DENGAN kematian Mohammad Reza Fahlavi, kaum revolusioner
kehilangan 'musuh bersama'. Tuntutan 'kembalikan Syah ke
Iran'--selama ini menjadi alat pemersatu--tak terdengar lagi.
Dan kelompok para mullah --yang tergabung dalam Partai Republik
Islam (PRI) -dan non-mullab semakin bertikai. Keretakan mereka
pekan lalu jelas terlihat ketika calon yang diajukan Presiden
Abolhassan Bani Sadr untuk jabatan perdana menteri, Mostafa
Mirsalim, ditolak Majlis (parlemen).
Mirsalim, 3 3 tahun, adalah seorang insinyur tamatan Prancis. Ia
juga anggota Dewan Pimpinan PRI. Tapi dalam garis politiknya ia
dikenal lebih dekat dengan kelompok moderat. Mungkin alas an
inilah yang membuat para mullah yang berhaluan keras menolaknya.
Sebelum itu antara Bani Sadr, 47 tahun dan Ayatullah Mohammed
Behesti, Ketua PRI, 51 tahun, memang sudah terjadi perbantahan
yang berkepanjang an mengenai siapa yang berhak menunjuk calon
perdana menteri. Dan karena perselisihan itu, Bani Sadr pernah
mencoba mengajukan calon kompromis. Tapi juga tetap ditolak. PRI
sendiri mempunyai calon lain yaitu Jalaleddin Farsi.
Sedang Bani Sadr sebenarnya ingin mencalonkan Dr. Hassan Habibi,
Sekjen Dewan Revolusi.
Namun itu hanya sebagian dari letupan pertentangan antara sesama
kaum revolusioner itu. Sejak meletusnya Revolusi Iran, Bani Sadr
sudah menampilkan citra yang lain. Ia adalah satu-satunya
anggota Dewan Ahli yang pernah mengajukan keberatan terhadap
kekuasaan kaum mullah yang begitu besar. Ini terjadi ketika akan
di nasukkannya pasal velayet-e-faqhib (per gawasan para mullah)
dalam konstitusi Iran.
"Kekuasaan eksekutif haruslah berada di tangan para pejabat
yang dipilih," kata Bani Sadr. Dalam hal ini kaum mullah
menuduhnya seakan-akan anti terhadap peranan kaum agama. Bahkan
ketika ia berusaha memasukkan kata towhidi (persamaan Islam)
dalam konstitusi, para mullah sempat mengerutkan kening.
Ayatullah Beh esti dan Ayatullah Montazeri menolak dimasukkannya
kata itu. Menurut mereka, kata itu bernada komunis.
Bani Sadr berpendapat bahwa katakata 'berdasarkan hukum Islam'
saja seperti yang tertulis begitu banyak dalam konstitusi itu
tidaklah cukup. Di situ juga harus jelas suatu ketetapan yang
menyebut hak asasi yang paling dasar. Maka ia menekankan
perlunya masalah persamaan dicantumkan dalam konstitusi.
Namun Presiden Iran itu punya ikatan yang cukup kuat dengan
kalangan mullah. Putra Ayatullah Sayed Nasrollah Bani Sadr ini
bukan sekedar searang tehnokrat tapi juga ahli dalam masalah
agama. Ia menyelesaikan studi Hukum Islam, Ekonomi dan Sosiologi
di Universitas Teheran, sebelum belajar di Paris.
Ia meninggalkan Teheran pada tahun '63 setelah terjadi kerusuhan
yang menimbulkan penangkapan besar-besaran. Semasa di Paris ia
dikenal sebagai orang yang pendiam dan selalu menjauhi
publikasi. Terutama ketika ia mendampingi Khomeini di
pengasingannya di Neuphle le Chateau. Adalah Bani Sadr
pendamping Khomeini yang terdekat--di samping Dr. Ibrahim Yasdi
dan Sadeq Ghotbzadeh.
Ia lebih suka menyebarkan pandangannya mengenai Revolusi Islam
melalui koran. Dengan bantuan pendukungnya Bani Sadr menerbitkan
koran Inqilal) Islami (Revolusi Islam). Dan sampai sekarang di
tengah kesibukannya sebagai presiden, Panglima Tertinggi
Angkatan Bersenjata dan Ketua Dewan Rsvolusi, ia masih sering
bangun terlalu pagi hnya untuk menulis tajuk rencana bagi koran
itu.
Pertentangan Bani Sadr akhir-akhir ini dengan kelompok mullah
ternyata tidak mengurangi popularitasnya. Dalam sebuah poll
pendapat yang berlangsung di universitas-universitas Teheran, ia
masih mendapat suara yang terbanyak: 57% suara, dibanding
Khomeini 48%, Massoud Rajavi, tokoh Mujahiddin 27%, sementara
Ayatullah Behesti hanya 8%.
Begitu pun kalangan pengamat di Teheran melihat bahwa kekuasaan
Bani Sadr semakin merosot ia rupanya kewalahan menghadapi para
mullah yang berkuasa di Majlis. Terlebih-lebih menghadapi
Ayatullah Behesti, Ketua Mahkamah Agung yang juga merangkap
anggota Dewan Revolusi dan penasihat Ayatullah Khomeini.
Ayatullah Behesti merupakan orang kedua yang paling berkuasa
setelah Ayatullah Khomeini. Walaupun ia bukan anggota Majlis,
suara PRI berada di bawah komandonya. Mungkin ia satu-satunya
mullah yang agak terkena pengaruh Barat.
Pernah tinggal di Jerman Barat dari tahun 1963 sampai 1968,
sebagai Direktur Islamic center di Hamburg, Behesti tergolong
orang yang lihay dan cerdas. Pembawaannya yang begitu tenang dan
penyabar membawanya ke satu jenjang karir politik yang cukup
tinggi.
Ketika ditanya apa yang ia harapkan dari sidang Majlis, Behesti
tertawa. "Saya tidak ada urusan dengan Majlis. Anda kan tahu
bahwa saya bukan anggota Majlis," ujarnya kepada wartawan Los
Angeles Times.
Seperti juga Khomeini, Behesti ingin membentuk negara Islam yang
murni. "Jaminan yang terbaik bagi tercapainya cita-cita itu
adalah dengan memberi kekuasaan kepada para mullah," kata
Behesti. Namun ia bukanlah orang yang punya banyak pengikut.
Menurut kalangan diplomat Barat yang pernah berhubungan dengan
Behesti, ayatullah itu administrator yang cukup punya reputasi.
Tapi dalam hal ekonomi ia konservatif bila dibanding dengan
Bani Sadr yang terkenal dengan sosialisme Islam-nya itu.
Banyak orang Iran yang tidak percaa pada maksud baik Behesti.
Seorang mahasiswa militan menyebutnya sebagai "manipulator yang
hanya menginginkan kekuasaan buat dirinya sendiri." Walaupun
begitu sang ayatullah ini seorang politikus yang sulit dicari
tandingannya di Iran. Ia memiliki kemampuan mempengaruhi orang
lain secara diam-diam.
Ketika mahasiswa militan menduduki gedung kedutaan-besar AS di
Teheran, November tahun lalu, Behesti menggunakan kesempatan itu
untuk menjatuhkan kabinet Mehdi Bazargan. Dan ketika Presiden
Bani Sadr dan Menlu Sadeq Ghotbzadeh mencoba secara bersama
jalan kompromis untuk melepaskan para sandera Amerika, Behesti
memberi kesan seakan-akan ia juga berada di jalan yang sama.
Tapi seorang anggota Dewan Revolusi menuturkan, bahwa apa yang
dilakukan Behesti tidak lebih dari usaha untuk membuat Bani Sadr
dan Chotbzadeh semakin lemah di mata kaum revoluisoner-Iran.
Apalagi koran Republik Islam milik PRI secara. terus menerus
menyerang Bani Sadr dan Ghotbzadeh dengan menyebut mereka
sebagai 'anti-Islam'.
Melihat siasat Behesti, akan sulit bagi Bani Sadr untuk
mendapatkan persetujuan Majlis mengenai calon perdana menteri
yang diajukannya. Apalagi 130 anggota Majlis dari 206 kursi yang
ada berada di bawah komando Behesti. Sementara itu Ayatullah
Khomeini telah menolak untuk campur tangan dalam soal penunjukan
perdana menteri. Menurut siaran radio Teheran, Khomeini
menyerahkan sepenuhnya urusan itu kepada Presiden Bani Sadr dan
Majlis.
Sikap Khomeini ini tampaknya mempersulit Bani Sadr, karena
posisinya selalu menentukan. Dan kesempatan ini ternyata tidak
disia-siakan oleh Behesti. Laporan UPI yang diterima di Paris
mengatakan bahwa Behesti telah memberi ultimatum kepada Bani
Sadr untuk menyetujui calon yang diajukan PRI.
Sementara pertentangan politik semakin menajam di antara
pendukung Khomeini, berita tentang usaha penggulingan kekuasaan
semakin santer. Menurut Bani Sadr, dalam 4 bulan terakhir ini
ada 6 kali usaha kudeta yang digagalkan. Umumnya kelompok
militer dituduh bekerjasama dengan bekas PM Shahpour Bakhtiar
dan unsur asing lainnya.
"Saya tidak terlibat dalam semua gerakan itu," kata Shahpour
Bakhtiar kepada majalah Le Nouvel Observateur yang terbit di
Paris. Namun ia mencatat bahwa banyak orang Iran yang tidak
senang dengan pemerintahan yang dikuasai para mullah itu.
Khomeini akan jatuh karena situasi ekonomi yang semakin
memburuk, katanya. "Kalau uang tidak ada lagi iman pun akan
meleleh." Ini terutama ditujukannya kearah para mullah yang
selama ini menikmati hasil petrodollar.
Menurut Shahpour kesalahan Khomeini yang terbesar ialah
menghipnotis rakyat untuk tidak berpolitik, sedang ia
sewenang-wenang menjatuhkan hukuman. "Di Pdris sebuah kelompok
penyayang binatang telah mengajukan protes pada Presiden Valery
Giscard d'Estaing karena adanya perlakuan yang tidak layak
terhadap binatang. Sedang di Iran berita hukuman mati
diberitakan melalui radio dan televisi bagaikan siaran
meteorologi," kata bekas PM itu.
Memang masalah hukuman mati di Iran hampir merupakan berita
sehari-hari. Dan tak tanggung-tanggung pelaksanaannya.
Pertengahan Juli, 7 orang pria dan wanita telah dieksekusi di
sebuah jalan raya di Teheran. Sementara itu orang lainnya
dieksekusi di Jalan Jamshid, bekas kompleks pelacuran. Mereka
dituduh telah melakukan perbuatan zina, homosexual dan
mengedarkan morfin.
Cara eksekusinya berbeda-beda. Ada yang digantung, ada yang
diternbak sampai mati dan ada juga yang dilempari batu.
Menurut sebuah laporan Newsweek, pertengahan Juli, orang
terhukum yang dituduh melakukan zina telah dieksekusi dengan
cara dilempari batu. Mula-mula keempatnya 2 lelaki dan 2 wanita
setengah baya -- didatangi seorang mullah yang berpakaian
algojo. Kemudian pekerja membawa mereka ke sebuah lubang kubur
Yang sudah disediakan. Telah tersedia batu-batu sebesar bola.
Hakim yang memutuskan hukuman itu melemparkan batu pertama yang
kemudian disusul oleh orang-orang yang berada di sekitar situ.
Dalam waktu 15 menit, keluar pengumuman bahwa para penzina itu
telah mati. Dan di Jerman, sebuah kota di Iran barat daya,
seorang pencuri juga telah dijatuhi hukuman mati dengan
lemparan batu.
Memang hampir tak ada revolusi yang tanpa darah. Apa yang
dihadapi Iran sekarang ini mungkin merupakan letupan suatu
dendam lama. Hukuman mati di Iran itu agak merusak citra
Revolusi Islam yang dicanangkan. Khomeini, meskipun jumlahnya
mungkin belum sebesar korban SAVAK semasa Syah masih berkuasa.
Sementara itu ekonomi Iran semakin memburuk. Inflasi mencapai
50% Tapi Presiden Bani Sadr rupanya masih optimistis. Ia bahkan
mengatakan "Saya bangga untuk mengumumkan bahwa adalah pertama
kalinya dalam masa 30 tahun Iran tidak perlu mengimpor gandum
lagi."
Namun sumber pendapatan Iran yang utama yaitu ekspor minyak
tampak semakin menurun. Dibanding semasa Syah masih berkuasa
Iran mengekspor 5 sampai 6 juta barrel minyak per hari, beberapa
bulan terakhir ini hanya berkisar 700 ribu barrel. Meskipun
harga minyaknya telah ditetapkan US$ 36 per barrel, kalangan
pengamat ekonomi tidak percaya bahwa itu bisa menutupi kebutuhan
Iran. Bahkan Bank Sentral Iran akhir-akhir ini konon sibuk
menarik depositnya yang ada di luar negeri.
ITUPUN ternyata masih belum cukup. Pemerintah Iran mulai
menetak sebanyak-banyaknya uang kertas. Seorang pejabat Bank
Sentral berkomentar pada Middle East Newsletter: "Tolong jangan
tanya saya berapa jumlahnya. Saya tahu, tapi sungguh
mengerikan."
Iran semula berharap untuk meneapai target pendapatan dari
minyak sebesar US$ 25 milyard tahun ini. Tapi Ali Reza Nobari,
Direktur Bank Sentral Iran, mengatakan bahwa pendapatan minyak
mungkin tak sampai US$ 10 milyar.
Sebagai akibat embargo AS dan sekutunya, Iran juga mengalami
kesulitan untuk membeli suku cadang bagi keperluan industrinya.
Maka kalangan pengamat menganggap bahwa dalam situasi politik di
Iran yang semakin tidak menentu itu adalah sulit buat siapa
pun-bila ditunjuk dalam kabinet yang baru -- untuk mengatasi
masalah ekonomi yang semakin rumit itu.
Penyelesaian masalah sandera--yan& mungkin akan bisa mengakhiri
embargo terhadap Iran -- tampaknya tak akan berlangsung dalam
waktu dekat ini. Kematian Syah ternyata tdak mempengaruhi sikap
Iran. Mereka tetap bertahan untuk tidak membebaskan para sandera
Amerika yang sudah disekap mahasiswa selama 9 bulan. Dan suatu
tuntutan yaitu 'kembalikan seluruh harta kekayaan Syah'
merupakan syarat utama bagi pembebasan itu.
Ayatullah Hashemi Rafsanjani, jurl bicara Majlis, telah
mengemukakan bahwa tidak ada penyelesaian damai terhadap masalah
sandera. Tentang permintaan 180 anggota Congress AS yang
menghimbau agar dibebaskannya sandera itu, Rafsanjani
mengatakan: "Kami tidak punya waktu untuk membawa masalah ini ke
Majlis sekarang. Kami akan membicarakannya pada waktu lain."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini