Bukan hanya hari depan Partai Kongres, tapi juga kepemimpinan India kini diduga-duga, setelah Rajiv tewas: bisakah ditemukan seorang pemimpin yang tetap bisa menjaga kesatuan bangsa? Mengapa politik di India seolah selalu diwarnai kekerasan? INILAH lima menit terakhir hidup Rajiv Gandhi, seperti dicatat oleh Barbara Crossette, wartawati New York Times Service. "Apa yang harus saya katakan?" tanya Rajiv pada Chandrashekhar, kandidat lokal Partai Kongres untuk Negara Bagian Tamil Nadu. "Bicaralah tentang pembangunan pedesaan," kata si calon. Dan kemudian sebuah kilatan cahaya, gelegar ledakan, dan seperti dimaklumi oleh seluruh dunia kemudian, Rajiv Gandhi, 46 tahun, bekas perdana menteri India, yang partainya menjadi calon kuat pemenang dalam pemilu India Mei ini, tewas mengenaskan. Maka, pemilu pun ditunda sampai pertengahan Juni ini. Dari kesibukan pemilu kini masyarakat dan pemerintah India sibuk mencari si pemasang bom. Menurut penyidikan sampai akhir pekan lalu, bom itu dipasang di tubuh seorang wanita yang menyambut Rajiv yang datang ke Sriperumpudur, kota 40 km dari Madras, di Negara Bagian Tamil Nadu, India Selatan, Selasa malam pekan lalu itu untuk berkampanye. Menurut para saksi mata, wanita itu membungkuk setelah mengalungi Rajiv dengan bunga, dan ketika itulah ledakan terjadi. Polisi menduga wanita misterius itu sendirilah yang mengganduli dirinya dengan bom. Versi wanita berbom itu membatalkan dugaan semula bahwa bom berada di kalungan bunga yang digantungkan di leher Rajiv. Perkiraan ini didasarkan pada hancurnya bagian atas tubuh Rajiv, dan tubuh si bekas perdana menteri hanya bisa dikenali dari sepatu lari baru yang dikenakannya. Melihat dari cara pembunuhan dilakukan, segera tuduhan melayang ke alamat kelompok gerilya dari Sri Lanka, Macan Tamil Pembebasan Eelam, yang populer dengan sebutan singkatnya: Macan Tamil. Kelompok ini memperjuangkan satu wilayah otonom di Sri Lanka, dan sebagian mereka mencari perlindungan di Tamil Nadu. Mereka dikenal dengan keberaniannya berjibaku. Menurut sejumlah analis politik India, para gerilyawan Macan Tamil memang pantas mendendam Rajiv. Di masa pemerintahan cucu Jawaharlal Nehru itulah India mengirimkan pasukan ke Sri Lanka. Semula pasukan itu dimaksudkan sebagai tentara perdamaian, tapi kemudian terpaksa baku tembak selama sekitar dua tahun dengan gerilyawan Tamil. Rajiv, sebelum berangkat berkampanye telah meletakkan karangan bunga merenung di muka patung ibunya, Indira Gandhi -yang tewas oleh peluru-peluru kaum Sikh militan pada 31 Oktober 1984. Mobil tahan peluru yang ditumpangi berhenti sekitar 20 meter dari panggung yang sudah dipersiapkan di lapangan terbuka. Lalu ia keluar dari mobil, diiringi penasihat kampanyenya, berjalan menuju panggung. Barbara Crossette, wartawan itu, setelah mendengar dialog antara Rajiv dan Chandrashekhar hanya ingat suasana kacau-balau. Ia dengar suara ledakan hebat dan melihat kepulan asap, tubuh-tubuh manusia terputus-putus beterbangan dari pusat ledakan dalam bentuk lingkaran berdiameter enam meter. Ceceran darah dan potongan daging berserakan dalam radius itu. Keadaan tambah galau karena orang-orang yang panik berlarian ke sana-kemari sambil berteriak-teriak. Penjagaan keamanan untuk Rajiv memang sangat kendur walaupun ia masih menggunakan mobil tahan peluru. Alasannya tak lain lantaran India Selatan adalah wilayah "bersahabat" dan Partai Kongres mengharapkan akan menang besar. Karena itulah Rajiv selalu duduk di samping pengemudi dengan jendela yang sengaja dibuka. Khusus untuk kampanye malam hari, dashboard mobil tersebut dipasangi lampu kecil tapi terang agar muka orang yang berusaha merebut kembali kursi perdana menteri itu kelihatan jelas. Dan memang, sepanjang jalan ribuan orang mengelu-elukannya sambil menghujani mobilnya dengan bunga. Beberapa selendang bahkan dilempar ke dalam mobil. Rajiv Gandhi membalas lambaian mereka dengan senyumnya yang khas sambil sesekali melempar kembali bunga yang masuk ke dalam mobil. Ini tampaknya akibat kritik dalam kampanye Pemilu 1989, pemilu yang membuat Partai Kongres tak menang mutlak: ia terlalu menjauh dari rakyat. Maka, hampir seluruh wilayah India dari kota besar sampai desa kecil dijelajahinya. "Saya berkampanye seperti ini sebelum saya menjadi perdana menteri. Sekarang saya bukan perdana menteri dan akan berkampanye seperti ini lagi," katanya bersemangat. Tak diduga, kendurnya pengamanan ini ada yang memanfaatkannya untuk mengakhiri hidupnya. Hujan telah reda ketika berita kematian diterima dan kemudian menyebar dengan cepat ke seluruh kota. Menjelang tengah malam kerumunan orang sudah bergerombol di muka rumah nomor 10 Jalan Janpath, kediaman keluarga Gandhi di New Delhi. Mereka kelihatan panik, dan sebagian meratap sambil mengatakan berulang-ulang, "Desh ka satya nash ho gaya" (India telah dihancurkan). Pihak keamanan, belajar dari kerusuhan dan pembunuhan terhadap masyarakat Tamil setelah tewasnya Indira Gandhi pada 1984, menganjurkan masyarakat untuk tak keluar rumah. Jalan-jalan pun jadi lengang, kebanyakan rumah menutup pintu, dan pasar-pasar tak buka. Bis umum tak jalan, dan bendera dan tanda-tanda gambar partai peserta pemilu diturunkan dari jalan-jalan. Orang juga membersihkan dinding luar rumah mereka dari tempelan-tempelan tanda gambar partai -terutama yang bukan Partai Kongres, supaya tak diserbu para pendukung Rajiv. Tapi rupanya kejadian enam tahun lalu tak terulang. Karena tak segera diketahui dari pihak mana pembunuh datangnya. Sisa-sisa tubuh Rajiv tiba di New Delhi sekitar pukul 11.00, Rabu pagi. Jenazah disemayamkan di Teen Murti Bhavan, rumah kediaman kakek dan ibunya, tempat almarhum melewatkan masa kecil dan remajanya. Antrean sepanjang tiga kilometer untuk memberi penghormatan terakhir segera terbentuk dengan dihiasi rintihan dan suasana berisik. Antrean itu ada terus selama dua hari dan orang sabar menunggu giliran untuk berdiri sejenak mengenang almarhum di muka jenazah. Arun, tukang sayur setengah tua, sudah antre sejak subuh membawa istri dan ketiga anaknya. Ia berbicara kepada dirinya sendiri, "Mengapa Rajiv? Ia masih muda." Lalu seorang lelaki lain mengatakan, "Saya tak mendukung Partai Kongres. Tapi, Rajiv orang baik. Mengapa selalu orang baik yang mati muda?" Ada seorang tua berambut putih mencoba melihat lebih dekat peti jenazah Rajiv yang ditutup bendera India dan diletakkan di muka potret besar almarhum. Ia ditarik polisi dan didorong kembali ke dalam barisan. "Waktu ia masih hidup, aku dilarang mendekatinya. Sekarang ia sudah meninggal. Mengapa aku masih dilarang mendekatinya?" katanya dengan jengkel, menggerutu, sambil setengah memohon. Tapi, polisi tak peduli dan terus mengusirnya. Sepanjang lima kilometer jalan menuju tempat penyemayaman jenazah, orang berdiri sambil meneriakkan Rajiv Gandhi amar rahe (Hidup Rajiv Gandhi). Diselingi oleh teriakan Rajiv ke hathyaronko goli mare salon ko (Tembak pembunuh Rajiv). Menjelang masuk ke tempat kremasi terlihat barisan orang Muslim yang membawa bendera-bendera Partai Kongres. Sebelum jenazah tiba, wakil-wakil agama Islam, Kristen, dan Zoroaster membacakan doa. Pada saat upacara kremasi doa agama Hindu yang diucapkan, tubuh Rajiv diletakkan di dalam peti sepanjang tiga meter dengan kepala ke arah utara. Di tengah pembacaan doa dari kitab Wedha, Rahul, anak lelaki almarhum, memercikkan air suci dan kemudian berlutut dekat jenazah, membaca doa. Dengan dipimpin pendeta dari Arya Samaj, Pandit Ganpa Ram Acharya, serbuk kayu cendana ditaburkan, kemudian kayu bakar ditimbunkan. Biasanya jenazah diletakkan di atas tumpukan kayu, tapi dalam hal Rajiv, tubuhnya justru diletakkan di bawah kayu. Seorang pejabat pemerintah mengatakan mereka khawatir kain putih yang menutupnya terbuka apabila api sudah mulai membakar dan memperlihatkan keadaan jenazah yang mengerikan. Seperti yang dilakukan Rajiv sekitar tujuh tahun silam ketika ibunya dikremasi, Rahul, 20 tahun, menyalakan api pembakaran. Sebelum itu ia berjalan dengan khusyuk sambil membawa api mengelilingi jenazah ayahnya. Setelah tujuh keliling, ia menyalakan api di bagian kepala. Diperlukan waktu sekitar lima menit untuk menyalakan semua timbunan kayu. Sonia, istri Rajiv, dan anaknya Priyanka, 17 tahun, saling memeluk melihat jalannya upacara sambil sesekali membetulkan letak kayu. Setelah upacara selesai, ratusan orang pendukung Partai Kongres menembus barikade dan berkumpul di sekitar api. Mereka meraung sambil melemparkan bunga ke unggun. Apa sebenarnya yang terjadi, di ujung hari kampanye pemilu India kali ini? Hampir semua pemimpin negara di dunia ini menyesalkan peristiwa Sriperampudur. Banyak orang bertanya-tanya, bagaimana bisa di tempat kelahiran Sang Budha yang mengajarkan hidup tanpa kekerasan, seorang wanita melilit badannya dengan bom dan kemudian meledakkannya untuk membunuh seorang pemimpin dengan alasan yang dibawanya ke alam baka. Bukankah ini tanah kelahiran Mahatma Gandhi, yang menganjurkan perjuangan tanpa kekerasan? Tapi, para wartawan mencatat, justru di Indialah kekerasan merajalela, terutama dalam 40 tahun terakhir sejak India merdeka pada 1947. Bayangan India sebagai kancah kekerasan sebenarnya sudah tampak begitu orang menginjakkan kaki di New Delhi, ibu kota yang juga gerbang masuk ke salah satu sumber kebudayaan tertua itu. Di bis Bandara Indira Gandhi yang menuju Delhi, bisa dibaca tulisan-tulisan di belakang tempat duduk yang membuat jantung berdetak lebih cepat. Tulisan-tulisan itu dalam bahasa Inggris, yang maksudnya: "Hati-hati dengan benda-benda tak dikenal di bawah tempat duduk Anda. Kalau itu bom, segera beri tahu pengemudi atau kondektur." Kekerasan seperti itulah yang merenggut nyawa Mahatma Gandhi yang terbunuh oleh seorang penganut agama Hindu ekstrem. Juga kekerasan itulah yang mengakhiri hidup Indira Gandhi. Ia dibunuh pejuang nasionalis Sikh. Belum lagi ribuan orang biasa yang tewas setiap tahun akibat konflik politik, agama, ras, dan kasta. Dan sekarang Rajiv. Menurut sejarawan Bipan Chandra dari Universitas Jawaharlal Nehru, negerinya sudah ditakdirkan menempuh jalan sejarah yang penuh kekerasan. "Bangsa kami yang multibudaya, multiagama, lebih menjadi kompleks dengan adanya perbedaan kasta dalam kehidupan sehari-hari," katanya kepada TEMPO. Tariq Ali, penulis buku The Nehrus and The Gandhis: An Indian Dynasty, menyebut masyarakat penuh kekerasan India sebagai "anarki yang terorganisasi". Masa-masa ini adalah detik-detik tentang kenyataan yang ada di India. Banyak hal dalam masyarakat India yang selalu akan berubah menjadi konflik: mulai dari bahasa, agama, suku, rasa kedaerahan, sampai ke masalah kasta. Semuanya itu lebih dinyalakan oleh adanya perbedaan kasta. Memang, para pemimpin India berusaha mempertahankan India sebagai negara sekuler. Tapi, akhir-akhir ini pertentangan agama semakin hebat. Pada mulanya orang-orang Islamlah yang radikal, karena kedudukannya sebagai minoritas. Kemudian mereka digantikan oleh orang Sikh yang melakukan perlawanan bersenjata terhadap pemerintah. Kini, golongan mayoritas Hindu ikut menggebrak. Munculnya Partai Bharatiya Janata yang dibentuk oleh Lal Krishna Advani makin memanaskan konflik agama, lantaran partai ini tak percaya akan sekularisme. Sebagai akibatnya konflik agama juga mewarnai politik India yang memang sudah tercemar oleh faktor-faktor primordial lainnya. Karena itulah, semua usaha para pemimpin India untuk mempersatukan bangsa yang terpecah-pecah oleh faktor-faktor primordial itu sebegitu jauh tak berhasil. Kekerasan pun makin memegang peranan, sedangkan kompromi, toleransi, dan saling mengerti makin tersudut ke belakang. Lihat saja, orang Sikh yang menuntut negara sendiri, pemeluk fundamentalis Hindu yang makin militan, orang-orang Tamil, dan pemeluk Islam, semuanya menggunakan teror sebagai alat perjuangan. Maka tragedi Rajiv sungguh ironis. Tokoh jang dijuluki Mr. Clean itu semasa menjabat perdana menteri berusaha keras untuk berdamai dengan kelompok-kelompok militan. Sebelum kalah dalam pemilihan umum terakhir, ia berhasil menandatangani perjanjian dengan empat organisasi antipemerintah. Pada 1985 untuk pertama kalinya ia berhasil menciptakan kompromi dengan pemimpin Sikh Alkali Dal, Sant Harchand Singh Longowal, yang berjanji tak akan menjalankan aksi teror di Negara Bagian Punjab. Pada tahun itu juga ia menandatangani perjanjian dengan Persatuan Mahasiswa Semua Assam yang sangat militan dan sering meneror dan membunuh penduduk Negara Bagian Assam. Dalam perjuangan untuk memperoleh otonomi penuh, mereka menjadikan imigran dari luar Assam sebagai sasaran pembunuhan. Kemudian di Negara Bagian Mizoram, Rajiv berhasil membawa Front Nasional Mizo ke meja perundingan. Yang keempat, dengan para Macan Tamil yang melakukan teror di Sri Lanka. Memang, langkah Rajiv pun ada yang merugikan pihak Tamil. Misalnya soal pengiriman tentara ke Sri Lanka yang sudah disebutkan. Dan tahun lalu Rajiv berhasil mendorong pemerintah Chandra Sekhar untuk mengambil langkah politik yang tak bisa dimaafkan oleh para politikus Tamil Nadu: dibubarkannya pemerintah Negara Bagian Tamil Nadu, dan menempatkan wilayah itu langsung di bawah pemerintah pusat. Seandainya langkah salah itulah, ataupun sebab yang lain, yang menyebabkan bom meledak di Sriperampudur, cukupkah itu sepadan? Sebab, seperti banyak pengamat mengatakan, tewasnya Rajiv dan olengnya Partai Kongres yang sekuler membuka pintu bagi sebuah India yang terancam persatuan nasionalnya. Kecuali muncul seorang tokoh, yang setidaknya seperti Rajiv, yang bisa keras terhadap pihak ekstrem mana pun. Sejauh ini para kontestan (lihat Pertarungan yang Tertunda) belum bisa dikatakan seperti itu. A. Dahana (Jakarta), Yuli Ismartono dan Taufik Rahzen (New Delhi)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini