Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MENYELUBUNGI kepalanya dengan tudung sweater, Khaled Merhi terus menunduk di dalam mobil, berusaha menghindari sorotan kamera. Sempat ditahan selama sepekan dan diperiksa Kepolisian Sydney, Merhi akhirnya pulang ke rumahnya pada Ahad malam pekan lalu. Pria 39 tahun itu bisa bernapas lega setelah lepas dari tuduhan terlibat dalam rencana serangan teror paling mematikan sepanjang sejarah Australia.
Merhi mengaku tak nyaman atas situasi yang dialaminya. Apalagi keluarganya ikut menjadi pusat perhatian. Namun dia berkeras tak tahu apa pun soal rencana serangan yang akan dilakukan kelompok Negara Islam Suriah dan Irak (ISIS) di Sydney. Pria ini menyatakan sangat mencintai Australia. "Aku lahir, tumbuh, dan bersekolah di sini," katanya kepada Daily Telegraph, pekan lalu. "Aku rela mati untuk negeri ini."
Merhi ditangkap polisi Sydney dalam penggerebekan besar-besaran pada akhir Juli lalu. Meski lepas dari tuduhan terorisme, Merhi masih harus melapor ke polisi setiap hari karena pelanggaran kepemilikan senjata setrum rakitan. Alat itu disita polisi bersama ratusan barang lain ketika mereka merazia kediaman Merhi dan lima rumah lain di Sydney.
Serangan balik skuad antiteror polisi Australia dilancarkan setelah terbongkarnya rencana kelompok teroris itu meledakkan pesawat Etihad Airways pada 15 Juli lalu. Pesawat itu dijadwalkan terbang dari Sydney ke Abu Dhabi. Tak hanya itu, polisi juga berhasil menggagalkan rencana serangan teror lain yang berkaitan pada periode 16-29 Juli. Walhasil, sejak itu, Australia memperketat keamanan serta prosedur pemeriksaan orang dan barang di semua bandar udaranya.
Selain mencokok Khaled Merhi, polisi Australia sebenarnya sempat menangkap kakaknya, Abdul Merhi. Namun dia juga dilepaskan dua hari kemudian karena tak terbukti terlibat. Ikut diringkus bersama dia: saudara ipar Merhi, Khaled Khayat; dan adiknya, Mahmoud. Sampai sekarang, hanya Khayat bersaudara itu yang masih ditahan.
Polisi mengklaim punya bukti awal bahwa mereka berdualah yang berusaha menyelundupkan bom rakitan ke pesawat Etihad. "Ini adalah rencana serangan paling berbahaya yang pernah dicoba di Australia," kata Wakil Komisioner Kepolisian Federal Michael Phelan, seperti ditulis Sydney Morning Herald.
Polisi mengendus keterlibatan Khayat bersaudara karena kakak tertua mereka, Tarek, merupakan komandan senior ISIS di Suriah. Adapun ayah Khaled dan Abdul, Omar Merhi, mengakui keponakannya, Ahmed Merhi, adalah anggota ISIS di Suriah.
Jejak komunikasi Khaled Khayat dengan ISIS sebenarnya sudah disadap polisi Australia sejak berbulan-bulan lalu. Hasil penyelidikan menunjukkan sejumlah bahan peledak dikirim dari Suriah ke Sydney dengan kargo udara melalui wilayah Suriah yang dikuasai ISIS. Proses ini berlangsung sejak April lalu. Kelompok ISIS juga aktif memberikan instruksi soal teknik membuat peledak rakitan lewat jaringan pesan terenkripsi.
Berdasarkan instruksi tersebut, bahan peledak dirakit di dalam penggiling daging. Mesin ini lalu ditaruh di dalam koper Amer Khayat, adik Khaled. Belakangan, Amer mengaku tidak tahu-menahu soal bom dan rencana serangan itu. Rencana tersebut batal setelah para perancang serangan menyadari koper terlalu berat. Sejauh ini polisi Australia tidak berencana menangkap Amer, yang sekarang sudah berada di luar negeri.
Gagal meledakkan pesawat, ISIS disebut memberi instruksi baru kepada Khayat bersaudara. Kali ini mereka diminta membuat bom gas hidrogen sulfida. Gas ini merupakan zat beracun dengan aroma menyengat. Orang yang menghirup gas ini bisa mengalami kelumpuhan sistem pernapasan hingga tewas.
Bom gas beracun itu diduga akan dilepas di tempat transportasi publik, seperti stasiun kereta atau bus. Namun rencana ini juga gagal karena polisi keburu melakukan penggerebekan. "Tak ada informasi yang menunjukkan alat ini akan digunakan di pesawat," ujar Phelan.
Keberhasilan polisi membongkar dua plot serangan keji ini menyelamatkan Australia dari teror mematikan. Sejak level kewaspadaan terhadap terorisme ditingkatkan pada September 2014, otoritas keamanan Australia sudah menggagalkan 13 rencana teror besar. Setidaknya lima serangan tak bisa dibendung, termasuk penyanderaan 17 orang di sebuah kafe di Sydney, yang menewaskan dua sandera, September tahun lalu. "Kami tidak akan pernah berhenti menjaga warga Australia," kata Perdana Menteri Australia Malcolm Turnbull, seperti ditulis New York Times.
Peneliti terorisme dari Monash University, Andrew Zammit, menyatakan kini ISIS memang meningkatkan aktivitas di dunia maya untuk merancang serangan dan memikat kelompok-kelompok pendukung di berbagai negara. Zammit menyebut ISIS-lah yang lebih aktif memilih target, menentukan taktik, dan memberikan sokongan emosional untuk para pelaku serangan. "Dukungan lintas negara didapat lewat penggunaan media sosial," ujarnya seperti ditulis Sydney Morning Herald.
Desakan simpatisan ISIS untuk melancarkan serangan di Negeri Kanguru makin kuat ketika beredar video-video propaganda dari warga Australia yang sudah bergabung dengan ISIS di Suriah. Video terbaru, pekan lalu, diduga dibuat di Raqqa, Suriah. Di sana, seorang anggota ISIS yang menyandang senapan AK-47 berseru mengajak komunitas muslim Australia bergabung. Pria itu juga mengajak muslim Australia bertempur membebaskan Kota Marawi dari pemerintah Filipina.
Pria dalam video itu diyakini adalah Mounir Raad, warga Melbourne yang telah mengganti namanya menjadi Abu Adam al-Australi. Dia juga mengkritik pemerintah Australia yang dinilainya telah membantu Filipina memerangi "saudara-saudaranya". Jika muslim Australia tak bisa ke Marawi, Abu Adam meminta mereka "bertarung di daerah masing-masing".
Di mata ISIS, Australia ada di puncak daftar negara Barat yang paling diincar setelah Amerika Serikat, Inggris, dan Prancis. Memanfaatkan sel-sel kecil para pendukungnya yang tak saling mengenal, intensitas serangan ISIS di sana terus meningkat dan kian sulit dideteksi. Laporan yang ditulis Komite Keamanan Nasional Amerika tahun lalu menyebutkan ISIS berkorelasi dengan sedikitnya 100 serangan di negara-negara Barat.
Di tengah berbagai kekhawatiran itulah muncul kabar baik dari Sydney. Kegagalan ISIS melakukan teror di Sydney disambut gembira, terutama oleh komunitas muslim Australia, yang populasinya sekitar 600 ribu orang. Jamal Rifi, tokoh muslim terkemuka dan dokter di Sydney, merasa lega karena para pelaku bisa ditangkap sebelum beraksi. "Bayangkan rentetan aksi balasan yang bakal dihadapi komunitas muslim di sini jika serangan itu benar-benar terjadi." GABRIEL WAHYU TITIYOGA (THE GUARDIAN, THE DAILY TELEGRAPH, BBC, CNN)
Yang Nyaris dari ISIS
Kelompok teroris, termasuk ISIS, melebarkan sayap di Australia. Negeri itu bisa saja mengalami lebih dari 10 serangan teror mematikan dalam tiga tahun terakhir jika polisi tak keburu menangkap para pelakunya.
Desember 2016, Melbourne
Empat orang ditangkap karena ingin mengebom sejumlah situs penting di kota itu.
Oktober 2016, Sidney
Dua pelajar ditangkap karena berkaitan dengan ISIS. Mereka diketahui berencana memenggal kepala sejumlah warga kota.
Agustus 2016, Melbourne
Polisi menggagalkan rencana pengeboman di kota itu.
Juni 2016, Sydney
Seorang pelajar ditangkap karena mengancam membunuh polisi. Rencana serangan tersebut terbongkar setelah polisi menyelidiki unggahan remaja 17 tahun itu di media sosial.
Mei 2016, Sydney
Pria berusia 18 tahun ditangkap setelah ketahuan merencanakan serangan bersenjata di Sydney.
April 2016, Melbourne
Remaja 19 tahun ditangkap karena berencana menyerang dan memenggal kepala polisi pada Perayaan Anzac.
Januari-Februari 2016
Dua remaja ditahan karena berencana melakukan serangan dengan senjata tajam di Parramata Westfield. Seorang di antaranya tertawa ketika sebuah video pemenggalan dalam sidang di Sydney diperlihatkan kepadanya.
Mei 2015, Melbourne
Polisi menggagalkan rencana peledakan bom pada Hari Ibu. Di rumah pelaku, petugas menemukan material propaganda, panci masak tekanan tinggi, dan pecahan isi bom.
April 2015, Melbourne
Lima remaja ditahan polisi karena akan melancarkan serangan di Perayaan Anzac. Mereka berencana membunuh polisi dan menembaki warga.
Februari 2015, Sydney
Dua orang ditangkap karena hendak melakukan teror. Di rumah pelaku, polisi menemukan bendera ISIS, pisau berburu, dan parang yang diduga akan digunakan untuk menyerang korban.
September 2014, Brisbane
Polisi menggagalkan rencana teror berupa penculikan dan pembunuhan oleh seorang pria yang diketahui menyimpan senjata, pisau, dan parang untuk melancarkan aksinya.
Sebanyak 65 warga Australia tewas setelah bergabung dengan ISIS serta terlibat konflik di Suriah dan Irak.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo