SETIAP ada krisis di Bangkok, Sukhumband Paribatra, ahli politik dari Universitas Chulalongkorn, termasuk orang paling sibuk. Penasihat politik luar negeri pada masa pemerintahan Perdana Menteri Chatichai Choonhavan ini selalu dimintai pendapat oleh berbagai kalangan. Kamis pekan lalu, tak lama setelah Raja Bhumibol Adulyadej tampil di televisi untuk meminta agar rakyat tenang, Sukhumband menerima Yuli Ismartono dari TEMPO untuk sebuah wawancara. Petikannya: Bagaimana peranan Raja dalam politik Muangthai? Apa saja batasan kekuasaan Raja menurut konstitusi? Raja tak mempunyai kekuasaan melakukan perubahan atau mengajukan sesuatu yang menyangkut kebijaksanaan nasional. Raja hanya memperhatikan tiga hal, yakni menciptakan kestabilan dalam masyarakat, menjaga agar tak ada korban jatuh, dan minta agar tak ada gerakan atau kelompok yang mengancam lembaga kerajaan. Berdasarkan ketiga hal itulah saya heran mengapa Raja menunggu sekian lama untuk tampil. Mungkin jawaban yang paling mudah adalah beliau pada saat itu tak berada dalam posisi untuk ikut campur dalam krisis pekan lalu. Sebenarnya, bagaimana hubungan Raja dengan militer? Sejak Kerajaan Chakri melakukan pembaruan di akhir abad ke-19, hubungan militer dengan kerajaan erat sekali. Eratnya hubungan itu karena militer memerlukan peranan kerajaan sebagai pemersatu. Lagi pula, kedua lembaga tersebut memegang kekuasaan sehingga saling membutuhkan. Hal ini bisa dilihat di desa-desa. Untuk melaksanakan proyek-proyeknya, Raja memerlukan organisasi, tenaga kerja, serta peralatan yang dimiliki militer. Hubungan erat inilah yang meletakkan posisi Raja ke dalam suatu dilema. Di satu pihak Raja tak boleh memihak pada satu golongan, tapi tak bisa disangkal bahwa antara kerajaan dan militer terjalin hubungan yang istimewa. Putri Maha Chakri Sirindhorn mengajar di Akademi Militer Chulachomklao. Mungkin itu sebabnya Raja tak bisa segera bertindak memadamkan konflik yang pekan lalu? Itu benar. Di satu pihak beliau berhubungan erat dengan militer, sementara di pihak lain beliau adalah raja seluruh rakyat. Seingat saya, hanya sekali Raja pernah memaksakan kehendaknya kepada militer, yaitu ketika militer terpecah belah dalam peristiwa 1973 -- soal penanganan demonstrasi mahasiswa. Kira-kira siapa yang pantas menggantikan Suchinda sebagai perdana menteri? Apakah ada tokoh militer atau sipil seperti (bekas) PM Prem Tinsulanonda yang mampu mempersatukan masyarakat Muangthai? Dalam suasana seperti sekarang ini, pengganti Suchinda haruslah orang yang netral, seperti bekas PM Anand Panyarachun. Menurut saya, Suchinda ingin meniru keberhasilan Prem. Namun, kedua orang itu berbeda sama sekali. Prem tak pernah melakukan kudeta, sementara Suchinda memimpin kudeta tahun lalu. Prem memang mengambil kekuasaan karena didukung militer, tapi ia diterima tokoh-tokoh politik. Sebaliknya Suchinda. Ia membentuk kerangka konstitusi yang memungkinkan dirinya menjadi perdana menteri. Sementara itu, toleransi yang diberikan masyarakat disalahtafsirkan oleh Suchinda. Maklum, tak ada yang melawannya ketika ia melakukan kudeta tahun lalu. Ia hanya berpendapat segala keberhasilan dan kegagalan terletak pada kemampuan senjata untuk meraih kekuasaan. Padahal, tuntutan rakyat lain sama sekali. Golongan kelas menengah semakin besar. Mereka tak mau menerima penyalahgunaan kekuasaan begitu saja. Itulah kesalahan besar yang dibuat Suchinda. Maksud Anda, militer gagal mengikuti perkembangan sosial masyarakat Muangthai? Tepat. Lembaga militer tidak pernah memandang keperluan mereka lebih dari apa yang sudah digariskan doktrin kemiliteran. Memang diakui, banyak perwira muda yang sikapnya berbeda dengan para pendahulunya. Mereka lebih profesional. Namun, selama dasar pemikiran masih berpijak pada kekuasaan sebagai garis besar, saya kira perubahan tak mungkin terjadi di kalangan militer. Bagaimana dengan kemungkinan terjadinya kudeta yang santer terdengar belakangan ini? Rakyat Muangthai tak pernah menghapuskan kemungkinan adanya kudeta. Kudeta yang dilakukan Suchinda tahun lalu itu didorong oleh makin besarnya kasus korupsi yang dilakukan tokoh-tokoh politik, selain tidak mampunya (PM) Chatichai menangani masalah ini. Salah satu faktor penting yang menjadi latar belakang kudeta tahun lalu adalah tampilnya lulusan angkatan ke-5 Akademi Chulachomklao sebagai suatu kelompok. Dalam sejarah akademi militer belum pernah ada kelompok sebesar dan sekuat mereka. Banyak anggotanya menduduki posisi penting dalam jajaran angkatan bersenjata. Ini tak pernah terjadi sebelumnya dan di masa mendatang. Itulah kehebatan mereka sehingga para perwira lulusan angkatan ke-5 berani menentang kekuasaan para tokoh politik. Mungkinkah lulusan angkatan ke7 mampu melakukan kudeta? Angkatan yang dikenal sebagai "Turki Muda" ini pernah kuat. Namun, setelah kudeta 1979 dan 1985, mereka kehilangan kekuatan. Ada pula kemungkinan kudeta angkatan lainnya, tapi tak ada yang berhasil, seperti kelompok angkatan ke-5. Kalau begitu, Anda yakin tak akan terjadi kudeta lagi? Selama angkatan ke-5 masih aktif dalam panggung politik, kemungkinan itu selalu ada. Tapi, begitu kelompok ini hilang, saya kira kudeta tak akan terjadi lagi. Dan kami akan menuju ke gerbang demokrasi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini