Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Titik Nol, Zaman Barter

Pnom Penh, ibu kota Kamboja yang hancur. Untuk menegakkan segalanya harus dimulai dari nol. Heng Samrin ingin membenahi ekonomi dengan prioritas di bidang pertanian & industri. (ln)

16 Juni 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BOLA mata wanita itu menyimpan lebih banyak derita dari apa yang bisa diucapkan oleh mulutnya. Ia batu saja menceritakan nasib suami dan anaknya yang amblas dibabat semasa pemerintahan Pol Pot. Ia menjadi guru sekolah nenengah ketika tampuk kekuasaan Jenderal Lon Nol digenjot awal 1975 lalu. Raut mukanya kian sayu waktu memandang tampang kota Phnom Penh yang porak-poranda dengan wajah melompong. Satu dua letusan bedil memecah kesunyian kota. Ibukota Kamboja yang terletak di pertemuan Sungai Mekon dan Sungai Tonle Sap itu memang mengisyaratkan dirinya sebuah kota yang cantik. Pernah berpenghuni lebih dua juta jiwa, tapi pada akhir Mei kemarin isinya baru sekitar tujuh ribuan. Baru saja sekitar 100 hari ini keluar dari seribu hari yang gelap dalam sejarah bangsa ini, tak ada yang bisa memastikan utuhnya kembali warga kota tersebut. Listrik sudah menyala dua bulan ini, 6 jam sehari dan sewaktu-waktu padam, karena masih dialirkan dari daerah Vietnam. Air untuk minum ditadah dari hujan. Belum terasa ada kegiatan ekonomi di sana. Pasar darurat memang ada di beberapa tempat di tepi jalan keluar kota, mendampingi pemukiman sementara berupa gubuk-gubuk jerami. Yang dijual sayur-mayur, buah, tikus panggang dan sedikit beras. Itupun harus dibeli secara barter, karena mata uang dimusnahkan di zaman Pol Pot. Tak heran kalau garam yang di zaman dulu dikenal sebagai alat tukar di kalangan suku primitif, tinggi nilainya di Kamboja. "Kami memang memerlukan waktu," ujar Heng Samrin, 45 tahun. Duduk di sofa antik peninggalan Sihanouk, Presiden Dewan Revolusi Rakyat Kampuchea itu memang bertekad ingin cepat membenahi ekonomi yang morat-marit itu. "Dengan prioritas di bidang pertanian, di samping memulihkan kehidupan industri," katanya. Itu akan dilakukan menurut "tata ekonomi yang merdeka," tambahnya. Mengundang masuk modal asing Bekas Komisaris Politik Partai Komunis Kampuchea dan Panglima Divisi IV." itu hanya menyedot rokoknya dalam-dalam ketika ditanya soal itu. Tapi kalau jalan pintas yang ingin dicapai Somrin, agaknya dia harus berkawan dengan banyak pihak. "Kami ingin bersahabat dan bekerja- sama dengan segala negara," kata Somrin. Di jalan raya kafilah berkaki telanjang sedang melintasi kota. Besar kecil, tua muda, bayi dalam gendongan, dengan pakaian kumuh dan tubuh yang kurang makan itu masih harus menempuh perjalanan panjang ke udik masing-masing di bilangan selatan. Mereka sudah berjalan kaki lebih sebulan setengah dari Battambang di utara, yang barusan menjadi kamp kerja paksa. Keadaan mereka mirip kaum nomad, tanpa sepotong pun punya tanda pengenal. Tapi dengan sisa kewarasan yang masih ada, ketika satu sama lain berpapasan, mereka mencoba saling ingat dan mengenal kembali. Itu yang terbilang beruntung. Sebab bagi mereka yang tidak saling kenal, akibat masyarakat sudah diobrak-abrik itu, maka perlu upaya pembuktian diri. Mereka harus mampu unjuk kebolehan masing-masing. Misalnya yang mengaku tadinya guru, harus membuktikan lebih dulu sehingga bisa disalurkan mengajar lagi. Yang menarik adalah cara mereka bisa luput dari pembantaian. Seperti diungkapkan para biksu di sebuah kuil yang baru dibuka di Phnom Penh. "Selama menjalani kerja paksa itu, kami tidak menunjukkan bahwa kami adalah seorang biksu." Lho, apa tak ada yang kenal? "Rakyat yang mengenal kami, melindungi kami," sahutnya. Begitu pula dokter yang nampak sibuk sekali melayani pasien di sebuah rumah sakit di pusat kota. Mereka bisa selamat karena langsung meleburkan diri bagai penduduk biasa. Lalu ikut memacul. *** Negeri Tanah Angkor yang beriklim tropis ini luasnya sekitar 181 ribu KmÿFD pernah berpenduduk 7 juta jiwa, atau lebih kurang 40 jiwa per-KmÿFD. Itu hitungan sekitar tahun 1974, yang menunjukkan kepadatan penduduk Kamboja sebagai paling rendah di seantero negara Asia Tenggara. Dan mereka lebih banyak hidup di wilayah selatan. Penduduk asli Kamboja secara etnis disebut juga bangsa Khmer, yang oleh kalangan ahli antropoligi umumnya dikelompokkan dalam golongan austroasiatic, yang masih ada hubungan dengan veddoid dan mongoloid. Perawakan mereka pendek (sekitar 1« meter), kulit sawo matang dan rambut hitam. Riwayat penaruh kebudayaan India bermula di abad pertama yang dibawa kaum mukimin dari India Selatan. Lalu di abad ke-8 datang imigran Indo-Malayan dari Jawa. Dan antara abad ke-10 sampai 15 imigran Thai masuk ke sini. Kemudian sekitar abad ke-17 imigran Vietnam. Gelombang imigran Cina mengalir antara abad ke-17 sampai 19. Penduduk Kamboja mayoritas memang terdiri dari bangsa Khmer, yang bekerja di daerah pertanian dan perikanan. Minoritas Vietnam sejumlah 5% disebut Annamites, juga bekerja di kawasan persawahan. Turunan Cina juga sekitar 5% dan seperti biasa mereka memegang posisi kunci di bidang perekonomian dan perdagangan. *** Tapi komposisi penduduk Kamboja itu lalu dikocok (Lihat Kolom Burhan Magenda). Menurut taksiran kasar saat ini di Kamboja penduduk yang tersisa sekitar 4 juta. Bagaimana angka-angka itu bisa diperoleh, sementara sarana komunikasi masih berantakan? Mungkin menilik banyaknya anak negeri ini yang kehilangan ayah ibu, kehilangan sanak saudara, kehilangan anak isteri dan tak sedikit pula yang kekasihnya lenyap tak tentu rimbanya, maka angka yang fantastis itu lalu didengungkan untuk memberi tekanan terhadap pengalaman buruk yang menimpa bangsa Kamboja. "Tujuan Pol Pot malah bakal menyisakan 1,5 juta saja, dan itupun bakal terdiri dari wanita cantik," kata Keo Canda (44), yang kini menjabat Menteri Penerangan & Kebudayaan dalam pemerintahan Heng Somrin. Maksudnya? "Nanti akan diasimilasikan dengan pria Cina yang akan datangkan dari daratan Cina," ujarnya. Sampai di mana kebenaran cerita itu tentu cuma Pol Pot yang tahu. Namun yang jelas segalanya sekarang harus dimulai dari titik nol.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus