Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Puas Atau Tidak, Masih Ada ...

Tanggapan/jawaban presiden Soeharto atas pertanyaan 19 orang anggota DPR mengenai 'petisi 50', dan reaksi-reaksi terhadap tanggapan/jawaban presiden tersebut. (nas)

9 Agustus 1980 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TIDAK seperti jawaban yang terdahulu -- yang langsung dibacakan di sidang pleno, surat Presiden tertanggal 31 Juli itu ditujukan ke alamat Ketua DPR RI. Isinya: "Tanggapan atas pertanyaan 19 anggota DPR RI tertanggal 5 Juli 1980". Ada 3 lampiran menyertainya: naskah pidato tertulis dan transkripsi pidato umbahan Presiden pada Rapim ABRI 27 Maret 1980 di Pakanbaru serta sebuah lagi transkripsi pidato Presiden pada HUT Kopassandh April 1980 di Cijantung, Jakarta. Presiden meminta agar Ketua DPR meneruskan naskah dan transkripsi itu pada para penanya tersebut. Diharapkannya, dengan membaca baik-baik pidato tersebut, "wakil-wakil rakyat yang telah banyak memiliki pengalaman politik" akan dapat memahami maksud serta isi pidato Presiden itu. Presiden masih membuka kesempatan. Bila para penanya menganggap bahan-bahan yang disampaikan tadi kurang memadai, para penanya dapat menyalurkan pertanyaannya melalui rapat-rapat Komisi DPR. Dan pemerintah akan menugasi Menteri Hankam/Pangab untuk memberi penjelasan tambahan, khususnya yang menyangkut latar belakang "Petisi 50" yang dipersoalkan oleh para penanya. Kenapa Presiden tidak menjawabnya seperti pernah dilakukan sebelumnya? "Saya rasa yang paling tahu ini Presiden sendiri," kata Ketua DPR Daryatmo menjawab pertanyaan wartawan tatkala mengumumkan tanggapan Presiden ini Jumat lalu. Ia menunjuk pada Peraturan Tatatertib DPR. "Meski para anggota penanya meminta agar dijawab secara lisan di sidang paripurna jawaban terserah pada Presiden. Tida ada peraturan tatatertib yang mengharuskan menjawab secara lisan," ujar Daryatmo. Selama masa sidang DPR 1979/1980, para anggota DPR telah 5 kali menggunakan hak bertanya mereka. Empat pertanyaan terdahulu, mengenai Pertamina dan kasus almarhum Haji Thahir, Garuda, Kebijaksanaan Ekonomi dan BI 1946, dijawab pemerintah secara terbuka di sidang pleno DPR. Kali ini, menghadapi pertanyaan 19 anggota DPR dari F-PP dan F-PDI mengenai "Petisi 50 Orang", Presiden menanggapinya secara tertulis dan menggunakan istilah "tanggapan" dan bukannya "jawaban". Reaksi terhadap tanggapan Presiden bermacam-macam. Soedarko dari F-KP menilai tanggapan Presiden itu telah memadai. Maksudnya, sudah seimbang dengan munl pertanyaannya. "Jawaban seperti sekarang memang tidak pantas disampaikan di sidang pleno DPR. Mutu pertanyaannya sendiri juga tidak pantas dijawab dalam sidang pleno," ujarnya. Karena itu ia mendukung pendapat Presiden untuk - kalau dianggap masih perlu -- melanjutkannya di rapat-rapat komisi saja. Merangkul Yang Ekstrim Yang tidak puas adalah para penanya Menurut Chalik Ali dari F-PP apa yang dilampirkan dalam tanggapan Presiden sudah dibacanya di media massa. "Justru dari situlah kami mempertanyakan", katanya pada TEMPO. Harapan para penanya, agar Presiden memberi penjelasan lebih lanjut mengenai pidatonya, menurut Chalik Ali belum dipenuhi. "Masalahnya diambangkan," tambahnya. Yang menjadi permasalahan penanya, menurut Chalik Ali, terutama kedudukan ABRI yang harus berdiri di atas semua golongan dan tidak memihak golongan tertentu. "Lalu ke mana lagi partai politik akan menghimbau kalau sudah dipasang harga mati melalui pidato presiden di Pakanbaru? ", tanyanya. Yang lebih tandas lagi tanggapan Usep Ranawidjaja, salah satu penanya dari F-PDI. "Itu belum menjawab. Masalahnya masih menggantung," ucapnya pekan lalu. Ia memandang perlu segera adanya langkah untuk menyelesaikan secara tuntas. Caranya? "Harus dijawab dalam suatu sidang pleno, supaya risalahnya dapat diketahui rakyat banyak. Dan lagi, tidak bisa diterima kalau yang bicara itu cuma menteri dalam sidang komisi," katanya. Usep mengatakan, ia ikut menandatangani pertanyaan itu "sebagai seorang Marhaenis yang merasa ikut disasar pula oleh Presiden dalam pidatonya di Pakanbaru. "Segala macam isme dituduh menjadi penyebab tenggelamnya Pancasila. Di mana tidak benarnya? Bukankah Pancasila itu dilahirkan oleh partai yang berdasarkan isme-isme itu," katanya Sabtu lalu. Menurut Usep, untuk penyelesaiannya Presiden hendaknya memanggil para tokoh masyarakat untuk mengadakan dialog nasional. Sikap tidak mau menjawab itu menurutnya justru akan mempertajam kedudukan ekstrimitas seperti disebut dalam pidato Presiden. "Sebaiknya yang ekstrim dirangkul supaya dekat bukan dijauhi," katanya. Melihat sikap pemerintah, tampaknya harapan para penanya itu sulit dipenuhi. Tanggapan tertulis Presiden agaknya sudah merupakan sikap yang "maksimal": menanggapi namun tidak menjawab seperti yang diharapkan penanya. Tidak adanya jawaban melalli sidang pleno berarti juga masalah "Petisi 50 Orang" yang tampaknya ingin ditembus oleh 19 penanya dari DPR tetap "terpagari". Sebab jawaban pemerintah lewat Komisi bisa diberikan dalam sidang tertutup yang hasilnya tidak selalu bisa disiarkan pers. Karena itu kekecewaan para penanya terhadap taktik pemerintah ini hisa dimaklumi. "Kalau masuk Komisi, sama saja kami dimasukkan perangkap mati. Dijawab, tapi of the record . . habis semua," kata Jusuf Hasjim, salah satu penanya dari F-PP. Sebelum ada kejelasan aras tanggapan pemerintah, menurut Jusuf, para penanya tidak akan mempertanyakan lagi soal Petisi itu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus