Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Keriuhan terjadi di dalam dan luar Stadion Maracana, Rio de Janeiro, Brasil. Selasa pekan lalu, sekitar 78 ribu pendukung tim nasional sepak bola Brasil mengelu-elukan tim mereka yang menekuk Spanyol dengan skor 3-0 pada final Piala Konfederasi. Namun, di luar stadion legendaris yang menjadi tuan rumah Piala Dunia 1950 itu, ratusan pengunjuk rasa membawa obeng dan katapel. Mereka memprotes kebijakan memprioritaskan penggelontoran US$ 15 juta untuk membangun stadion sebagai persiapan Piala Dunia 2014 sekaligus Olimpiade 2016. "FIFA, bayari ongkos bus kami. Maracana milik kami," Renato Cosentino, salah seorang pengunjuk rasa, berteriak.
Massa melepaskan 20 balon bertulisan "Kami tidak perlu final". "Saya berada di sini untuk memperjuangkan kesehatan, pendidikan, transportasi, dan sedikit untuk sepak bola," kata pria berusia 69 tahun, Nelson Couto, yang mengenakan kaus hijau kuning serupa bendera Brasil. Demonstrasi yang terus menggelora di sekitar 100 kota di Brasil awalnya dipicu kenaikan tarif angkutan bus sebesar US$ 0,1 atau sekitar 7 persen menjadi US$ 1,5, yang ditetapkan 2 Juni lalu. Sudah direncanakan, termasuk melalui jaringan media sosial, protes besar-besaran digelar bersamaan dengan final Piala Konfederasi.
Kenaikan ongkos angkutan umum memang menyedot penghasilan para buruh. Sebab, sekitar 26 persen penghasilan sebulan mereka terkuras untuk membayar angkutan. Sekitar 16 juta orang dari total populasi 196 juta di Brasil hidup dengan gaji kurang dari US$ 44 atau di bawah Rp 450 ribu per bulan.
Analis keuangan Brasil, Ryan Berger, mengatakan beban penduduk Brasil bertambah berat ketika pemerintah menarik pajak setara dengan negara maju, Inggris dan Jerman. Padahal jaminan kesehatan dan pendidikan masih buruk, terutama di pedesaan. Sedangkan inflasi di Brasil mencapai 6,67 persen—melampaui target bank sentral, 6,5 persen. "Saya tidak pernah mendapat satu sen pun dari pemerintah, dan setiap bulan hanya merasakan harga-harga barang semakin mahal," kata Rosineide Lima da Silva, ibu rumah tangga yang tinggal di pinggiran Brasilia, ibu kota Brasil.
Kesenjangan antara orang kaya dan orang miskin juga menjadi pemicu kemarahan publik. Jumlah orang superkaya di Brasil, menurut Forbes, melompat dari 25 orang pada 2012 menjadi 46 miliarder tahun ini. Angka itu sepuluh kali jumlah miliarder di Argentina dan dua kali lipat dibanding Italia. Orang terkaya Brasil, Jorge Paulo Lemann, pemilik saham mayoritas bir terbesar di dunia, Anheuser-Busch InBev. Lemann berpenghasilan US$ 39,8 miliar pada 2012. Jika kekayaan 46 orang superkaya Brasil digabung, jumlahnya mencapai US$ 190 miliar atau lebih besar daripada produk domestik bruto negara tetangga, Peru.
Para pengunjuk rasa juga memprotes karena korupsi merajalela tapi penegakan hukum loyo. Kasus terakhir, 24 pejabat yang terlibat korupsi belum dipenjarakan meski telah divonis bersalah oleh Mahkamah Agung tahun lalu. Alasannya, para terpidana mengajukan permohonan banding. Hukuman bagi mereka pun bisa lebih ringan bila rancangan undang-undang yang membatasi kekuasaan jaksa federal dalam menyeret politikus korup ke penjara, yang sedang dibahas kongres, disahkan. Peraturan yang dikenal sebagai PEC 37 itu merupakan pesanan pembantu mantan presiden Luiz Inacio Lula da Silva. Para anggota kongres dikabarkan telah disuap agar mengegolkan produk hukum itu.
Demi mengatasi keruwetan, Presiden Dilma Rousseff menggelar rapat dengan menteri dan 27 gubernur negara bagian. Ia berjanji membenahi sistem transportasi nasional dengan investasi US$ 25 miliar. Pemerintah juga akan mengimpor tenaga medis dari Kuba, Spanyol, dan Portugal.
Aktivis pergerakan 1985 ini akan membenahi konstitusi, antara lain menjamin pemilihan umum bersih. Biasanya calon anggota kongres harus menyiapkan duit miliaran dolar agar bisa menang. Tindakan ini dianggap sebagai biang korupsi. Pemerintah juga akan lebih tegas menghukum koruptor. "Koruptor akan diganjar hukuman lebih tinggi dibanding pelaku pembunuhan," ujarnya.
Eko Ari Wibowo (Forbes, International Business Times, AP, USA Today)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo