TIDAK seperti jawaban yang terdahulu -- yang langsung dibacakan
di sidang pleno, surat Presiden tertanggal 31 Juli itu ditujukan
ke alamat Ketua DPR RI. Isinya: "Tanggapan atas pertanyaan 19
anggota DPR RI tertanggal 5 Juli 1980". Ada 3 lampiran
menyertainya: naskah pidato tertulis dan transkripsi pidato
umbahan Presiden pada Rapim ABRI 27 Maret 1980 di Pakanbaru
serta sebuah lagi transkripsi pidato Presiden pada HUT
Kopassandh April 1980 di Cijantung, Jakarta.
Presiden meminta agar Ketua DPR meneruskan naskah dan
transkripsi itu pada para penanya tersebut. Diharapkannya,
dengan membaca baik-baik pidato tersebut, "wakil-wakil rakyat
yang telah banyak memiliki pengalaman politik" akan dapat
memahami maksud serta isi pidato Presiden itu.
Presiden masih membuka kesempatan. Bila para penanya menganggap
bahan-bahan yang disampaikan tadi kurang memadai, para penanya
dapat menyalurkan pertanyaannya melalui rapat-rapat Komisi DPR.
Dan pemerintah akan menugasi Menteri Hankam/Pangab untuk memberi
penjelasan tambahan, khususnya yang menyangkut latar belakang
"Petisi 50" yang dipersoalkan oleh para penanya.
Kenapa Presiden tidak menjawabnya seperti pernah dilakukan
sebelumnya? "Saya rasa yang paling tahu ini Presiden sendiri,"
kata Ketua DPR Daryatmo menjawab pertanyaan wartawan tatkala
mengumumkan tanggapan Presiden ini Jumat lalu. Ia menunjuk pada
Peraturan Tatatertib DPR. "Meski para anggota penanya meminta
agar dijawab secara lisan di sidang paripurna jawaban terserah
pada Presiden. Tida ada peraturan tatatertib yang mengharuskan
menjawab secara lisan," ujar Daryatmo.
Selama masa sidang DPR 1979/1980, para anggota DPR telah 5 kali
menggunakan hak bertanya mereka. Empat pertanyaan terdahulu,
mengenai Pertamina dan kasus almarhum Haji Thahir, Garuda,
Kebijaksanaan Ekonomi dan BI 1946, dijawab pemerintah secara
terbuka di sidang pleno DPR. Kali ini, menghadapi pertanyaan 19
anggota DPR dari F-PP dan F-PDI mengenai "Petisi 50 Orang",
Presiden menanggapinya secara tertulis dan menggunakan istilah
"tanggapan" dan bukannya "jawaban".
Reaksi terhadap tanggapan Presiden bermacam-macam. Soedarko dari
F-KP menilai tanggapan Presiden itu telah memadai. Maksudnya,
sudah seimbang dengan munl pertanyaannya. "Jawaban seperti
sekarang memang tidak pantas disampaikan di sidang pleno DPR.
Mutu pertanyaannya sendiri juga tidak pantas dijawab dalam
sidang pleno," ujarnya. Karena itu ia mendukung pendapat
Presiden untuk - kalau dianggap masih perlu -- melanjutkannya di
rapat-rapat komisi saja.
Merangkul Yang Ekstrim
Yang tidak puas adalah para penanya Menurut Chalik Ali dari F-PP
apa yang dilampirkan dalam tanggapan Presiden sudah dibacanya di
media massa. "Justru dari situlah kami mempertanyakan", katanya
pada TEMPO. Harapan para penanya, agar Presiden memberi
penjelasan lebih lanjut mengenai pidatonya, menurut Chalik Ali
belum dipenuhi. "Masalahnya diambangkan," tambahnya.
Yang menjadi permasalahan penanya, menurut Chalik Ali, terutama
kedudukan ABRI yang harus berdiri di atas semua golongan dan
tidak memihak golongan tertentu. "Lalu ke mana lagi partai
politik akan menghimbau kalau sudah dipasang harga mati melalui
pidato presiden di Pakanbaru? ", tanyanya.
Yang lebih tandas lagi tanggapan Usep Ranawidjaja, salah satu
penanya dari F-PDI. "Itu belum menjawab. Masalahnya masih
menggantung," ucapnya pekan lalu. Ia memandang perlu segera
adanya langkah untuk menyelesaikan secara tuntas. Caranya?
"Harus dijawab dalam suatu sidang pleno, supaya risalahnya dapat
diketahui rakyat banyak. Dan lagi, tidak bisa diterima kalau
yang bicara itu cuma menteri dalam sidang komisi," katanya.
Usep mengatakan, ia ikut menandatangani pertanyaan itu "sebagai
seorang Marhaenis yang merasa ikut disasar pula oleh Presiden
dalam pidatonya di Pakanbaru. "Segala macam isme dituduh menjadi
penyebab tenggelamnya Pancasila. Di mana tidak benarnya?
Bukankah Pancasila itu dilahirkan oleh partai yang berdasarkan
isme-isme itu," katanya Sabtu lalu.
Menurut Usep, untuk penyelesaiannya Presiden hendaknya memanggil
para tokoh masyarakat untuk mengadakan dialog nasional. Sikap
tidak mau menjawab itu menurutnya justru akan mempertajam
kedudukan ekstrimitas seperti disebut dalam pidato Presiden.
"Sebaiknya yang ekstrim dirangkul supaya dekat bukan dijauhi,"
katanya.
Melihat sikap pemerintah, tampaknya harapan para penanya itu
sulit dipenuhi. Tanggapan tertulis Presiden agaknya sudah
merupakan sikap yang "maksimal": menanggapi namun tidak menjawab
seperti yang diharapkan penanya. Tidak adanya jawaban melalli
sidang pleno berarti juga masalah "Petisi 50 Orang" yang
tampaknya ingin ditembus oleh 19 penanya dari DPR tetap
"terpagari". Sebab jawaban pemerintah lewat Komisi bisa
diberikan dalam sidang tertutup yang hasilnya tidak selalu bisa
disiarkan pers.
Karena itu kekecewaan para penanya terhadap taktik pemerintah
ini hisa dimaklumi. "Kalau masuk Komisi, sama saja kami
dimasukkan perangkap mati. Dijawab, tapi of the record . .
habis semua," kata Jusuf Hasjim, salah satu penanya dari F-PP.
Sebelum ada kejelasan aras tanggapan pemerintah, menurut Jusuf,
para penanya tidak akan mempertanyakan lagi soal Petisi itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini