, suara sumbang mulai terdengar dari kubu oposisi. Insiden di Jembatan Pan Faah, kata mereka, sebenarnya bisa dihindarkan apabila Chamlong tak mengotot melanjutkan aksi protes ke wilayah pemerintahan -- Tamnyap Rattahaban. "Mengapa ia tak puas dengan aksi protes di Sanam Luang saja, padahal kehadiran 200.000 pendukung di sana sungguh mengesankan perhatian dunia," kata Surin Pitsuwan, anggota oposisi dari Partai Demokrat. Sejumlah pengamat memperkirakan Chamlong bertindak nekat karena tak punya pilihan lain. Bekas Gubernur Bangkok itu konon merasa kehilangan muka setelah tak menepati janji berpuasa sampai mati. Maka untuk memperbaiki citranya, menurut seorang tokoh oposisi, Chamlong melakukan konfrontasi dengan Suchinda agar ditangkap pihak penguasa. "Sebagai tahanan politik, kepercayaan rakyat akan kembali mendukungnya," kata Surin. Sikap keras Chamlong melawan Suchinda dinilai pengamat lain, berpangkal pada persaingan antara koalisi lima partai dan pihak oposisi dan akhirnya bermuara pada permusuhan keduanya. Itu tersirat ketika Raja Bhumibol memanggil mereka ke Istana Chitralada. "Kalian mungkin heran mengapa hanya kalian berdua saja yang saya panggil kemari. Padahal banyak pihak lain yang juga terlibat dalam masalah ini," kata Raja Bhumibol. "Kalian saya minta datang karena pertengkaran kalian berdua menyebabkan konfrontasi berkembang menjadi pertempuran yang menewaskan banyak korban." Adegan raja memarahi kedua jenderal selama 15 menit itu, yang kemudian disiarkan televisi, disaksikan hampir seluruh penduduk. Rakyat sebetulnya mengharapkan Raja Bhumibol mengeluarkan maklumat yang minta Suchinda mengundurkan diri. Namun, itu tak terjadi. "Raja tak akan terjun ke dalam politik selama hal itu bisa ditanggulangi," kata seorang pengamat Barat di Bangkok. Raja Bhumibol, menurut konstitusi, tidak punya wewenang mencampuri urusan pemerintahan. Tapi melalui Dewan Penasihat Raja yang beranggotakan sepuluh orang, di antaranya bekas Perdana Menteri Prem Tinsulanond dan dan Sanya Dharmasakdi, Raja Bhumibol berhasil membuat Suchinda bersedia mengundurkan diri. "Ia tersingkir dengan cara terhormat meski harus mengorbankan puluhan korban jiwa," seorang diplomat asing bertutur. Setelah Suchinda mundur, perubahan Konstitusi 1991 yang dituntut oposisi bisa dipastikan akan berjalan mulus. "Kelima partai koalisi secara bulat memutuskan untuk melaksanakan amandemen bagi perubahan konstitusi," kata Montree Pongpanit, anggota Partai Aksi Sosial, yang berkoalisi mendukung Suchinda. Dengan emikian perubahan konstitusi, yang menyebut perdana menteri harus dipilih dari salah seorang anggota parlemen, bisa dipastikan gol. Lalu siapa yang bakal jadi pengganti Suchinda? Sekalipun nama Chaovalit Yongchaiyudh disebut-sebut sebagai calon kuat, lima partai koalisi kelihatannya sulit untuk menerimanya. Mereka mencurigai Chaovalit terlalu berambisi menguasai kelompok militer. Sukhumband Paribatra, seorang pengamat politik, menyarankan agar pengganti Suchinda adalah orang netral. "Pokoknya, seseorang yang bisa diterima dan dihargai semua pihak," katanya. Sukhumband menjagokan bekas Perdana Menteri Anand Panyarachun sebagai care taker selama enam bulan dengan tugas agar amandemen konstitusi bisa dilaksanakan, parlemen dibubarkan, dan mengadakan pemilu sekali lagi. Setelah Suchinda mundur, besar kemungkinan Pangab Jenderal Kaset Rojananil dan KSAD Jenderal Issarapong Noonpakde ikut dicopot. Akibatnya, dekrit pengampunan bagi seluruh personel militer yang terlibat dalam insiden berdarah lalu disampaikan Suchinda sebelum mundur kecil kemungkinannya disetujui parlemen. Bahkan kini yang santer terdengar Kaset dan Issarapong akan diadili oleh mahkamah militer -- keduanya dianggap bertanggung jawab atas tewasnya 40 demonstran. Segera setelah Suchinda mundur, kehidupan di Bangkok kembali normal seolaholah peristiwa berdarah di Jembatan Paan Fah tak pernah terjadi. Mungkinkah rakyat Muangthai mulai apatis? Sulit ditebak. Yang pasti militer, menurut Thirayuth Boonmee (dosen Ilmu Politik pada Universitas Thammasat, Bangkok), masih akan mendominasi panggung politik di masa datang. "Untuk sementara waktu, mereka akan bersikap lowprofile," katanya. Thirayuth menambahkan, sikap itu diperlukan dalam saat seperti sekarang ini mengingat rakyat masih menyimpan kebencian akibat insiden berdarah pekan lalu. "Saya yakin mereka bakal muncul kembali. Mungkin dengan cara yang lain," ujar Thirayuth, yang dikenakan tahanan rumah oleh pihak militer, pekan lalu. Hanya saja, lanjutnya, mereka butuh waktu, baru mulai lagi, seperti halnya terjadi dalam setiap kudeta. Selain itu langkah militer di masa mendatang, menurut Thirayuth, akan lebih terselubung. Mereka tak lagi memaksakan diri terangterangan seperti sekarang tapi akan melalui jalan konstitusi. "Mereka ak mungkin menempuh jalan seperti yang dilakukan Suchinda," katanya. Militer memang telah menyiapkan wadah: Partai Samakhitam. Sementara militer menahan diri, kata Thirayuth, sekarang ini merupakan saat paling tepat bagi partai-partai politik memperkuat organisasi dan meraih pengaruh dari masyarakat. Selama ini hampir semua parpol tak memiliki akar yang kuat di masyarakat. "Parpol biasanya bersatu pada waktu pemilu saja. Tokoh-tokohnya seperti kutu loncat, berpindah dari satu partai ke partai lain. Mana mungkin satu partai bisa kuat?" ujar Surin. Kekurang-kompakan pengurus partai itu ditambah lagi dengan banyaknya kasus korupsi, menurut anggota partai oposisi ini, mendorong militer melakukan kudeta dengan dalih mengamankan kepentingan nasional. Hanya saja setelah berdarah pekan lalu itu, menurut sumber-sumber di Istana Chitralada, Raja Bhumibol makin terbuka melihat kekejaman tentara setelah menyaksikan adegan-adegan mengerikan yang dipancarkan televisi. Raja Bhumibol, kata Banyat Tasaneejavej (wartawan politik kawakan harian Bangkok Post), hampir dipastikan akan memenuhi keputusan parlemen. Untuk mengisi kekosongan yang ditinggalkan Suchinda, Raja Bhumibol telah menunjuk Meechai Ruchupan sebagai kepala pemerintahan sementara. Ia, menurut konstitusi, berhak menduduki jabatan itu karena merupakan salah seorang dari lima wakil perdana menteri -- kecuali jika parlemen mengajukan nama lain. Sedangkan untuk ketua oposisi telah ditunjuk Ketua Partai Harapan Baru, Chaovalit Yongchaiyudh. Adakah ini akan membuat Bangkok tak lagi diguncang aksi kelompok prodemokrasi maupun upaya kudeta militer? Siapa tahu. Didi Prambadi (Jakarta) dan Yuli Ismartono (Bangkok)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini