INSIDEN berdarah di Jembatan Paan Fah tak hanya mencoreng wajah militer Muangthai tapi juga wajah dedengkot oposisi Chamlong Srimuang. Beberapa saat setelah pengumuman pengunduran diri Suchinda, Ahad pekan lalu, Raja Bhumibol Adulyadej langsung menunjuk Chaovalit Yongchaiyudh sebagai ketua oposisi menggantikan Chamlong. Penunjukan bekas perdana menteri dan ketua Partai Harapan Baru itu tak mengagetkan banyak orang. Hampir seluruh warga Muangthai maklum bahwa insiden yang minta 40 nyawa di Jembatan Paan Fah, di jantung Kota Bangkok, pekan lalu, tak terlepas dari peran Chamlong. Adalah atas ajakan tokoh puritan yang kini menyembunyikan diri itu massa bergerak melanjutkan aksi protes ke kantor perdana menteri di Tamnyap Ratthaban. Jatuhnya korban jiwa yang demikian banyak, kata Surin Pitsuwan, anggota Partai Harapan Baru, bisa dihindari bila saja Chamlong tetap berada di Taman Sanam Luang. Di tempat seluas itu, lanjutnya, tentara tak bakal menembaki massa. "Entah kenapa Chamlong tak puas dengan aksi protes di Sanam Luang saja," ujar Surin. Ia menambahkan, kalau hanya ingin untuk menarik perhatian internasional, kehadiran 200.000 pemerotes sebetulnya sudah cukup mengesankan dunia. Chamlong rupanya punya skenario sendiri. Malam nahas itu mayor jenderal pensiunan tersebut naik panggung bersama enam pendukungnya di Taman Sanam Luang lalu membakar massa dengan kata-kata yang bombastis. "Demokrasi bakal menang. Kita akan berhasil," katanya berapiapi. Merasa belum puas, Chamlong pindah ke bagian lain taman dan berpidato lagi. "Suchinda bilang, kita tak akan bertahan lama," katanya dari mobil Toyota HiAce yang dijadikan panggung berjalan. "Karena itu mari kita lanjutkan aksi protes ke kantor Suchinda untuk membuktikan ucapannya tersebut." Usai kalimat itu, massa pun bergerak ke kawasan yang dijadikan sasaran oleh Chamlong. Mobil yang membawa bekas gubernur Bangkok itu bergerak perlahan karena tertahan massa yang mengelu-elukannya. Begitu tiba di ujung Jembatan Paan Fah, massa sudah dihadang kesatuan polisi dan tentara bersenjata lengkap. Kontak fisik tentu saja tak terelakkan. Lalu senjata pun menyalak dengan arah membabi-buta. Chamlong, yang masih berada sekitar 500 meter dari tempat kejadian, terkejut dan panik. Ia tak menyangka petugas keamanan akan berlaku keras seperti itu. Lalu ia berteriak-teriak mengimbau polisi dan tentara menghentikan pembantaian. "Hentikan tembakan! Hentikan! Stop! Stop!," ujarnya melalui pengeras suara. Tapi suara jenderal tua itu tenggelam ditelan teriakan massa dan suara tembakan. Petugas keamanan yang sudah kerasukan marah itu terus saja menembaki massa. Esoknya Chamlong, yang dalam keadaan lelah dan tertekan, diciduk petugas dari gerombolan demonstran. Tiga partai oposisi (NAP, Partai Demokrat, dan Partai Solidaritas) yang jadi sekutu Partai Palang Dharma, partai Chamlong, sebetulnya tak begitu setuju dengan aksi kekerasan untuk menekan partai koalisi yang memerintah. Mereka menghendaki perubahan konstitusi, yang memperkuat kedudukan militer di pemerintahan, melalui perdebatan di parlemen. Namun, Chamlong sulit untuk diyakinkan. Lulusan angkatan ke-7 Akademi Militer Chulachomklao itu pernah diskors gara-gara mengkritik pimpinan militer yang korup, lebih suka menempuh jalan sendiri -- melakukan mogok makan (rencana semula sampai mati, tapi tak jadi) setelah gagal menempuh jalan damai di parlemen, dan kemudian menggerakkan massa. Ia memang berambisi besar menggulingkan lawan bebuyutannya, Suchinda, dari kursi perdana menteri. Tanpa berkonsultasi dengan kelompok oposisi lainnya, Chamlong membentuk Konfederasi Demokrasi (terdiri atas tujuh kelompok organisasi nonpemerintah, serikat buruh, dan organisasi mahasiswa) untuk mengkoordinasikan aksi protes di Taman Sanam Luang. "Mereka memaksa diberi wewenang penuh untuk berdemonstrasi sendiri. Sementara itu, partai oposisi lainnya diminta sebagai penasihat saja," ujar Surin Pitsuwan. Merasa berdosakah Chamlong setelah tahu 40 demonstran mati diterjang peluru? "Saya tegaskan bahwa bukan saya penyebab terjadinya insiden yang minta banyak korban itu," tutur penganut aliran Ahimsa (ajaran antikekerasan dari Mahatma Gandhi) itu. Ia malah melemparkan kesalahan kepada Konfederasi Demokrasi. Sebetulnya Chamlong, kata ahli politik Sukhumband Paribatra, bermaksud memperbaiki citra (setelah tak menepati janji untuk mogok makan sampai mati) dengan menggerakkan massa itu. "Soalnya, ia tak punya pilihan lain," lanjut Sukhumband. Pengajar Ilmu Politik pada Universitas Chulalongkorn itu menambahkan, Chamlong tak menduga Suchinda akan menurunkan tentara dan memerintahkannya melakukan tembak di tempat terhadap demonstran. Kini Chamlong, yang hidup bagai setengah pertapa (menjauhi halhal duniawi, seperti tak makan daging dan tak melakukan hubungan seks) mengurung diri di suatu tempat, dan menghindari publikasi. Ia tak lagi tampak bersama tokoh oposisi yang mengenakan pita hitam di lengan baju mereka ketika anggota parlemen melakukan perdebatan tentang amnesti umum Senin siang minggu ini. Ia juga tak kelihatan di tengah kerumunan 3.000 massa yang menyesaki halaman gedung parlemen sambil meneriakkan kata-kata tuntutan terhadap Suchinda dan pimpinan militer, "Tak ada tempat bersembunyi bagi pembunuh!" Tampaknya kata-kata itu juga ditujukan pada Chamlong yang telah menggiring demonstran ke medan pembantaian Jembatan Paan Fah. DP dan YI
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini