KAMI hanyalah negeri kecil yang miskin. Kami butuh bantuan Tuan-Tuan." Kalimat memelas tersebut meluncur dari bibir Mari Alkatiri pada awal pekan lalu. Di depan 200 perwakilan lembaga donor internasional yang memadati Hotel Timor di Dili, Perdana Menteri Timor Loro Sa'e itu menggelar kesengsaraan negerinya. Pidato itu tidak sia-sia. Para negara donor segera menyawer bantuan senilai US$ 175 juta atau sekitar Rp 1,7 triliun.
Uang segar memang amat diperlukan negeri yang baru berusia enam bulan itu saat ini. Dua pekan lalu—seperti yang dilaporkan ABCNews.com—setelah menenangkan kemarahan massa dalam sebuah demonstrasi di Dili yang menentang penahanan dua orang mahasiswa, Presiden Xanana Gusmao mengeluh, "Jika kerusuhan semacam ini terus berlanjut, semua orang akan meninggalkan kita dan melupakan kita dalam kemiskinan." Xanana tidak mengada-ada.
Sejak merdeka pada 20 Mei 2002, bekas provinsi ke-27 Indonesia itu betul-betul harus menyandarkan diri pada kemurahan hati lembaga donor internasional. Investasi asing memang sudah masuk, tapi kebanyakan berupa bantuan infrastruktur—sementara Xanana mengatakan mereka amat memerlukan dana cair sebagai prioritas. Cobalah jalan-jalan ke Pasar Swalayan Hello Mister di Dili. Milik seorang pengusaha Australia, toko swalayan itu sehari-hari diurus oleh Kirk MacCanus, manajer kelahiran Kanada. Dagangan dalam toko itu tentu saja hanya bisa dibayar oleh para staf asing yang kini berdiam di sana: selai kacang, kue keju, sosis, buah kaleng, bir, dan sebagainya. Orang lokal kecipratan rezeki dengan bekerja sebagai pegawai toko.
Celakanya, kerusuhan dua pekan lalu membuat para pegawai toko itu kehilangan pekerjaan: toko swalayan itu porak-poranda dihajar para perusuh. "Mudah-mudahan peristiwa itu tidak berpengaruh pada semua investor potensial di sini," kata MacCanus. Bila itu sampai terjadi, Timor Loro Sa'e kian tenggelam dalam lubang kemiskinan. Apalagi satu-satunya pemasukan devisa yang bisa dipetik Timor sekarang adalah ekspor kopi, yang hanya senilai kurang-lebih US$ 16 juta. "Bila mengandalkan ekspor, kami semua akan mati kelaparan," Xanana berterus terang.
Dalam wawancara dengan TEMPO pada tahun 2000, Xanana mengatakan, "Perbaikan ekonomi akan menjadi salah satu prioritas terpenting." Tapi Joao Mariano de Sousa Saldanha, Direktur Eksekutif East Timor Study Group, menyatakan bahwa ekspektasi rakyat Timor Loro Sa'e terhadap kemerdekaan terlalu berlebihan dan mereka berharap kemakmuran langsung tiba. "Saya sendiri tak membayangkan keadaannya begini sulit," ujar Joao Mariano.
Catatan dari Perserikatan Bangsa-Bangsa menunjukkan pengangguran melanda hampir 60 persen—dari 950 ribu penduduk. Lembaga ini juga mencatat bahwa rata-rata penduduk hanya hidup dengan biaya tak sampai Rp 6.000 per hari. Sekitar 20 ribu penduduk berusia produktif hanya bekerja secara tak tetap. Maka melonjaklah kriminalitas. Problem ini masih ditambah konflik antar-elite politik, penegakan hukum yang payah, dan budaya korupsi yang tumbuh subur. Tak mengherankan jika dua pekan lalu meletus kerusuhan yang menewaskan lima warga sipil dan melukai puluhan warga lainnya.
Maka—seperti yang dikatakan Xanana—perbaikan ekonomi akan menjadi jalan pintas untuk meredam problem sosial lainnya. Mari Alkatiri menyodorkan Celah Timor, yang mengandung minyak dan gas, sebagai kartu truf untuk membereskan kemiskinan negeri itu. Menurut sang Perdana Menteri, lima miliar barel minyak bumi di selat yang berbatasan dengan wilayah Australia ini akan mengalirkan dolar dan kemakmuran bagi Timor Loro Sa'e.
Saat ini, pemerintahan Xanana bekerja sama dengan Australia tengah serius mengkaji proyek pemipaan dari Celah Timor ke Australia. Bila tak ada aral, pada tahun 2006 kelak, Celah Timor akan mulai berproduksi. Tiap tahun negara termuda di dunia ini akan meraup devisa tak kurang dari US$ 1,5 miliar. Dari perhitungan sementara, kandungan minyak dan gas Celah Timor baru akan habis setelah masa eksplorasi 20 tahun. Wajar jika Alkatiri sudah berani berangan-angan dari jauh-jauh hari. "Kami akan kaya seperti Brunei Darussalam," ujarnya.
Tapi kekayaan itu toh masih dalam rupa angan-angan. Empat tahun mendatang—bila semua kerja sama berjalan baik—baru minyak mulai mengalir. Sebelum itu, bantuan dari tuan-tuan pendonor akan tetap menjadi tulang punggung utama perbaikan ekonomi Timor Loro Sa'e.
Setiyardi (Jakarta), Alexandre Assis (Timor Loro Sa'e)
Wajah Timor Loro Sa'e (estimasi 2001)
Penduduk: 950 ribu jiwa
Pendapatan per kapita: US$ 320
Pendapatan domestik kotor: US$ 350 juta
Sumber: United Nations Mission of Support in East Timor
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini