PERSIS satu bulan menjelang ulang tahunnya ke-87, Jenderal Carlos Romulo mengembuskan napas terakhir Ahad lalu di Manila. Tidak hanya rakyat Filipina tapi masyarakat dunia kehilangan seorang pejuang kemerdekaan dan diplomat ulung yang - dalam kata-kata Almarhum sendiri - "menyuarakan aspirasi berjuta-juta orang Asia yang dirampas hak suaranya." Presiden Ferdinand Marcos menyanjung Romulo sebagai "teman seperjuangan terkemuka dan tercinta yang jasa-jasanya abadi sepanjang masa." Pemerintah AS lewat kedutaannya di Manila memuji Almarhum sebagai "raksasa abad ini, negarawan besar, seorang nasionalis dan juga mitra yang bersikap konstruktif selama masa hidupnya yang panjang ...." Sampai akhir hayatnya, Romulo boleh dikatakan tidak pernah absen mengabdi negara ataupun berperan dalam percaturan internasional. Ia telah berjasa merumuskan piagam PBB, menyukseskan Konperensi Asia-Afrika di Bandung, dan melancarkan pembentukan ASEAN. Dialah orang Asia pertama yang pada 1949 terpilih sebagai Ketua Majelis Umum PBB. Jabatan itu kemudian masih dipegangnya dua kali lagi, dan dua kali pula ia terpilih sebagai Ketua Dewan Keamanan PBB yakni pada tahun 1957 dan 1980. Tidak heran bila di lembaga internasional tertinggi itu Carlos Romulo lebih dikenal dengan panggilan kehormatan "Tuan PBB". Nama Romulo pertama kali terkenal di luar tanah airnya pada 1941, ketika ia memenangkan hadiah Pulitzer untuk sebuah artikel yang menyorot masalah Asia Tenggara di bawah ancaman agresi Jepang. Dua tahun kemudian, bukunya paling laris berjudul I Saw the Fall of the Philippines diterbitkan di Inggris. Ketika Jepang menduduki Filipina, ia bergabung dengan pasukan Amerika, dan di Australia memperkuat kabinet di pengasingan - yang dipimpin Manuel Quezon - sebagai menpen. Sebagai pembantu Jenderal MacArthur, ia mengobarkan api perlawanan terhadap Jepang lewat siaran Voice of Freedom, yang dipancarkan dari Pulau Corregidor. Untuk pendaratan bersejarah MacArthur di Pulau Leyte, Romulo tampil sebagai saksi terkemuka. "Rakyat menyambut kami di pantai dengan air mata berlinang," tulisnya. "Sebagian mereka mirip kerangka berpakaian compang-camping yang saat itu merasa bagaimana orang-orang Amerika secara khusus dikirimkan Tuhan pada mereka." Romulo sendiri kemudian dinaikkan pangkatnya sebagai brigjen dalam dinas militer Amerika. Keakrabannya dengan AS tidak berhenti di sini, melainkan berlanjut terus. Tidak heran kalau rekan-rekan politiknya menjuluki Almarhum tokoh paling berjasa dalam upaya menjadikan Filipina sebagai satelit Amerika. Tapi Romulo yang pandai bicara itu menandaskan bahwa ia seorang Filipino dan tetap berpihak pada Filipino. Lahir pada 14 Januari 1899 di Camiling, Provinsi Tarlac, di utara Manila, Almarhum berkenalan dengan Amerika ketika belajar di Columbia University. Di sana ia berhasil merebut gelar M.A. dalam bahasa Inggris, tahun 1921, lalu sekembali ke Filipina mengajar di University of the Philippines, dan awal tahun 1930-an merintis kariernya sebagai wartawan. Terlepas dari keakrabannya dengan AS Tuan PBB ini dikenal luas sebagai pejuang demokrasi yang tak kenal lelah dan penentang komunisme yang tangguh. Jago tua itu ikut melancarkan kampanye protes ASEAN di PBB yang menentang agresi militer Vietnam di Kamboja. April tahun ini, Almarhum yang menyebut dirinya bionicman - walaupun sakit-sakitan - memerlukan datang ke Indonesia untuk menghadiri peringatan 30 tahun Konperensi Asia-Afrika. Karena sakit ginjal, ia terpaksa menggunakan kursi beroda, sementara para pemimpin berbagai bangsa dengan terharu memandang kepadanya. Dalam keadaan seperti itu pula, Romulo berangkat ke New York untuk menghadiri peringatan 40 tahun PBB belum lama berselang. Sebenarnya sudah sejak 1983 Almarhum menjalani cuci darah secara teratur. Pada tahun itu juga ia mengajukan permohonan mengundurkan diri dari jabatan menlu, yang langsung ditolak Marcos. Tokoh ini lalu mendapat julukan Mr. Indispensable alias Tuan yang Tidak Tergantikan. Bagaimanapun kesetiaan Romulo mendampingi Marcos - selama 16 tahun - telah mengundang banyak kritik. Dalam satu hal itu, ia yang sangat populer di kalangan wartawan telah dinilai "mengecewakan" karena mengabdi pemerintah otoriter. Tapi jago tua itu punya alasan sendiri. "Saya mengabdi pemerintah dengan satu tujuan, yakni melindungi kepentingan rakyat, terlepas dari kepentingan partai politik atau apa pun." Untuk jasa-jasanya Almarhum memperoleh banyak penghargaan, tapi yang paling istimewa adalah hak untuk memasang lambang resmi negara dan mengibarkan bendera Filipina dikediamannya. Untuk sumbangannya pada perdamaian dunia, ia mendapat hadiah tertinggi Dag Hammarskjold Award dari PBB. Pada akhir hayatnya, Romulo melanjutkan hobi menulis buku, dibantu istrinya Beth Day, seorang penulis kelahiran Amerika. Tiga putranya dari istri terdahulu mendampingi Almarhum di saat-saat terakhir ketika mengalami krisis sehabis operasi usus di Yayasan Ginjal Nasional, Manila. Putra terbaik Filipina ini berpesan agar pada upacara pemakamannya Jumat petang ini dikumandangkan lagu Indian Love Call. Selamat jalan, Jenderal. Selamat jalan, warga dunia. Isma Sawitri Laporan kantor-kantor berita
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini