Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sebuah keputusan penting diumumkan Presiden Libanon Emile Lahoud: Omar Abdul Hamid Karami, 70 tahun, yang baru saja mundur dari jabatan perdana menteri akhir bulan lalu, kembali dipercaya membentuk pemerintahan. Sebanyak 71 anggota Parlemen yang pro-Suriah, dari 128 orang, meminta Lahoud memanggil pulang Karami.
Penunjukan kembali Hamid Karamidia dikenal pro-Suriahpada Kamis pekan lalu itu langsung menyulut protes dari seantero Libanon. Reaksi lebih luas disinyalir akan muncul pada Senin minggu ini, manakala penduduk Libanon turun ke jalan mengenang tepat sebulan terbunuhnya mantan Perdana Menteri Libanon, Rafik Bahaa Edine Hariri, yang anti-pendudukan Suriah. "Ini seperti lelucon. Seolah mau mengatakan tidak ada yang perlu berubah di negara ini," ujar Samir Franjieh, salah seorang juru bicara gerakan oposisi.
Tapi Karami membantah. Dengan alasan ingin menyelamatkan Libanon dia mengundang semua faksi yang bertikai untuk terlibat dalam pemerintahannya. "Jika ini ditolak, kita akan menuju kehancuran," ujarnya. Menurut dia, pemerintahan bersama merupakan jalan tengah terbaik untuk menghindarkan Libanon dari perpecahan sepeninggal tentara Suriah.
Kelompok-kelompok pro-Suriah, termasuk Hizbullah, tampaknya akan menjawab undangan Karami dengan senang hati. Beberapa waktu lalu Sekretaris Jenderal Hizbullah Hassan Nasrallah juga menyerukan hal yang sama: "Semua kelompok harus duduk bareng untuk menyelaraskan perbedaan dan membicarakan masa depan Libanon."
Tapi tidak demikian oposisi yang memiliki 44 wakil di parlemen. Meski pada saat berkonsultasi dengan Lahoud mereka tak menyodorkan calon, jelas-jelas mereka tak menginginkan Karami. Kini mereka memilih menunggu, sambil memastikan pemerintah menepati janji menemukan pembunuh Hariri. Dan, mengusir pulang tentara Suriah, termasuk intelijennya.
Terbunuhnya Hariri oleh bom mobil di Beirutdan Suriah dituduh sebagai dalangnyamembikin rakyat Libanon mendesak Suriah agar segera menarik mundur 14 ribu tentaranya. Ini sesuai dengan Resolusi No. 1559 PBB, September 2004. Tentara Suriah mulai meninggalkan Libanon Selasa tengah malam pekan lalu. Di Batroum, Libanon utara, pos-pos jaga serdadu Suriah tampak lengang.
Pasukan Suriah akan mundur dalam dua tahap. Mula-mula 6.000 hingga 7.000 tentara, sisanya menyusul. Presiden Suriah Bashar al-Assad berjanji, Libanon akan bersih dari tentara Suriah sebelum pemilu legislatif, 23 Mei mendatang.
Namun kaum oposisi dan Amerika serta sekutu Baratnya ragu akan janji tersebut. Mereka curiga rencana menarik pasukan dalam dua tahap hanya akal-akalan untuk mengulur waktu. Intinya, Suriah belum mau hengkang. "Yang ingin kami lihat adalah Suriah sepenuhnya dan secepatnya keluar dari Libanon," ujar juru bicara Kementerian Luar Negeri AS, Richard Bucher. Amerika khawatir, jika tidak segera ditarik pulang, tentara dan intelijen Suriah di Beirut akan melanggengkan pengaruh Damaskus dengan mencurangi pemilu bagi para politisi pro-Suriah.
Nah, untuk berjaga-jaga, Ahad dua pekan lalu Presiden AS George W. Bush secara pribadi menelepon Presiden Prancis Jacques Chirac. Mereka membicarakan langkah yang akan diambil seandainya Suriah mangkir. Rencana konkret akan dirumuskan oleh Menteri Pertahanan Prancis Michele Alliot-Marie dan Menteri Luar Negeri AS Condoleezza Rice, secepatnya. Tampaknya, salah satu jurus yang dipersiapkan adalah membekukan aset-aset Suriah di AS, termasuk mengisolasi sistem perbankan negara itu.
Tentu saja sikap AS ini membuat Suriah berang. Amerika dianggap berlebihan. Demonstrasi besar-besaran digelar di jalanan Damaskus mendukung apa pun langkah yang akan diambil Al-Assad dalam menyikapi tekanan AS dan Barat. "Tiap hari Presiden Bush bicara tentang Suriah, seolah-olah dia tidak punya pekerjaan lain," kata Menteri Informasi Suriah Mehdi Dakhlallah. Dan untuk berjaga-jaga, pemerintah dan para pengusaha Suriah mulai memindahkan simpanan dari AS ke beberapa negara Eropa.
Duta Besar Suriah untuk AS, Imad Moustapha, mencoba meyakinkan AS. "Kami tidak akan menyisakan satu prajurit pun," dia berjanji. Cuma, menurut dia, serdadu Suriah akan ditarik secara hati-hati agar tidak meninggalkan kevakuman yang bisa memicu chaos. Moustapha khawatir perang sipil kembali pecah di negara yang berpenduduk sekitar 3,8 juta jiwa itu.
Libanon pernah dilanda perang sipil (1975-1990) gara-gara berebut kekuasaan politik antara kelompok Kristen Maronit, muslim Sunni dan Syiah. Kehadiran tentara Suriah pada 1976 memicu konflik lebih luas hingga melibatkan legiun asing lain seperti Israel, Palestina, dan Iran. Perjanjian Taif pada 1989 mengakhiri perang, tapi tak bisa dimungkiri tentara Suriah punya peran besar dalam gencatan senjata antara kelompok yang bertikai itu.
AS dan sekutunya bukannya tidak paham. Kabarnya mereka tengah mempertimbangkan dua pilihan: memperbanyak pasukan PBB atau mengirim pasukan Pakta Pertahanan Atlantik Utara untuk menjaga "perdamaian" di Libanon. Tapi itu kalau Suriah setia pada janji. Jika tidak? Ditambah tampil kembalinya Karami menemani Lahoud sebagai pengusaha politik di Libanon, Bush dan Chirac boleh jadi akan kian sering bertelepon-teleponan. Siapa tahu.
Philipus Parera (BBC/Aljazeera/Guardian/NYTimes)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo