Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teknologi & Inovasi

Tentang Batak, Sunda Dll

Suwarsih Warnaen, 48, sarjana ilmu psikologi UI, membuat disertasi berjudul: stereotip etnik dalam suatu bangsa multietnik Tgl 26 Mei'79. Beliau ingin mengetahui gambaran menyeluruh relasi jarak sosial.(il)

16 Juni 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

INGIN mengetahui gambaran menyeluruh relasi jarak sosial, mencari hubungan intensitas kontak antar suku-bangsa di Indonesia yang jumlahnya 200 itu, Suwarsih Warnaen, 48 tahun, membuat disertasinya. Berjudul Stereotip Etnik Dalam Suatu Bangsa Multietnik, sarjana Ilmu Psikologi UI itu telah lulus dengan predikat cum laude, 26 Mei lalu. Suwarsih memulai studi subyeknya sejak 1972, telah meneliti 1.291 siswa SMA kelas III yang berumur 16 - 20 tahun. Seluruh subyek itu dibagi menjadi 19 golongan, di antaranya 7 golongan terdiri dari 7 suku-bangsa yang berada di hukum adatnya masing-masing (Batak, Minangkabau, Sunda, Jawa, Makasar, Minahasa dan Ambon). Data dihimpun berdasarkan S.E.S. (Stereotip Etnik Suwarsih) dengan sejumlah daftar pertanyaan, evaluasi sifat khas, persepsi kesamaan dan kontak. Dari data tersebut, keluar kesimpulan bahwa orang Sunda di Bandung, orang Jawa di Yogya, orang Minang di Bukittinggi, orang Batak di Pematangsiantar, orang Bugis-Makasar di Ujungpandang, orang Minahasa di Manado dan orang Maluku di Ambon, menilai stereotip orang Indonesia sebagai manusia yang sopan. Kemudian keluar urutan sifat khas yang jujur sebagai urutan kedua terbanyak, baru sifat khas suka meniru, ramah, suka menerima tamu, bisa dipercaya. Kategori sopan, masih tetap menonjol di paling atas pada daftar pertanyaan untuk suku-bangsa asli dan campuran yang tinggal di Jakarta. Sedangkan sifat khas jujur, melorot ke bawah. Melihat data preferensi etnik, ternyata tidak ada satu suku-bangsa pun yang menilai negatif tentang suku-bangsa lain. Di samping itu, tidak ada suku bangsa tertentu yang menilai secara berlebihan tentang suku-bangsa lainnya. Juga terbukti bahwa rasa kesukubangsaan di Jakarta menjadi lebih kuat dari pada mereka berada di daerahnya masing-masing. Dalam menilai persepsi kesamaan, orang Jawa dianggap paling sama dengan, gambaran "orang Indonesia", demikian pendapat subyek Minahasa dan subyek campuran Sunda. Tetapi orang Jakarta-lah yang dianggap oleh semua golongan subyek, yang paling sama dengan gambaran "orang Indonesia." Yang Blak-Blakan Contoh sifat khas sebagai sumber konflik antar golongan etnik diambil antara orang Sunda dan orang Batak. 0rang Sunda yang merasa bersifat halus dan sopan, dinilai oleh orang Batak sebagai bersifat licik. Sebaliknya, orang Batak yang merasa dirinya blak-blakan dinilai oleh orang Sunda sebagai orang yang kasar. Jadi interaksi terjadi karena adanya salah tangkap yang kalau tidak segera disadari oleh pihak masing-masing, besar kemungkinan timbul jarak antara kedua suku-bangsa tersebut. Gejala ini -- kalau berlarut -- bisa menjadi konflik terbuka. Suwarsih sendiri juga memasukkan suku-bangsa Tionghoa (yang dinilai sebagai pelit, licik tetapi rajin dan jorok) dalam data multietnik ini. Sumber pertentangan dengan orang Tionghoa (orang Indonesia tidak membedakan Tionghoa totok atau keturunan) bersumber di bidang ekonomi dan bidang persaingan. Di tahun 1965, jumlah orang Tionghoa cuma 2,6% dari seluruh penduduk Indonesia, tetapi kekuasaan ekonomi bisa dikatakan diborong oleh mereka. Dr. Melly G. Tan sendiri menyatakan bahwa perkawinan Tionghoa dan Indonesia tidak membentuk suku-bangsa baru, melainkan mereka memilih identitas salah satu dari orangtuanya didasarkan siapa yang berstatus lebih jempolan. Orang Arab Rasa antipati antara orang Sunda dan Jawa berdasarkan mitos perang antar kerajaan Jawa (Majapahit) dan Sunda (Pajajaran). Sedangkan orang Sumatera saling bersatu untuk menghadapi orang Jawa yang dianggap menguasai Indonesia. "Orang Arab, tidak saya masukkan dalam bahan penelitian," demikian Suwarsih, "karena mereka telah banyak berintegrasi, tidak menjadi masalah dan di bidang ekonomi tidak menonjol." Lantas bagaimana mengatasi pertentangan pendapat antar suku-bangsa tersebut? Apa yang bisa dilakukan agar persepsi antat etnik itu jadi seobyektif mungkin? Dan apa yang bisa membantu antar golongan etnik tersebut agar mereka mempunyai persepsi satu sama lain. Suwarsih berpendapat demikian yaitu dengan memberi kesempatan yang betul-betul sama, kesempatan yang secara obyektif harus dijalankan antar golongan etnik tersebut. Monopoli, kecurigaan dan sok mau menang sendiri bahwa suku-bangsanyalah yang paling jempolan, adalah borok perpecahan. Selain itu kontak antar etnik tersebut harus semakin digalakkan. Suwarsih juga menyetujui pendapat Harsya W. Bachtiar (Masalah Integrasi Nasional di Indonesia, Prisma, 1976) bahwa integrasi nasional yang paling penting bukanlah masalah pengintegrasian antar keturunan asing (Arab, Cina atau bangsa lain) dengan pribumi. Melainkan sekalian penduduk pribumi itu sendiri (yang tersebar di 14.000 pulau) yang harus diintegrasikan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus