Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Tangkai Zaitun Bersimbah Darah

Peluang damai Rusia-Chechnya rontok menyusul tewasnya Aslan Maskhadov.

14 Maret 2005 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Laki-laki berambut abu-abu itu tergeletak di atas genangan darah. Dari telinganya mengalir cairan merah. Luka peluru menganga di bahunya. Namun wajahnya tampak tenang dengan kelopak mata menutup. Kedua lengannya terentang bak orang menyerah. Sebagian tubuh padatnya menyembul dari balik kemeja yang tersingkap. Tubuh laki-laki yang sudah tak bernyawa ini menyedot perhatian rakyat Rusia lewat tayangan televisi, pekan lalu.

Dialah Aslan Aliyevich Maskhadov, pemimpin gerilyawan Chechnya. Presiden Vladimir Putin menghargai kepala Maskhadov US$ 10 juta (Rp 90 miliar) dengan tuduhan menjadi otak serangan berdarah gerilyawan Chechnya terhadap penduduk sipil Rusia. Pekan lalu pasukan khusus dinas rahasia Rusia FSB (Federalnaya Sluzhba Bezopasnosti) menyerbu sebuah rumah di Desa Tolstoi-Yurt, 20 kilometer di utara Grozny, ibu kota Chechnya. Maskhadov terperangkap di liang persembunyian bawah tanah. Dan dihabisi.

Di Moskow, kepala FSB, Nikolai Patrushev, dengan wajah riang bergegas ke Kremlin. "Kami menggelar operasi khusus yang berhasil menewaskan pemimpin kelompok teroris internasional, Aslan Maskhadov," kata Patrushev kepada Presiden Putin.

Putin memang melekatkan cap teroris pada gerilyawan Chechnya, diilhami perang melawan teror yang dikumandangkan Amerika Serikat. Pemerintah Rusia menyalahkan Maskhadov atas serangan di Teater Dubrovka, Moskow, pengeboman dekat Kremlin, dan penyanderaan di Beslan dengan korban 326 sandera tewas saat militer Rusia menyerbu.

Reputasi Maskhadov sebagai pemimpin gerilyawan bermula sejak konflik Chechnya meledak pada 1994. Saat itu Dzhokar Dudayez menyatakan Chechnya keluar dari Federasi Rusia. Sebagai presiden negeri baru, Dudayev mengangkat Maskhadov sebagai panglima militer. Presiden Boris Yeltsin berang dan mengirim pasukan menyerbu Chechnya. Hasilnya, sekitar 10 ribu nyawa melayang hingga 1996. Perang usai lewat perundingan damai tahun itu, dan Yeltsin menarik pasukan Rusia dari wilayah Chechnya.

Chechnya secara de facto menjadi negara independen, dan Maskhadov terpilih sebagai presiden lewat pemilu yang diakui dunia internasional. Ia menggantikan Presiden Dudayev, yang dibunuh Rusia pada 1996. Sebagai bekas kolonel Tentara Merah, Maskhadov punya disiplin tinggi, tapi dia juga seorang politisi yang siap membuka negosiasi damai. Tapi Putin, yang baru saja menjabat perdana menteri, merusak perdamaian. Ia mengirim kembali pasukan ke Chechnya pada akhir 1999.

Putin berhasil membentuk pemerintahan boneka lewat pemilu, tapi sejak itu Checnya menjadi wilayah tak bertuan, tanpa hukum, dan penuh darah. Maskhadov kembali bergerilya. Tapi, sebagai tokoh moderat, ia mulai kehilangan pengaruh di kalangan rakyatnya. Kelompok militan yang dipimpin Shamil Basayev meluaskan medan tempur hingga ke jantung Kota Moskow. Korban sipil berjatuhan, dan Putin memvonis Maskhadov sebagai pemimpin teroris.

Tapi pria kelahiran Kazakhstan 53 tahun lalu ini membantah tuduhan Putin. Ia memang memerangi pasukan Rusia, tapi ia mengatakan tak menjadikan penduduk sipil sebagai target.

Maskhadov justru dikenal sebagai tokoh moderat yang berulang kali mengibarkan "tangkai zaitun" dan menyerukan negosiasi damai untuk mengakhiri konflik brutal dengan Moskow. Februari lalu, misalnya, dia memerintahkan gerilyawan Chechnya menghentikan serangan sebagai niat baik untuk perdamaian. Bahkan sepekan sebelum tewas, ia masih meminta Putin membuka pintu damai. "Saya dapat menyelesaikan konflik di Chechnya cukup dalam pembicaraan selama 30 menit dengan Presiden Putin," ujarnya. Tapi, untuk kesekian kali Putin menolak mentah-mentah.

Kini, ketika Putin berhasil menghabisi Maskhadov, justru muncul kekhawatiran konflik Chechnya semakin tak berujung. Kematian Maskhadov malah menguatkan peran kelompok radikal. Basayev sebagai pemimpin paling senior sepeninggal Maskhadov bakal menyedot semua pengaruh. "Maskhadov menginginkan perdamaian. Sekarang dia tewas, dan pintu terbuka bagi kelompok radikal untuk memimpin gerakan," ujar Valentina Melnikova, pemimpin gerakan antiperang di Moskow.

Tak mengherankan jika Akhmed Zakayev, utusan Maskhadov di London, menilai Maskhadov jauh lebih berbahaya setelah kematiannya ketimbang saat ia masih hidup.

Raihul Fadjri (CS Monitor, BBC, The Independent)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus