Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BUS berpenumpang 60 orang itu melaju dengan kecepatan 40 kilometer per jam dikawasan Kota Nasr, Kairo, Mesir. Rabu sore dua pekan lalu, Nur Akbar,mahasiswa Al-Azhar asal Indonesia, berdiri berdesakan di lorong bus itu. Secara tak sengaja, lengannya menyerempet bagian samping tubuh penumpang perempuan. Akbar langsung diberondong cacian oleh cewek yang tersenggol itu, sehingga menjadi pusat perhatian parapenumpang. "Untung tidak sampai diperkarakan ke polisi. Ini pengalaman tidakmengenakkan," ucap Akbar, yang bekerja paruh waktu di sebuah kedai makanansiap saji, kepada Tempo.
Berdesakan di dalam angkutan umum adalah pemandangan lazim pada jamberangkat dan pulang kerja di Mesir. Malangnya, kata Akbar, perempuan Mesirsangat sensitif terhadap senggolan dengan lawan jenis di tempat umum. Mereka mengalami trauma terhadap kekerasan dan pelecehan seksual yang sering terjadi di negara itu.
Penelitian terbaru Perserikatan Bangsa-Bangsa, yang dirilis Jumat dua pekanlalu, memperkuat fenomena ini. Temuan itu menyebutkan sembilan dari sepuluh perempuan di Mesir mengalami beragambentuk pelecehan seksual. Sebanyak 91 persen warga merasa jalanan adalahtempat paling rawan terjadinya kekerasan seksual. "Responden menyebutkan kekerasan sudah mencapai tingkat mengerikan. Pengalaman yang paling menakutkan adalah kekerasan di Lapangan Tahrir, Juni lalu," tulis rilis laporan itu.
Laporan itu juga memaparkan dua pertiga laki-laki di Mesir pernah melakukanpelecehan atau kekerasan seksual. Sebagian besar adalah pria yang belummenikah. Penelitian PBB tersebut mencatat 186 orang menjadi korban kekerasan seksualselama unjuk rasa sebelum dan setelah penggulingan Presiden MuhammadMursi, yang digulingkan militer pada 3 Juli lalu. Sedangkan kekerasan di luaraksi unjuk rasa pada Agustus-Oktober 2013 mencapai 65 kasus.
Menurut Akbar, tingginya angka pelecehan seksual merupakan akibat tradisipernikahan yang mahal. Di Mesir, calon mempelai laki-laki harus merogohkocek 50-100 ribu pound atau setara dengan Rp 160 juta untuk biaya pernikahan.Mereka juga wajib memberi mahar dan hadiah pernikahan serta memiliki tempat tinggal dan pekerjaan tetap. Jika tidak mampu memenuhi persyaratan tersebut, mempelai bisa menikah, tapi tidak bisa tinggal bersama. "Banyak laki-laki Mesir yang saya kenal baru menikah di atas usia 45 tahun," tutur Akbar.
Korban kekerasan seksual berasal dari beragam kalangan. Salah satunya musikusYasmine El Baramawy, 30 tahun. Dia menuturkan insiden pada 23 November tahunlalu itu begitu cepat. Kala itu, ia bergabung dengan kelompokpengunjuk rasa di Lapangan Tahrir. Tiba-tiba beberapa lelaki merobek blusdan pakaian dalamnya. Yasmine menuturkan mereka membawanya ke tempatsepi, lalu memerkosanya secara bergantian. "Pengalaman itu sangatmenyakitkan," ujarnya seperti dikutip situs lembaga hak asasi manusia, HumanRights Watch.
Korban pemerkosaan lainnya, wartawan CBS asal Amerika Serikat, Lara Logan, mengatakan pelaku berjumlah sekitar sepuluh orang. Mereka berbadan tegap, tapi berpakaiansipil. Kelompok ini menculik perempuan yang mereka incar dan memindahkan merekadengan mobil. "Mereka sangat kejam," tuturnya.
Yasmine dan enam korban kekerasan seksual lainnya melaporkan kasus mereka ke polisi dan kejaksaan pada Maret lalu. Namun polisi menyatakan pihaknya belumberhasil mengidentifikasi para pelaku. Wakil Direktur Pengawas HAM untukTimur Tengah Human Rights Watch Joe Stork mengatakan polisi terkadangmeminta penanganan kasus ini tidak dilanjutkan. "Impunitas untuk kekerasan seksualterhadap perempuan di ranah publik di Mesir adalah norma," katanya.
Polisi sebenarnya memiliki unit khusus penanganan kekerasan terhadapperempuan. Unit ini masuk divisi HAM, yang beranggotakan polisi wanita.Stork mengklaim laporan yang ditindaklanjuti belum berujung pada penangkapanpelakunya. Menurut Kitab Undang-Undang Pidana Mesir, pelaku pelecehan seksualdiancam hukuman penjara maksimal dua tahun dan didenda 2.000 pound atausekitar Rp 3,2 juta. "Mereka yang masuk penjara adalah pelaku kasus lama di zamanHusni Mubarak," ujarnya.
Seorang relawan kemanusiaan Mesir, Karim Massoud, 24 tahun, mengatakankekerasan seksual memang sudah terjadi sejak era Presiden Mubarak. Menurutdia, kelompok ini berjumlah ratusan orang. Mereka biasanya bergerombol ketika beraksi, sekaligus membawa senjata tajam untukmenakut-nakuti korbannya. Mereka berada jauh dari pantauan polisi danmiliter. "Jika ada orang yang akan membantu korban, mereka tak segan-seganmelukai," katanya.
Direktur Pengawas HAM Mesir Heba Morayef menuding polisi dan militerterlibat dalam aksi kekerasan terhadap kaum perempuan ini. Dia beralasan aparat memiliki kepentinganmeredam unjuk rasa dengan cara meneror para perempuan yang berkeinginan ikut demonstrasi. "Hantu kekerasan seksual digunakan sebagai alat membungkam pengunjukrasa," ujar Morayef.
Yasmin al-Rifae dari kelompok Operation Anti-Sexual Harassment mengatakanpolisi justru menyalahkan para korban. "Mereka menyalahkan kenapa perempuanberada di alun-alun, bukan di rumah memasak," katanya menirukan perkataan seorang polisi saat mendampingi korbanpelecehan seksual ke kantor polisi.
Tuduhan aktivis itu dianggap logis karena jumlah perempuan yang ikut berunjukrasa cukup besar. Abdul Madjid, mahasiswa Universitas Al-Azhar asalIndonesia, menuturkan rata-rata separuh peserta setiap unjuk rasa adalahperempuan. Dia mencontohkan, dalam aksi duduk di Masjid Rabaa al-Adawiyah padaAgustus lalu, para perempuanlah yang berhubungan dengan media massadan membantu pengadaan logistik. "Mereka memiliki peran penting dalam setiap aksi,"ucapnya.
Madjid mengatakan maraknya aksi kekerasan seksual terhadap perempuan mulaimenyurutkan minat kaum Hawa berunjuk rasa. Dalam demonstrasi di kampusUniversitas Al-Azhar, Kairo, Rabu pekan lalu, misalnya, jumlah kaum perempuanhanya seperempat dari total 2.000 peserta aksi. Mereka mendesak pemerintahmiliter mengembalikan Mursi ke kursi kepresidenan dan membebaskan anggotaAl-Ikhwan al-Muslimun—pendukung Mursi. Aksi itu berujung pada bentrokan antarapengunjuk rasa dan petugas keamanan.
Semua tudingan itu dibantah Mohamed al-Meleigy, juru bicara Wakil Menteri DalamNegeri untuk Hak Asasi Manusia. Dia mengatakan kementeriannya telah meresponsmaraknya kasus kekerasan seksual terhadap perempuan peserta demonstrasi dengan membentuk unit khusus. Kalau militermemang ingin menangkapi perempuan, kata dia, tidak perlu ada unit ini.
Apa pun alasan aparat keamanan, para perempuan yang punya hak menyuarakan pendapat dengan ikut aksi jalanan wajib mendapat perlindungan. Untuk mencegah kekerasan seksual, sekelompok relawan membentuk pasukanpelindung perempuan. Mengenakan rompi hijau cerah dan helm serta bersenjatakancat semprot dan alat kejut listrik, belasan lelaki itu bersiaga dalam aksiunjuk rasa di Universitas Al-Azhar. Kelompok bernama Harass the Harassers(Lecehkan Para Peleceh) itu tampak berada di antara ratusan mahasiswaperempuan. Peralatan yang mereka bawa digunakan untuk menangkap pelaku danmempermalukannya. Selama aksi di Lapangan Tahrir pada Juli lalu, para relawanini berhasil menangkap 46 pelaku.
Relawan lainnya, Imprint Movement, menggelar patroli mencegah pelecehan seksual. Mereka menerjunkan para relawan untukmelakukan pemantauan. Abdelfattah Mahmoud, 23 tahun, salah seorang pendiri kelompokini, mengatakan mereka menggandeng unit kepolisian yang menanganiperempuan. "Kami tidak menggantikan polisi. Tapi polisi telah gagal memberikan jaminankeamanan."
Eko Ari Wibowo (BBC, Daily News Egypt, Al-Ahram), Gamal El Bana (Kota Nasr)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo