INGIN mengetahui gambaran menyeluruh relasi jarak sosial,
mencari hubungan intensitas kontak antar suku-bangsa di
Indonesia yang jumlahnya 200 itu, Suwarsih Warnaen, 48 tahun,
membuat disertasinya. Berjudul Stereotip Etnik Dalam Suatu
Bangsa Multietnik, sarjana Ilmu Psikologi UI itu telah lulus
dengan predikat cum laude, 26 Mei lalu.
Suwarsih memulai studi subyeknya sejak 1972, telah meneliti
1.291 siswa SMA kelas III yang berumur 16 - 20 tahun. Seluruh
subyek itu dibagi menjadi 19 golongan, di antaranya 7 golongan
terdiri dari 7 suku-bangsa yang berada di hukum adatnya
masing-masing (Batak, Minangkabau, Sunda, Jawa, Makasar,
Minahasa dan Ambon).
Data dihimpun berdasarkan S.E.S. (Stereotip Etnik Suwarsih)
dengan sejumlah daftar pertanyaan, evaluasi sifat khas, persepsi
kesamaan dan kontak. Dari data tersebut, keluar kesimpulan bahwa
orang Sunda di Bandung, orang Jawa di Yogya, orang Minang di
Bukittinggi, orang Batak di Pematangsiantar, orang Bugis-Makasar
di Ujungpandang, orang Minahasa di Manado dan orang Maluku di
Ambon, menilai stereotip orang Indonesia sebagai manusia yang
sopan. Kemudian keluar urutan sifat khas yang jujur sebagai
urutan kedua terbanyak, baru sifat khas suka meniru, ramah, suka
menerima tamu, bisa dipercaya. Kategori sopan, masih tetap
menonjol di paling atas pada daftar pertanyaan untuk suku-bangsa
asli dan campuran yang tinggal di Jakarta. Sedangkan sifat khas
jujur, melorot ke bawah.
Melihat data preferensi etnik, ternyata tidak ada satu
suku-bangsa pun yang menilai negatif tentang suku-bangsa lain.
Di samping itu, tidak ada suku bangsa tertentu yang menilai
secara berlebihan tentang suku-bangsa lainnya.
Juga terbukti bahwa rasa kesukubangsaan di Jakarta menjadi lebih
kuat dari pada mereka berada di daerahnya masing-masing. Dalam
menilai persepsi kesamaan, orang Jawa dianggap paling sama
dengan, gambaran "orang Indonesia", demikian pendapat subyek
Minahasa dan subyek campuran Sunda. Tetapi orang Jakarta-lah
yang dianggap oleh semua golongan subyek, yang paling sama
dengan gambaran "orang Indonesia."
Yang Blak-Blakan
Contoh sifat khas sebagai sumber konflik antar golongan etnik
diambil antara orang Sunda dan orang Batak. 0rang Sunda yang
merasa bersifat halus dan sopan, dinilai oleh orang Batak
sebagai bersifat licik. Sebaliknya, orang Batak yang merasa
dirinya blak-blakan dinilai oleh orang Sunda sebagai orang yang
kasar. Jadi interaksi terjadi karena adanya salah tangkap yang
kalau tidak segera disadari oleh pihak masing-masing, besar
kemungkinan timbul jarak antara kedua suku-bangsa tersebut.
Gejala ini -- kalau berlarut -- bisa menjadi konflik terbuka.
Suwarsih sendiri juga memasukkan suku-bangsa Tionghoa (yang
dinilai sebagai pelit, licik tetapi rajin dan jorok) dalam data
multietnik ini. Sumber pertentangan dengan orang Tionghoa (orang
Indonesia tidak membedakan Tionghoa totok atau keturunan)
bersumber di bidang ekonomi dan bidang persaingan. Di tahun
1965, jumlah orang Tionghoa cuma 2,6% dari seluruh penduduk
Indonesia, tetapi kekuasaan ekonomi bisa dikatakan diborong oleh
mereka. Dr. Melly G. Tan sendiri menyatakan bahwa perkawinan
Tionghoa dan Indonesia tidak membentuk suku-bangsa baru,
melainkan mereka memilih identitas salah satu dari orangtuanya
didasarkan siapa yang berstatus lebih jempolan.
Orang Arab
Rasa antipati antara orang Sunda dan Jawa berdasarkan mitos
perang antar kerajaan Jawa (Majapahit) dan Sunda (Pajajaran).
Sedangkan orang Sumatera saling bersatu untuk menghadapi orang
Jawa yang dianggap menguasai Indonesia. "Orang Arab, tidak saya
masukkan dalam bahan penelitian," demikian Suwarsih, "karena
mereka telah banyak berintegrasi, tidak menjadi masalah dan di
bidang ekonomi tidak menonjol."
Lantas bagaimana mengatasi pertentangan pendapat antar
suku-bangsa tersebut? Apa yang bisa dilakukan agar persepsi
antat etnik itu jadi seobyektif mungkin? Dan apa yang bisa
membantu antar golongan etnik tersebut agar mereka mempunyai
persepsi satu sama lain.
Suwarsih berpendapat demikian yaitu dengan memberi kesempatan
yang betul-betul sama, kesempatan yang secara obyektif harus
dijalankan antar golongan etnik tersebut. Monopoli, kecurigaan
dan sok mau menang sendiri bahwa suku-bangsanyalah yang paling
jempolan, adalah borok perpecahan. Selain itu kontak antar etnik
tersebut harus semakin digalakkan.
Suwarsih juga menyetujui pendapat Harsya W. Bachtiar (Masalah
Integrasi Nasional di Indonesia, Prisma, 1976) bahwa integrasi
nasional yang paling penting bukanlah masalah pengintegrasian
antar keturunan asing (Arab, Cina atau bangsa lain) dengan
pribumi. Melainkan sekalian penduduk pribumi itu sendiri (yang
tersebar di 14.000 pulau) yang harus diintegrasikan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini