"Djangan loep jangan laloe! dan djangan maoe ketinggalan!
Pemandangan Islam tersedia untuk membela Ra'jat jang melarat,
dan tertindas".
IKLAN itu mungkin tipikal buat Indonesia di tahun 20-an yang
resah. Ia mengkhabarkan akan terbitnya sebuah suratkabar
perjuangan. Ia dimuat 11 November 1923 dalam sebuah suratkabar
perjuangan lain, yang namanya sampai kini tak tertirukan: Djago!
Djago!.
Yang menarik dari semua itu ialah bahwa baik Pemandangan Islam
maupun Djago! Djago! keduanya membawa bendera Islam, tapi juga
panji komunisme. Keduanya didirikan dan diasuh oleh Achmad
Chatib gelar Haji Datuk Batuah, orang dari Kota Lawas yang--bagi
para ulama dan penghulu adat di Sumatera Barat waktu
itu--mencengangkan dan sekaligus mencemaskan.
Sebab Datuk Batuah, haji itu, adalah murid ulama ternama Haji
Rasul. Ia sendiri sampai awal tahun 1923 jadi guru dan pengurus
Tawalib Sumatra, yang mensponsori pelbagai sekolah di Padang
Panjang, Batu Sangkar dan Bukit Tinggi. Tapi toh haji dan
penghulu adat ini kemudian memaklumkan diri sebagai -"orang
komunis".
Tapi bagaimana semua itu mungkin Komunis, dan juga Muslim?
Indonesia di tahun 20-an memang memungkinkan banyak hal, yang
ramai. Datuk Batuah tidak sendirian. Di Surakarta, tempat dua
keraton Jawa terletak, bila tokoh lain yang tak kalah aneh:
Haji Misbach (ejaan lama). Ia anak pedagang batik, tapi hatinya
radikal. Di tahun 1915 ia sudah memulai riwayatnya sebagai
pembangkang ia menolak untuk memperbaiki rumahnya, yang menurut
aturan gubernemen harus dirombak demi kesehatan lingkungan.
Puncak protesnya drastis Misbach meninggalkan rumah miliknya
sendiri itu.
Dalam arti yang lebih dalam, Misbach juga meninggalkan dunianya
yang lama. Ia segera terlibat dalam pelhagai organisasi
pergerakan, antara lain Sarikat Islam (Sl) dan Insulinde. Ketika
para petani gula bergolak, antara lain membakari ladang tebu,
Misbach termasuk yang dicurigai pemerintah. Ketika di Surakarta
para petani marah terhadap keharusan bekerja tambahan sebagai
ganti pembayar pajak. Misbach memang memimpin sebuah protes yang
berlangsung enam bulan. 1919, ia ditangkap.
Haji Misbach kini terutama dicatat sebagai orang komunis yang
menyusup ke kalangan muslimin. Sebuah artikel menarik oleh Anhar
Gonggong dalam majalah Persepsi menyebutnya sebagai satu contoh,
tentang cara kaum komunis "memanfaatkan" Islam.
Misbach, yang memimpin penerbitan Mimbar Moeslimin dan Islam
Bergerak, memang telah memilih "merah". Tokoh Sarikat Islam
Merah ini pasang garis menghadapi "Si kapitalis" yang dipimpin
Tjokroaminoto dan Agus Salim. Suatu saat ia bahkan dicalonkan
oleh kaum komunis di Negeri Belanda untuk duduk di parlemen,
dalam pemilu 1925.
Misbach sendiri sudah dibuang Manokwari di tahun 1924. Ia
meninggal di sana awal 1926, didahului oleh istrinya. Namanya
bukanlah nama yang bagus di kalangan pergerakan Islam, hingga
kini. Pihak Belanda, anehnya lebih hormat kepadanya-- setidaknya
menurut Ruth McVey dalam bukunya tentang gerakan komunis
Indonesia masa itu, The Rise of Indonesian Communism. Menurut
penguasa kolonial, tulis McVey, Misbach digerakkan oleh
idealisme, hukan ambisi.
Apa pun yang menggerakkan Misbach, keadaan juga yang melahirkan
orang macam dia, dan macam Datuk Batuah. Hanya situasi yang
begitu dibenci orang banyak yang bisa menyebabkan Islam bersatu
dengan komunis. Hanya keadaan yang begitu disumpahi pelbagai
aliran di masyarakat yang menyebabkan Bung Karno, suatu ketika,
ingin menggabungkan Marxisme, Islamis ne dan Nasionalisme --
dan membikin orang Barat bengon lalu bicara tentang
"kecenderungan sinkretisme Jawa."
"Sinkretisme Jawa"? Di Iran, di bawah Almarhum Syah,
kencenderungan senirupa toh terlihat: para pemuda Mojahidin-i
Khalq, misalnya, mencoba mengawinkan semanga Islam mereka dengan
Marxisme, dari Partai Tudeh pun mendukung Khomeini. Tentu saja
1979-1980 lain dengan 1920-an: komunisme kini telah terbukti
tak juga membawa kemerdekaan dan kemakmuran. Utopia itu,
seperti yang lain-lain, telah runtuh. Kita belum tahu
bagaimana nanti Utopil dari kota Qom.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini