Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Marginalia

Badut

Dalam masyarakat jawa badut mempunyai kekebalan hukum. Kritik, ucapan pedas terhadap penguasa yang di ucapkan badut dibiarkan. Peranan badut mengawasi situasi yang timpang di masyarakat. (ctp)

21 Desember 1985 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BADUT dan pantun jenaka jangan-jangan tak sekadar lelucon. Mungkin juga mereka media untuk perasaan tak senang. Khususnya, ini terjadi di masyarakat Jawa di masa silam, ketika tak banyak jalan bagi rakyat kecil untuk mengeluh tentang keadaan. Setidaknya, begitulah yang dilukiskan oleh Soemarsaid Moertono dalam risalahnya yang terkenal, State and Statecraft in Old Java, yang baru saja diterbitkan dalam versi Indonesia oleh Yayasan Obor Indonesia dengan judul panjang: Negara dan Usaha Bina-Negara di Jawa Masa Lampau. Dalam studinya tentang Kerajaan Mataram dari abad ke-16 sampai ke-l9 ini, Soemarsaid menyinggung bagaimana humor rakyat bisa jadi petunjuk "perasaan tidak senang" masyarakat. Di lingkungan yang tampaknya membisu karena takut bicara itu, kata-kata tajam tapi padat bisa di gubah. Pantun dan sajak bisa jadi sejenis nyanyian jalanan, yang diteriakkan berbalas-balasan. Pantun pantun jenaka itu, kata Soemarsaid Moertono, "kadang-kadang tidak begitu jelas artinya", tapi "menyatakan apa yang merupakan ke pentingan rakyat biasa ketika itu". Mungkin karena itulah dalam masyarakat Jawa "badut dan pelawak secara tradisional mempunyai kekebalan tertentu terhadap hukum". Kejenakaan dan, kadang-kadang, ucapan pedas mereka, mengenai suatu situasi yang berlaku, dibiarkan. Dua tokoh dalam arak-arakan Grebeg yang dibuat oleh raja-raja Yogya dan Surakarta, tokoh cantang balung, berpakaian aneh dan bertingkah menggelikan di tengah prosesi yang khidmat. Tampaknya, suatu masyarakat yang beku mau tak mau mencoba mendapatkan celah untuk mengalirkan perasaan yang tersimpan. Mungkin, sadar atau tak sadar, para penguasa sendiri membutuhkan hal yang sedemikian. "Tiap orang membutuhkan obatnya sendiri," konon begitulah kata-kata Raja Henry VIII dari Inggris yang kemudian termasyhur sebagai pemenggal para permaisuri, ketika ia mendengar seorang pengkhotbah yang mengkritiknya keras. Tapi ada perbedaan yang jelas antara lelucon-lelucon di keraton yang dibiarkan dan sindiran tersembunyi di jalanan. Ada satu buku koleksi tentang "humor Soviet". Salah satu lelucon, ialah tentang teka-teki mumi. Syahdan, sejumlah ahli purbakala menemukan sebuah mumi Mesir yang umurnya ribuan tahun, tapi tak diketahui jenazah raja siapa ia gerangan. Berhari-hari mereka menelaah dan berdebat, tapi sia-sia Akhirnya datang seorang perwira dinas rahasia Soviet. Dalam dua jam ia berhasil mengetahui siapa sebenarnya raja yang dimumikan itu. Caranya: dia gebuki itu mumi sampai mengaku. Harus dikatakan bahwa satire, parodi, ejek-ejekan kepada penguasa bukan cuma terjadi di negeri-negeri sosialis. Bedanya ialah bahwa di negeri-negeri tanpa kebebasan ekspresi, ada perbedaan besar antara apa yang dikemukakan secara terbuka dan apa yang diungkapkan secara berbisik-bisik. Ada bahasa ganda, percakapan ganda. Ada pura-pura dan siasat. Orang mengerjakan dan membicarakan satu hal, tapi - di ruang tertutup - mengetawakan hal itu. Dalam analisa Michael Walzer, itulah salah satu petunjuk "totaliteria-nisme yang gagal". Yang berkembang biak di masyarakat seperti itu adalah "suatu kehidupan bersama antara oportunisme dan rasa jijik". Tak adalagi suasana penuh semangat revolusioner yang melibatkan semua orang, dengan jiwa dan raga mereka. Gairah dan antusiasme pudar. Kegiatan ideologis yang bergelora - indoktrinasi, penataran, dan kutipan slogan-slogan - tak lagi seperti dulu: tak lagi dengan yakin yang tulus, tapi lebih merupakan kerja rutin dan terurus. Sementara itu, di atas, yang memimpinpun berubah. Mereka bukan lagi pendekar di garis depan ketika sebuah masyarakat ingin mengalahkan nasib. Mereka malah jadi tiang-tiang mandek seperti para penggawa kekaisaran zaman lampau: tubuh mereka berat, sikap mereka curiga, hati mereka tanpa inspirasi. Dan brutal. Bagi mereka, yang terpenting bukanlah misi, tapi karier. Antara mereka, yang mengikat bukanlah komitmen terhadap sebuah doktrin, tapi posisi dan previlese. Yang menarik ialah bahwa Michael Walzer, dalam sumbangan tulisannya untuk buku 1984 Revisited yang dihimpun oleh Irving Howe, sebenarnya tak cuma bicara tentang negeri-negeri totaliter ala Soviet. Walzer terutama menyebut "negara-negara berpartai tunggal di Dunia Ketiga, dengan ideologi mereka yang palsu dan kebrutalan mereka yang dihalalkan oleh ideologi itu". Di situ, teror tersendiri berlangsung. Dan teror, dalam kata-kata St. Just, "membuat hati jadi dingin". Dalam kedinginan itu orang yang di bawah mencoba membuat lelucon, mungkin dengan pahit, mungkin dengan seenaknya, untuk melawan beku. Dan di atas, para pembesar mencoba bikin hangat dengan retorika. Kian lama ucapan-ucapan kian diulang, kian lama kian melambung, dan para badut pun berbisik, "Ah, tong kosong nyaring bunyinya". Goenawan Mohamad

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus