BOLA mata wanita itu menyimpan lebih banyak derita dari apa
yang bisa diucapkan oleh mulutnya. Ia batu saja menceritakan
nasib suami dan anaknya yang amblas dibabat semasa pemerintahan
Pol Pot. Ia menjadi guru sekolah nenengah ketika tampuk
kekuasaan Jenderal Lon Nol digenjot awal 1975 lalu. Raut mukanya
kian sayu waktu memandang tampang kota Phnom Penh yang
porak-poranda dengan wajah melompong.
Satu dua letusan bedil memecah kesunyian kota. Ibukota Kamboja
yang terletak di pertemuan Sungai Mekon dan Sungai Tonle Sap
itu memang mengisyaratkan dirinya sebuah kota yang cantik.
Pernah berpenghuni lebih dua juta jiwa, tapi pada akhir Mei
kemarin isinya baru sekitar tujuh ribuan.
Baru saja sekitar 100 hari ini keluar dari seribu hari yang
gelap dalam sejarah bangsa ini, tak ada yang bisa memastikan
utuhnya kembali warga kota tersebut. Listrik sudah menyala dua
bulan ini, 6 jam sehari dan sewaktu-waktu padam, karena masih
dialirkan dari daerah Vietnam. Air untuk minum ditadah dari
hujan. Belum terasa ada kegiatan ekonomi di sana. Pasar darurat
memang ada di beberapa tempat di tepi jalan keluar kota,
mendampingi pemukiman sementara berupa gubuk-gubuk jerami. Yang
dijual sayur-mayur, buah, tikus panggang dan sedikit beras.
Itupun harus dibeli secara barter, karena mata uang dimusnahkan
di zaman Pol Pot. Tak heran kalau garam yang di zaman dulu
dikenal sebagai alat tukar di kalangan suku primitif, tinggi
nilainya di Kamboja.
"Kami memang memerlukan waktu," ujar Heng Samrin, 45 tahun.
Duduk di sofa antik peninggalan Sihanouk, Presiden Dewan
Revolusi Rakyat Kampuchea itu memang bertekad ingin cepat
membenahi ekonomi yang morat-marit itu. "Dengan prioritas di
bidang pertanian, di samping memulihkan kehidupan industri,"
katanya. Itu akan dilakukan menurut "tata ekonomi yang merdeka,"
tambahnya. Mengundang masuk modal asing Bekas Komisaris Politik
Partai Komunis Kampuchea dan Panglima Divisi IV." itu hanya
menyedot rokoknya dalam-dalam ketika ditanya soal itu. Tapi
kalau jalan pintas yang ingin dicapai Somrin, agaknya dia harus
berkawan dengan banyak pihak. "Kami ingin bersahabat dan
bekerja- sama dengan segala negara," kata Somrin.
Di jalan raya kafilah berkaki telanjang sedang melintasi kota.
Besar kecil, tua muda, bayi dalam gendongan, dengan pakaian
kumuh dan tubuh yang kurang makan itu masih harus menempuh
perjalanan panjang ke udik masing-masing di bilangan selatan.
Mereka sudah berjalan kaki lebih sebulan setengah dari
Battambang di utara, yang barusan menjadi kamp kerja paksa.
Keadaan mereka mirip kaum nomad, tanpa sepotong pun punya tanda
pengenal. Tapi dengan sisa kewarasan yang masih ada, ketika satu
sama lain berpapasan, mereka mencoba saling ingat dan mengenal
kembali. Itu yang terbilang beruntung. Sebab bagi mereka yang
tidak saling kenal, akibat masyarakat sudah diobrak-abrik itu,
maka perlu upaya pembuktian diri. Mereka harus mampu unjuk
kebolehan masing-masing. Misalnya yang mengaku tadinya guru,
harus membuktikan lebih dulu sehingga bisa disalurkan mengajar
lagi.
Yang menarik adalah cara mereka bisa luput dari pembantaian.
Seperti diungkapkan para biksu di sebuah kuil yang baru dibuka
di Phnom Penh. "Selama menjalani kerja paksa itu, kami tidak
menunjukkan bahwa kami adalah seorang biksu." Lho, apa tak ada
yang kenal? "Rakyat yang mengenal kami, melindungi kami,"
sahutnya. Begitu pula dokter yang nampak sibuk sekali melayani
pasien di sebuah rumah sakit di pusat kota. Mereka bisa selamat
karena langsung meleburkan diri bagai penduduk biasa. Lalu ikut
memacul.
***
Negeri Tanah Angkor yang beriklim tropis ini luasnya sekitar
181 ribu KmÿFD pernah berpenduduk 7 juta jiwa, atau lebih kurang
40 jiwa per-KmÿFD. Itu hitungan sekitar tahun 1974, yang
menunjukkan kepadatan penduduk Kamboja sebagai paling rendah
di seantero negara Asia Tenggara. Dan mereka lebih banyak hidup
di wilayah selatan.
Penduduk asli Kamboja secara etnis disebut juga bangsa Khmer,
yang oleh kalangan ahli antropoligi umumnya dikelompokkan dalam
golongan austroasiatic, yang masih ada hubungan dengan veddoid
dan mongoloid. Perawakan mereka pendek (sekitar 1« meter), kulit
sawo matang dan rambut hitam.
Riwayat penaruh kebudayaan India bermula di abad pertama yang
dibawa kaum mukimin dari India Selatan. Lalu di abad ke-8 datang
imigran Indo-Malayan dari Jawa. Dan antara abad ke-10 sampai 15
imigran Thai masuk ke sini. Kemudian sekitar abad ke-17 imigran
Vietnam. Gelombang imigran Cina mengalir antara abad ke-17
sampai 19.
Penduduk Kamboja mayoritas memang terdiri dari bangsa Khmer,
yang bekerja di daerah pertanian dan perikanan. Minoritas
Vietnam sejumlah 5% disebut Annamites, juga bekerja di kawasan
persawahan. Turunan Cina juga sekitar 5% dan seperti biasa
mereka memegang posisi kunci di bidang perekonomian dan
perdagangan.
***
Tapi komposisi penduduk Kamboja itu lalu dikocok (Lihat Kolom
Burhan Magenda). Menurut taksiran kasar saat ini di Kamboja
penduduk yang tersisa sekitar 4 juta. Bagaimana angka-angka itu
bisa diperoleh, sementara sarana komunikasi masih berantakan?
Mungkin menilik banyaknya anak negeri ini yang kehilangan ayah
ibu, kehilangan sanak saudara, kehilangan anak isteri dan tak
sedikit pula yang kekasihnya lenyap tak tentu rimbanya, maka
angka yang fantastis itu lalu didengungkan untuk memberi
tekanan terhadap pengalaman buruk yang menimpa bangsa Kamboja.
"Tujuan Pol Pot malah bakal menyisakan 1,5 juta saja, dan itupun
bakal terdiri dari wanita cantik," kata Keo Canda (44), yang
kini menjabat Menteri Penerangan & Kebudayaan dalam
pemerintahan Heng Somrin. Maksudnya? "Nanti akan diasimilasikan
dengan pria Cina yang akan datangkan dari daratan Cina,"
ujarnya. Sampai di mana kebenaran cerita itu tentu cuma Pol Pot
yang tahu. Namun yang jelas segalanya sekarang harus dimulai
dari titik nol.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini