Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Setelah Sex Shop Berlabel Halal

Dibukanya toko seks berlabel halal menghebohkan Turki, hingga Perdana Menteri pun berkomentar. Mendompleng agenda islamisasi Perdana Menteri Erdogan atau bisnis belaka?

4 November 2013 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TOKO online yang dibuka Haluk Murat Demirel pada awal bulan ini menjadi perbincangan hangat di Turki. Ia menyatakan helalsexshop.com adalah toko online pertama yang menjual peralatan seks bagi umat Islam. Demirel, 38 tahun, mengaku tak mencari sensasi. Ia terinspirasi membuka toko seks halal karena mendengar cerita teman-temannya yang menginginkan produk dan saran untuk urusan seksual tapi risi dengan konten yang vulgar. "Kami juga tidak menjual vibrator, misalnya, karena tidak dibolehkan dalam Islam," kata Demirel seperti dilansir Reuters.

Selain menjual alat bantu seks, seperti kondom, parfum, dan minyak pelumas, situs tersebut menyediakan aneka topik diskusi, misalnya pandangan Islam tentang seks oral dan tata cara jimak (bersetubuh) serta kehidupan seksual berdasarkan Islam. Bahkan, untuk pemesanan, laki-laki dan perempuan juga dipisah, sesuai dengan konsep purdah alias pemisahan jenis kelamin. Demirel optimistis toko online-nya akan populer.

Pembukaan toko perlengkapan ini mencerminkan perubahan pada pemerintahan dan masyarakat Turki. Di Turki, keberadaan sex shop memang tak dilarang, meski menjadi perdebatan. Di kota besar, meski jumlahnya sedikit, selalu ada toko yang menjual peralatan seks. Toko-toko ini memiliki ciri khas menggunakan papan nama dengan lampu neon. Mereka kerap disebut erotic shop. Kehadiran toko seks berlabel halal ini membuat Perdana Menteri Turki Recep Tayyip Erdogan berkomentar. Ia menyarankan sebutan toko diubah menjadi love shop atau toko cinta.

Meski sekitar 99,8 persen penduduknya muslim, Turki adalah negara sekuler. Burhanettin Duran, asisten profesor di Universitas Sehir, Istanbul, mengatakan kosakata politik Turki tidak menyediakan konsep seperti syariah. "Salah satu contohnya adalah larangan jilbab di lembaga pemerintah dan pendidikan tinggi," ujarnya.

Erdogan pernah menolak sebutan Turki sebagai perwakilan Islam moderat. ­"Turki tidak pernah menjadi negara yang me­representasikan konsep itu. Lagi pula Islam tak bisa dikategorikan moderat atau tidak," kata Erdogan ketika menjadi pembicara di Oxford Centre for Islamic Studies, Inggris, beberapa waktu lalu. Namun komentar itu tak memupus tudingan program islamisasi yang dilakukan Erdogan.

Pada April 2012, parlemen Turki menyetujui undang-undang pendidikan yang memungkinkan siswa sekolah menengah mengikuti mata pelajaran keagamaan. Reformasi itu juga membatalkan undang-undang yang didukung militer pada 1997, yang menutup sekolah menengah Islam dan hanya mengizinkan siswa sekolah menengah atas berusia 15 tahun ke atas mengikuti mata pelajaran pilihan, seperti belajar Al-Quran dan kehidupan Nabi Muhammad.

Pada Juni lalu, pemerintah juga mengesahkan undang-undang anti-alkohol, yang salah satunya melarang penjualan minuman keras mulai pukul 10 malam hingga 6 pagi. Padahal biasanya warga Turki bebas mengkonsumsi air api itu. Banyak yang khawatir Erdogan dari AK Parti (Partai Keadilan dan Perkembangan), yang memimpin sejak 2003, secara bertahap mempereteli republik sekuler tersebut.

Cengiz Aktar, profesor ilmu politik di Bahcesehir University, Istanbul, mengatakan banyak warga Turki sebenarnya membenci Erdogan. "Ia mengatur kehidupan pribadi, seperti melarang pramugari berlipstik," katanya kepada Deutsche Welle. Lalu toko peralatan seks yang halal itu apakah dilihat sebagai tanda kepatuhan kepada Erdogan atau ejekan?

Soal toko ini menjadi perbincangan seru di berbagai media Turki. Sebuah kicauan Twitter mengomentarinya: "Nikmati saja, kan dijamin halal." Seorang penulis kolom, Tayfun Atay, yang artikelnya dimuat di media berbahasa Turki, berpendapat toko seks halal ini hanyalah fenomena yang didasari latar belakang sejarah dan kepentingan ekonomi. "Ini bentuk kapitalisme semata."

Raju Febrian (Foreign Policy, Times of Israel, Hurriyet, DW)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus