Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Marginalia

Utopia Ideologi Komunis

Beberapa tokoh indonesia, di tahun 1920-an menggabungkan antara nasionalisme dan komunisme, misalnya misbach dan datuk batuah. kini utopia itu timbul juga di iran pada pemuda mujahidin khalq.

9 Agustus 1980 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

"Djangan loep jangan laloe! dan djangan maoe ketinggalan! Pemandangan Islam tersedia untuk membela Ra'jat jang melarat, dan tertindas". IKLAN itu mungkin tipikal buat Indonesia di tahun 20-an yang resah. Ia mengkhabarkan akan terbitnya sebuah suratkabar perjuangan. Ia dimuat 11 November 1923 dalam sebuah suratkabar perjuangan lain, yang namanya sampai kini tak tertirukan: Djago! Djago!. Yang menarik dari semua itu ialah bahwa baik Pemandangan Islam maupun Djago! Djago! keduanya membawa bendera Islam, tapi juga panji komunisme. Keduanya didirikan dan diasuh oleh Achmad Chatib gelar Haji Datuk Batuah, orang dari Kota Lawas yang--bagi para ulama dan penghulu adat di Sumatera Barat waktu itu--mencengangkan dan sekaligus mencemaskan. Sebab Datuk Batuah, haji itu, adalah murid ulama ternama Haji Rasul. Ia sendiri sampai awal tahun 1923 jadi guru dan pengurus Tawalib Sumatra, yang mensponsori pelbagai sekolah di Padang Panjang, Batu Sangkar dan Bukit Tinggi. Tapi toh haji dan penghulu adat ini kemudian memaklumkan diri sebagai -"orang komunis". Tapi bagaimana semua itu mungkin Komunis, dan juga Muslim? Indonesia di tahun 20-an memang memungkinkan banyak hal, yang ramai. Datuk Batuah tidak sendirian. Di Surakarta, tempat dua keraton Jawa terletak, bila tokoh lain yang tak kalah aneh: Haji Misbach (ejaan lama). Ia anak pedagang batik, tapi hatinya radikal. Di tahun 1915 ia sudah memulai riwayatnya sebagai pembangkang ia menolak untuk memperbaiki rumahnya, yang menurut aturan gubernemen harus dirombak demi kesehatan lingkungan. Puncak protesnya drastis Misbach meninggalkan rumah miliknya sendiri itu. Dalam arti yang lebih dalam, Misbach juga meninggalkan dunianya yang lama. Ia segera terlibat dalam pelhagai organisasi pergerakan, antara lain Sarikat Islam (Sl) dan Insulinde. Ketika para petani gula bergolak, antara lain membakari ladang tebu, Misbach termasuk yang dicurigai pemerintah. Ketika di Surakarta para petani marah terhadap keharusan bekerja tambahan sebagai ganti pembayar pajak. Misbach memang memimpin sebuah protes yang berlangsung enam bulan. 1919, ia ditangkap. Haji Misbach kini terutama dicatat sebagai orang komunis yang menyusup ke kalangan muslimin. Sebuah artikel menarik oleh Anhar Gonggong dalam majalah Persepsi menyebutnya sebagai satu contoh, tentang cara kaum komunis "memanfaatkan" Islam. Misbach, yang memimpin penerbitan Mimbar Moeslimin dan Islam Bergerak, memang telah memilih "merah". Tokoh Sarikat Islam Merah ini pasang garis menghadapi "Si kapitalis" yang dipimpin Tjokroaminoto dan Agus Salim. Suatu saat ia bahkan dicalonkan oleh kaum komunis di Negeri Belanda untuk duduk di parlemen, dalam pemilu 1925. Misbach sendiri sudah dibuang Manokwari di tahun 1924. Ia meninggal di sana awal 1926, didahului oleh istrinya. Namanya bukanlah nama yang bagus di kalangan pergerakan Islam, hingga kini. Pihak Belanda, anehnya lebih hormat kepadanya-- setidaknya menurut Ruth McVey dalam bukunya tentang gerakan komunis Indonesia masa itu, The Rise of Indonesian Communism. Menurut penguasa kolonial, tulis McVey, Misbach digerakkan oleh idealisme, hukan ambisi. Apa pun yang menggerakkan Misbach, keadaan juga yang melahirkan orang macam dia, dan macam Datuk Batuah. Hanya situasi yang begitu dibenci orang banyak yang bisa menyebabkan Islam bersatu dengan komunis. Hanya keadaan yang begitu disumpahi pelbagai aliran di masyarakat yang menyebabkan Bung Karno, suatu ketika, ingin menggabungkan Marxisme, Islamis ne dan Nasionalisme -- dan membikin orang Barat bengon lalu bicara tentang "kecenderungan sinkretisme Jawa." "Sinkretisme Jawa"? Di Iran, di bawah Almarhum Syah, kencenderungan senirupa toh terlihat: para pemuda Mojahidin-i Khalq, misalnya, mencoba mengawinkan semanga Islam mereka dengan Marxisme, dari Partai Tudeh pun mendukung Khomeini. Tentu saja 1979-1980 lain dengan 1920-an: komunisme kini telah terbukti tak juga membawa kemerdekaan dan kemakmuran. Utopia itu, seperti yang lain-lain, telah runtuh. Kita belum tahu bagaimana nanti Utopil dari kota Qom.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus