CARACAS, awal Desember 2002. Antrean mengular di depan pintu masuk setiap pasar swalayan di ibu kota Venezuela itu. Para pembeli menyerbu toko-toko dengan panik dan memborong setiap keping barang yang ada tanpa pikir. Di depan berbagai pompa bensin, deretan kendaraan berjajar memacetkan jalan. Rombongan tentara bersenjata lengkap diterjunkan ke pompa-pompa bensin untuk memastikan setiap mobil dilayani dengan baik. Dan di depan pelataran Banco de Venezuela, manusia menyemut hingga ratusan meter. "Nasabah ingin segera menarik uangnya," kata Constanza Quaggiotto, seorang nasabah bank tersebut.
Di jalan-jalan Caracas, suasana ingar-bingar. Penduduk memukul-mukul panci dalam aksi demonstrasi menuntut pengunduran diri Presiden Hugo Chavez. Seluruh hiruk-pikuk ini timbul karena kampanye pemogokan yang dimotori oleh kelompok oposisi. Pasalnya, oposisi menuduh Chavez akan mengubah Venezuela menjadi negara sosialis seperti Kuba. Pihak oposisi juga geram karena kebijakan sayap kiri Chavez telah menyumbangkan kejatuhan ekonomi Venezuela. "Negeri ini menuntut pengunduran diri Chavez atau percepatan pemilihan umum pada kuartal pertama 2003," kata Manuel Cova, pemimpin buruh yang mewakili kelompok oposisi.
Sebaliknya, Chavez menuduh aksi pemogokan itu sebagai upaya kudeta dari sekelompok elite. Repotnya, seruan mogok itu juga diikuti oleh pegawai perusahaan minyak milik pemerintah—PDVSA. Alhasil, hanya dalam waktu sembilan hari pemogokan, produksi minyak Venezuela anjlok dari 3 juta barel per hari menjadi hanya 1 juta barel. Venezuela adalah negara terbesar kelima penghasil minyak dunia—yang menyumbangkan 70 persen pendapatan kotor domestik (GDP) Venezuela. "PDVSA adalah senjata ampuh untuk melawan Chavez " kata ahli ekonomi Orlando Ochoa. Dengan kata lain, oposisi memang menggunakan senjata minyak untuk menjatuhkan Chavez.
Hasilnya sungguh celaka. Maunya menghajar Chavez, eh, ekonomi Venezuela yang babak-belur. Maka Chavez pun mulai main keras. Dia mengerahkan tentara untuk mengoperasikan kilang minyak dan tambang minyak yang ditinggalkan pegawainya. Para tentara juga diperintah mengambil alih operasi truk minyak milik swasta yang ikut mogok. Puncaknya, kapal perang pun dikerahkan untuk memaksa tanker-tanker minyak berlayar.
Tapi sejumlah analis politik berpendapat, apa pun yang dilakukannya, tak banyak pilihan yang tersisa untuk Chavez: menghentikan pemogokan dengan kekuatan militer atau berunding dengan kelompok oposisi. Popularitas Chavez—yang pernah menjadi penerjun payung—seakan terjun bebas dari 80 persen menjadi hanya 30 persen. Untung baginya, mayoritas 45 persen kaum duafa Venezuela masih bertahan menjadi pendukungnya. Bagaimana sang Presiden akan mengatasi huru-hara ini?
Ada spekulasi bahwa pemerintah akan memberlakukan keadaan darurat perang. Tapi pemogokan yang berkepanjangan memaksa Chavez dan para pembantunya melunakkan sikap dengan cara menyambut uluran tangan Organisasi Negara Amerika (OAS). Pihak OAS diharapkan dapat menjembatani perundingan pemerintah dengan kelompok oposisi. Sekretaris Jenderal OAS Caesar Gavira menyodorkan salah satu solusi: percepatan pemilu—seharusnya baru berlangsung pada 2006.
Pemerintah memang setuju dengan usul itu. Pemilu akan dimajukan ke Agustus 2003—bukan Februari 2003 seperti yang dituntut oposisi. Amerika Serikat, yang menyerap lebih dari setengah produksi minyak Venezuela, mendukung solusi percepatan pemilu itu. Seorang diplomat Barat menyatakan, justru Amerika Serikat yang berada di balik berbagai langkah OAS.
Pihak AS memang amat berkepentingan menjaga stabilitas pasokan minyak dari Venezuela. Yang jadi problem bagi Pak George W. Bush, Chavez bukanlah sekutu yang tepat. Selain anti-globalisasi, Presiden Chavez rajin menyuarakan sikap anti-dominasi AS sebagaimana sikap sohibnya, Presiden Kuba Fidel Castro. Hubungan dengan AS kian memburuk ketika Chavez menuduh AS "memerangi teror dengan teror" saat Amerika menyerbu Afganistan setelah serangan 11 September 2001.
Upaya menggulingkan Chavez pernah terjadi pada 1992 dengan bantuan militer, tapi digagalkan kelompok militer pendukungnya. Kali ini musuhnya menggunakan kekuatan minyak. Ekonom Ricardo Hausman, bekas Menteri Perencanaan Venezuela, melukiskan upaya musuh-musuh Chavez dengan sebuah kalimat pendek yang menarik: "Ini permainan menunggu waktu."
Raihul Fadjri (AP, Christian Science Monitor, BBC, Venezuela Post)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini