Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Unggahan berisi dua kalimat dengan sebuah tautan berita itu masih terpampang pada akun Facebook aktivis Singapura, Jolovan Wham. Sejak mengunggahnya pada 27 April 2018, pria 39 tahun ini tidak pernah berniat menghapus tulisan yang telah menyulut reaksi penegak hukum Negeri Singa tersebut.
Wham menuliskan bahwa pengadilan Si-ngapura tidak independen seperti Ma--lay-sia dalam kasus-kasus dengan implikasi politik. Dia menyertakan tautan ke artikel di portal berita online Malaysiakini, yang mengajukan gugatan uji materi terhadap Un-dang-Undang Anti-Berita Bohong ka--rena aturan itu dianggap melanggar hak ke-bebasan sipil dan kebebasan ber-pen-dapat yang dijamin dalam konstitusi Ma--laysia.
Akibat tulisannya itu, Wham berurusan dengan hukum. Jaksa Agung menilai dia telah menghina pengadilan Singapura. Jaksa menjeratnya dengan Undang-Undang Perlindungan Administrasi Peradilan. Dia di-seret ke meja hijau dan dinyatakan ber-salah pada 9 Oktober tahun lalu.
Jaksa, dalam tuntutan hukumannya, bulan lalu, telah meminta pengadilan me-me-rintahkan Wham meminta maaf dan men-copot tulisannya di Facebook. Tapi Wham menolak keduanya. Akibatnya, hakim pengadilan tinggi Woo Bih Li men-jatuhkan hukuman denda senilai Rp 52,5 juta kepada Wham pada Senin, 29 April lalu. Hakim menilai Wham tidak menunjukkan penyesalan atas tulisan yang diunggahnya dan menolak meminta maaf atas unggahan tersebut.
Tak terima dengan putusan pengadilan, Wham mengajukan permintaan banding. “Ini penting untuk mengklaim kembali mar-tabat dan hak-hak kami (penduduk Singapura). Masyarakat yang hidup dalam ketakutan karena bersikap kritis adalah masyarakat yang tidak akan berkembang dan menjadi dewasa,” kata Wham kepada Tempo melalui surat elektronik, Rabu, 8 Mei lalu. Dia berpendapat bahwa hukumannya harus dianulir dan pemerintah harus men-jamin kebebasan berbicara bagi semua orang.
Wham tidak sendirian menghadapi hu-kuman. Jaksa juga menjerat politikus opo-sisi John Tan Liang Joo karena tu--li-san-nya di Facebook pada 6 Mei 2018. Politikus Partai Demokrat Singapura itu menulis, tindakan Jaksa Agung men-dakwa Wham justru mengkonfirmasi kebenaran pendapat Wham. Aki-bat ko--mentarnya itu, Tan juga di---ja-tuhi hu-kuman den-da Rp 52,5 juta.
Vonis terhadap Wham dan Tan lebih rendah daripada tuntutan jaksa, yang meminta Wham didenda hingga Rp 157,5 juta dan dipenjara dua-tiga pekan. Adapun Tan dituntut hukuman setidaknya 15 hari kurungan. “Bagi siapa pun yang memiliki aspirasi politik, selalu pastikan bahwa ia tidak melanggar hukum,” ujar hakim Woo, seperti dikutip The Straits Times.
Wham berkukuh ogah menghapus tu--lisannya di Facebook. “Keputusan Jak-sa Agung menuntut saya itu bermotif po-litik,” ucapnya. Menurut dia, desakan per-mintaan maaf hanya bertujuan mem-per-ma-lukannya dan menakut-nakuti para pengkritik lain. Meminta maaf dan men-copot opini pribadinya di media sosial, kata Wham, hanya akan membuat aparat be-sar kepala. “Penting melawan intimidasi semacam itu.”
Wham menyatakan bahwa dia meng-unggah opininya setelah membaca be-be-rapa kasus di Malaysia tatkala pengadilan me-mutus perkara melawan pemerintah atau politikus partai berkuasa tentang isu-isu politik yang sensitif. “Putusan seperti itu jarang terjadi di Singapura,” tuturnya. Maka, ketika Malaysiakini menggugat Undang-Undang Anti-Berita Bohong, yang di--sahkan sebelum Perdana Menteri Najib Razak tumbang dan digantikan Mahathir Mohamad, Wham penasaran terhadap hasilnya.
Wham adalah aktivis hak asasi manusia yang lantang mengkampanyekan berbagai isu sensitif, termasuk penghapusan hu--ku-man mati, hak buruh migran, serta hak kaum homoseksual dan transgender. Wham sendiri secara terbuka menyatakan diri sebagai gay. Dia bersama anggota organisasi masyarakat sipil lain getol men--dorong kebebasan berpendapat, ber-ekspresi, dan berkumpul.
Setelah lulus dari National University of Singapore, Wham ikut mendirikan Or-ganisasi Kemanusiaan untuk Ekonomi Migrasi (HOME), kelompok yang membela hak-hak buruh migran. Selama satu dekade sejak 2004, dia mendampingi ribuan buruh migran dari berbagai negara yang menghadapi berbagai masalah. Persoalan berkutat pada hubungan mereka dengan majikan, agen penyalur, dan kementerian tenaga kerja, juga perkara pekerja rumah tangga yang mengalami pelecehan seksual dan eksploitasi.
Wham, misalnya, pernah mendampingi seorang nelayan Mozambik yang sulit memperbarui paspornya yang sudah ke--da-luwarsa. Dia pontang-panting ber-juang selama tiga hari untuk membantu nelayan itu pulang karena tidak ada kedutaan Mozambik di Singapura. Wham me-mutuskan terbang ke kedutaan Mo-zam-bik terdekat, yakni di Jakarta, untuk memperbarui paspor tersebut.
Stephanie Chok, bekas relawan dan rekan kerja Wham di HOME, mengingat ba-gaimana koleganya itu, setelah meng-ha-biskan hari berurusan dengan semua oto-ritas, tertidur beberapa jam di rumahnya di dekat Bandar Udara Changi sebelum terbang ke Jakarta dengan penerbangan pagi pertama yang tersedia.
Setelah sukses memperbarui paspor nelayan itu, Wham terbang kembali pada hari yang sama. Ia tiba tepat waktu bagi nelayan Mozambik itu untuk mengejar penerbangan pukul 02.00 dari Singapura ke Johannesburg, tempat dia kemudian menumpang bus selama tiga jam untuk kembali ke Mozambik.
Salah satu pendiri HOME, Bridget Tan, mengungkapkan, Wham sempat ter-gun-cang setelah pengalaman peristiwa buruk pada tahun pertamanya bekerja dengan organisasi itu. Wham pernah menjadi kor-ban pemukulan oleh karyawan per-usahaan repatriasi ketika membantu seorang pekerja migran Bangladesh pada 2005. Pekerja itu dipulangkan paksa oleh per-usahaan rekonstruksi tempatnya be-kerja setelah meminta gaji. “Dia benar-benar trauma dengan pengalaman itu,” ujar Tan.
Tan menambahkan, dia semula me-ngira Wham akan menyerah akibat ke--ja-dian tersebut. Tapi rupanya Wham tak surut langkah dan justru meneruskan per-jua-ngannya membela nasib para bu-ruh migran. “Saya ditempatkan di po--sisi se-orang buruh migran. Jika saya bisa merasa takut karena peristiwa seperti itu, apalagi pekerja migran yang menderita tidak hanya karena intimidasi dan pe-nye-rangan, tapi juga lantaran harus kembali ke negara asalnya dan menghadapi ke-luar-ga-nya dengan utang besar,” katanya saat itu.
Kepekaan Wham terhadap nasib para buruh migran berakar sejak belia. Dia tumbuh dalam keluarga yang berkecukupan dan mampu mempekerjakan seorang perem-puan pekerja rumah tangga. Dia masih 13 tahun saat ibunya memutuskan memberi pembantunya itu libur satu hari setiap pekan. Tapi keputusan tersebut rupanya ditentang teman-teman ibunya. Mereka menegur ibu Wham karena ia dianggap memberikan contoh buruk dan menjadi preseden bagi pembantu mereka untuk meminta perlakuan serupa.
Sikap tega hati yang ditunjukkan kawan-kawan ibunya itulah yang meninggalkan ke-san mendalam bagi Wham muda. “Pekerja rumah tangga hidup dan bekerja dengan kami 24 jam sepekan. Saya saja tidak ingin pergi ke sekolah setiap hari. Jika saya tidak mau melihat guru saya setiap hari, mengapa saya berharap pekerja ru-mah tangga meladeni kami setiap hari? Empati saya muncul sejak itu,” ucap Wham.
Interaksi Wham dengan pekerja di ru-mahnya membangkitkan minat men-dalami kehidupan buruh migran, ter-masuk kuliah di jurusan pekerjaan sosial. Sebelum mendirikan HOME dan menjadi direkturnya, Wham bekerja di sebuah gereja Katolik yang menyediakan bantuan sosial bagi buruh migran. “Jolovan mem-perlakukan setiap kasus dengan serius,” kata Stephanie Chok.
Anis Hidayah dari Migrant Care mengenal perjuangan Wham dalam membela hak-hak pekerja migran sejak bertahun-tahun silam. “Salah satu layanannya adalah penyediaan tempat bernaung untuk buruh migran, termasuk tenaga kerja Indonesia di Singapura,” tutur Anis kepada Tempo, Kamis, 9 Mei lalu.
Dengan sederet pengalamannya, Wham, yang kini menjadi pekerja sosial di or-ganisasi Jaringan Aksi Komunitas, tak kaget saat kembali terseret masalah hu-kum. Dia pernah dijerat tujuh dakwaan, ter-masuk tuduhan vandalisme, karena menggelar diskusi publik tanpa izin polisi pada 2016. Saat itu pembicaranya adalah aktivis prodemokrasi Hong Kong, Joshua Wong. Di Singapura, kegiatan semacam ini dianggap melanggar Undang-Undang Ketertiban Umum karena Wong, yang berbicara lewat Skype, adalah orang asing.
Wham tak ciut nyali menghadapi jerat hukum terhadapnya. Dalam satu-dua kasus, dia memilih masuk bui ketimbang membayar denda. “Denda itu berlebihan dan merupakan serangan terhadap hak konstitusional kebebasan berbicara kami,” ujar Wham menanggapi perkara terbarunya.
MAHARDIKA SATRIA HADI (THE ONLINE CITIZEN, ASIA ONE, SCMP)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo