Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Setelah Syah, Para Mullah

Pertentangan antara bani sadr dengan kelompok mullah tampak semakin tajam, ekonomi semakin buruk, kematian syah dan tindakan-tindakan syah ketika masih berkuasa. (ln)

9 Agustus 1980 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DENGAN kematian Mohammad Reza Fahlavi, kaum revolusioner kehilangan 'musuh bersama'. Tuntutan 'kembalikan Syah ke Iran'--selama ini menjadi alat pemersatu--tak terdengar lagi. Dan kelompok para mullah --yang tergabung dalam Partai Republik Islam (PRI) -dan non-mullab semakin bertikai. Keretakan mereka pekan lalu jelas terlihat ketika calon yang diajukan Presiden Abolhassan Bani Sadr untuk jabatan perdana menteri, Mostafa Mirsalim, ditolak Majlis (parlemen). Mirsalim, 3 3 tahun, adalah seorang insinyur tamatan Prancis. Ia juga anggota Dewan Pimpinan PRI. Tapi dalam garis politiknya ia dikenal lebih dekat dengan kelompok moderat. Mungkin alas an inilah yang membuat para mullah yang berhaluan keras menolaknya. Sebelum itu antara Bani Sadr, 47 tahun dan Ayatullah Mohammed Behesti, Ketua PRI, 51 tahun, memang sudah terjadi perbantahan yang berkepanjang an mengenai siapa yang berhak menunjuk calon perdana menteri. Dan karena perselisihan itu, Bani Sadr pernah mencoba mengajukan calon kompromis. Tapi juga tetap ditolak. PRI sendiri mempunyai calon lain yaitu Jalaleddin Farsi. Sedang Bani Sadr sebenarnya ingin mencalonkan Dr. Hassan Habibi, Sekjen Dewan Revolusi. Namun itu hanya sebagian dari letupan pertentangan antara sesama kaum revolusioner itu. Sejak meletusnya Revolusi Iran, Bani Sadr sudah menampilkan citra yang lain. Ia adalah satu-satunya anggota Dewan Ahli yang pernah mengajukan keberatan terhadap kekuasaan kaum mullah yang begitu besar. Ini terjadi ketika akan di nasukkannya pasal velayet-e-faqhib (per gawasan para mullah) dalam konstitusi Iran. "Kekuasaan eksekutif haruslah berada di tangan para pejabat yang dipilih," kata Bani Sadr. Dalam hal ini kaum mullah menuduhnya seakan-akan anti terhadap peranan kaum agama. Bahkan ketika ia berusaha memasukkan kata towhidi (persamaan Islam) dalam konstitusi, para mullah sempat mengerutkan kening. Ayatullah Beh esti dan Ayatullah Montazeri menolak dimasukkannya kata itu. Menurut mereka, kata itu bernada komunis. Bani Sadr berpendapat bahwa katakata 'berdasarkan hukum Islam' saja seperti yang tertulis begitu banyak dalam konstitusi itu tidaklah cukup. Di situ juga harus jelas suatu ketetapan yang menyebut hak asasi yang paling dasar. Maka ia menekankan perlunya masalah persamaan dicantumkan dalam konstitusi. Namun Presiden Iran itu punya ikatan yang cukup kuat dengan kalangan mullah. Putra Ayatullah Sayed Nasrollah Bani Sadr ini bukan sekedar searang tehnokrat tapi juga ahli dalam masalah agama. Ia menyelesaikan studi Hukum Islam, Ekonomi dan Sosiologi di Universitas Teheran, sebelum belajar di Paris. Ia meninggalkan Teheran pada tahun '63 setelah terjadi kerusuhan yang menimbulkan penangkapan besar-besaran. Semasa di Paris ia dikenal sebagai orang yang pendiam dan selalu menjauhi publikasi. Terutama ketika ia mendampingi Khomeini di pengasingannya di Neuphle le Chateau. Adalah Bani Sadr pendamping Khomeini yang terdekat--di samping Dr. Ibrahim Yasdi dan Sadeq Ghotbzadeh. Ia lebih suka menyebarkan pandangannya mengenai Revolusi Islam melalui koran. Dengan bantuan pendukungnya Bani Sadr menerbitkan koran Inqilal) Islami (Revolusi Islam). Dan sampai sekarang di tengah kesibukannya sebagai presiden, Panglima Tertinggi Angkatan Bersenjata dan Ketua Dewan Rsvolusi, ia masih sering bangun terlalu pagi hnya untuk menulis tajuk rencana bagi koran itu. Pertentangan Bani Sadr akhir-akhir ini dengan kelompok mullah ternyata tidak mengurangi popularitasnya. Dalam sebuah poll pendapat yang berlangsung di universitas-universitas Teheran, ia masih mendapat suara yang terbanyak: 57% suara, dibanding Khomeini 48%, Massoud Rajavi, tokoh Mujahiddin 27%, sementara Ayatullah Behesti hanya 8%. Begitu pun kalangan pengamat di Teheran melihat bahwa kekuasaan Bani Sadr semakin merosot ia rupanya kewalahan menghadapi para mullah yang berkuasa di Majlis. Terlebih-lebih menghadapi Ayatullah Behesti, Ketua Mahkamah Agung yang juga merangkap anggota Dewan Revolusi dan penasihat Ayatullah Khomeini. Ayatullah Behesti merupakan orang kedua yang paling berkuasa setelah Ayatullah Khomeini. Walaupun ia bukan anggota Majlis, suara PRI berada di bawah komandonya. Mungkin ia satu-satunya mullah yang agak terkena pengaruh Barat. Pernah tinggal di Jerman Barat dari tahun 1963 sampai 1968, sebagai Direktur Islamic center di Hamburg, Behesti tergolong orang yang lihay dan cerdas. Pembawaannya yang begitu tenang dan penyabar membawanya ke satu jenjang karir politik yang cukup tinggi. Ketika ditanya apa yang ia harapkan dari sidang Majlis, Behesti tertawa. "Saya tidak ada urusan dengan Majlis. Anda kan tahu bahwa saya bukan anggota Majlis," ujarnya kepada wartawan Los Angeles Times. Seperti juga Khomeini, Behesti ingin membentuk negara Islam yang murni. "Jaminan yang terbaik bagi tercapainya cita-cita itu adalah dengan memberi kekuasaan kepada para mullah," kata Behesti. Namun ia bukanlah orang yang punya banyak pengikut. Menurut kalangan diplomat Barat yang pernah berhubungan dengan Behesti, ayatullah itu administrator yang cukup punya reputasi. Tapi dalam hal ekonomi ia konservatif bila dibanding dengan Bani Sadr yang terkenal dengan sosialisme Islam-nya itu. Banyak orang Iran yang tidak percaa pada maksud baik Behesti. Seorang mahasiswa militan menyebutnya sebagai "manipulator yang hanya menginginkan kekuasaan buat dirinya sendiri." Walaupun begitu sang ayatullah ini seorang politikus yang sulit dicari tandingannya di Iran. Ia memiliki kemampuan mempengaruhi orang lain secara diam-diam. Ketika mahasiswa militan menduduki gedung kedutaan-besar AS di Teheran, November tahun lalu, Behesti menggunakan kesempatan itu untuk menjatuhkan kabinet Mehdi Bazargan. Dan ketika Presiden Bani Sadr dan Menlu Sadeq Ghotbzadeh mencoba secara bersama jalan kompromis untuk melepaskan para sandera Amerika, Behesti memberi kesan seakan-akan ia juga berada di jalan yang sama. Tapi seorang anggota Dewan Revolusi menuturkan, bahwa apa yang dilakukan Behesti tidak lebih dari usaha untuk membuat Bani Sadr dan Chotbzadeh semakin lemah di mata kaum revoluisoner-Iran. Apalagi koran Republik Islam milik PRI secara. terus menerus menyerang Bani Sadr dan Ghotbzadeh dengan menyebut mereka sebagai 'anti-Islam'. Melihat siasat Behesti, akan sulit bagi Bani Sadr untuk mendapatkan persetujuan Majlis mengenai calon perdana menteri yang diajukannya. Apalagi 130 anggota Majlis dari 206 kursi yang ada berada di bawah komando Behesti. Sementara itu Ayatullah Khomeini telah menolak untuk campur tangan dalam soal penunjukan perdana menteri. Menurut siaran radio Teheran, Khomeini menyerahkan sepenuhnya urusan itu kepada Presiden Bani Sadr dan Majlis. Sikap Khomeini ini tampaknya mempersulit Bani Sadr, karena posisinya selalu menentukan. Dan kesempatan ini ternyata tidak disia-siakan oleh Behesti. Laporan UPI yang diterima di Paris mengatakan bahwa Behesti telah memberi ultimatum kepada Bani Sadr untuk menyetujui calon yang diajukan PRI. Sementara pertentangan politik semakin menajam di antara pendukung Khomeini, berita tentang usaha penggulingan kekuasaan semakin santer. Menurut Bani Sadr, dalam 4 bulan terakhir ini ada 6 kali usaha kudeta yang digagalkan. Umumnya kelompok militer dituduh bekerjasama dengan bekas PM Shahpour Bakhtiar dan unsur asing lainnya. "Saya tidak terlibat dalam semua gerakan itu," kata Shahpour Bakhtiar kepada majalah Le Nouvel Observateur yang terbit di Paris. Namun ia mencatat bahwa banyak orang Iran yang tidak senang dengan pemerintahan yang dikuasai para mullah itu. Khomeini akan jatuh karena situasi ekonomi yang semakin memburuk, katanya. "Kalau uang tidak ada lagi iman pun akan meleleh." Ini terutama ditujukannya kearah para mullah yang selama ini menikmati hasil petrodollar. Menurut Shahpour kesalahan Khomeini yang terbesar ialah menghipnotis rakyat untuk tidak berpolitik, sedang ia sewenang-wenang menjatuhkan hukuman. "Di Pdris sebuah kelompok penyayang binatang telah mengajukan protes pada Presiden Valery Giscard d'Estaing karena adanya perlakuan yang tidak layak terhadap binatang. Sedang di Iran berita hukuman mati diberitakan melalui radio dan televisi bagaikan siaran meteorologi," kata bekas PM itu. Memang masalah hukuman mati di Iran hampir merupakan berita sehari-hari. Dan tak tanggung-tanggung pelaksanaannya. Pertengahan Juli, 7 orang pria dan wanita telah dieksekusi di sebuah jalan raya di Teheran. Sementara itu orang lainnya dieksekusi di Jalan Jamshid, bekas kompleks pelacuran. Mereka dituduh telah melakukan perbuatan zina, homosexual dan mengedarkan morfin. Cara eksekusinya berbeda-beda. Ada yang digantung, ada yang diternbak sampai mati dan ada juga yang dilempari batu. Menurut sebuah laporan Newsweek, pertengahan Juli, orang terhukum yang dituduh melakukan zina telah dieksekusi dengan cara dilempari batu. Mula-mula keempatnya 2 lelaki dan 2 wanita setengah baya -- didatangi seorang mullah yang berpakaian algojo. Kemudian pekerja membawa mereka ke sebuah lubang kubur Yang sudah disediakan. Telah tersedia batu-batu sebesar bola. Hakim yang memutuskan hukuman itu melemparkan batu pertama yang kemudian disusul oleh orang-orang yang berada di sekitar situ. Dalam waktu 15 menit, keluar pengumuman bahwa para penzina itu telah mati. Dan di Jerman, sebuah kota di Iran barat daya, seorang pencuri juga telah dijatuhi hukuman mati dengan lemparan batu. Memang hampir tak ada revolusi yang tanpa darah. Apa yang dihadapi Iran sekarang ini mungkin merupakan letupan suatu dendam lama. Hukuman mati di Iran itu agak merusak citra Revolusi Islam yang dicanangkan. Khomeini, meskipun jumlahnya mungkin belum sebesar korban SAVAK semasa Syah masih berkuasa. Sementara itu ekonomi Iran semakin memburuk. Inflasi mencapai 50% Tapi Presiden Bani Sadr rupanya masih optimistis. Ia bahkan mengatakan "Saya bangga untuk mengumumkan bahwa adalah pertama kalinya dalam masa 30 tahun Iran tidak perlu mengimpor gandum lagi." Namun sumber pendapatan Iran yang utama yaitu ekspor minyak tampak semakin menurun. Dibanding semasa Syah masih berkuasa Iran mengekspor 5 sampai 6 juta barrel minyak per hari, beberapa bulan terakhir ini hanya berkisar 700 ribu barrel. Meskipun harga minyaknya telah ditetapkan US$ 36 per barrel, kalangan pengamat ekonomi tidak percaya bahwa itu bisa menutupi kebutuhan Iran. Bahkan Bank Sentral Iran akhir-akhir ini konon sibuk menarik depositnya yang ada di luar negeri. ITUPUN ternyata masih belum cukup. Pemerintah Iran mulai menetak sebanyak-banyaknya uang kertas. Seorang pejabat Bank Sentral berkomentar pada Middle East Newsletter: "Tolong jangan tanya saya berapa jumlahnya. Saya tahu, tapi sungguh mengerikan." Iran semula berharap untuk meneapai target pendapatan dari minyak sebesar US$ 25 milyard tahun ini. Tapi Ali Reza Nobari, Direktur Bank Sentral Iran, mengatakan bahwa pendapatan minyak mungkin tak sampai US$ 10 milyar. Sebagai akibat embargo AS dan sekutunya, Iran juga mengalami kesulitan untuk membeli suku cadang bagi keperluan industrinya. Maka kalangan pengamat menganggap bahwa dalam situasi politik di Iran yang semakin tidak menentu itu adalah sulit buat siapa pun-bila ditunjuk dalam kabinet yang baru -- untuk mengatasi masalah ekonomi yang semakin rumit itu. Penyelesaian masalah sandera--yan& mungkin akan bisa mengakhiri embargo terhadap Iran -- tampaknya tak akan berlangsung dalam waktu dekat ini. Kematian Syah ternyata tdak mempengaruhi sikap Iran. Mereka tetap bertahan untuk tidak membebaskan para sandera Amerika yang sudah disekap mahasiswa selama 9 bulan. Dan suatu tuntutan yaitu 'kembalikan seluruh harta kekayaan Syah' merupakan syarat utama bagi pembebasan itu. Ayatullah Hashemi Rafsanjani, jurl bicara Majlis, telah mengemukakan bahwa tidak ada penyelesaian damai terhadap masalah sandera. Tentang permintaan 180 anggota Congress AS yang menghimbau agar dibebaskannya sandera itu, Rafsanjani mengatakan: "Kami tidak punya waktu untuk membawa masalah ini ke Majlis sekarang. Kami akan membicarakannya pada waktu lain."

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus