Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Angin Tak Bertiup di Blang Mancung

Gempa Aceh menewaskan sedikitnya 35 orang. Korban jiwa terbesar sejak tsunami 2004.

7 Juli 2013 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SELEPAS makan siang, Sunardi dan Nuamawati bersiap kembali mencangkul di ladang tebu, satu kilometer dari rumah mereka di Desa Blang Mancung, Aceh Tengah. Matahari masih tegak lurus dengan pepohonan kendati sudah lewat beduk zuhur pada Selasa pekan lalu. Diterpa panas tanpa angin, jam istirahat suami-istri ini lewat setengah jam dari biasanya.

Laki-laki 48 tahun itu kembali mengayun cangkul ketika siang mulai redup. Baru beberapa ayunan, Sunardi merasakan bumi bergoyang. Ia tengadah melihat pucuk-pucuk pohon yang bergetar ketika mendengar istrinya berteriak, ”Ayah, ada gempa.” Sunardi melempar cangkul dan mengajak istrinya lari pulang. Perbekalan ladang mereka ditinggalkan di saung. Pikiran Sunardi hanya tertuju pada bocah enam tahun yang ditinggalkan sendiri di rumahnya.

Romi Aditiya terbiasa ditinggalkan ayah dan ibunya ke ladang. Dua kakaknya juga bekerja di pabrik gula di desa mereka. Sambil berlari menyeret istrinya, pikiran Sunardi kalang-kabut. Di jalan pintas menuju rumahnya, ia melihat tetangganya juga panik. Ada yang mulai menangis, meratap, bahkan berteriak.

Di tempat lain, Andre juga berlari meninggalkan pekerjaannya di pabrik tebu. Pikiran remaja 19 tahun ini juga hanya tertuju pada adiknya, Romi Aditiya. Adik bungsunya itu setiap hari bermain layangan di masjid dekat rumah bersama anak-anak lain Desa Blang Mancung. Tak seperti ayah dan ibunya yang berlari ke rumah, Andre berbelok ke masjid yang belum rampung dibangun.

Dengan napas tersengal, ia lemas melihat bangunan dua lantai itu ambruk. Tak satu pun sisi temboknya berdiri. Matanya mencari sekeliling. Pandangannya terantuk pada reruntuhan. Dari balik kayu yang berserakan, ia melihat kepala Romi menyembul. ”Abang, Abang…,” Romi berteriak. Andre menghambur dan mengeluarkan tubuh mungil penuh darah itu.

Andre menjerit melihat kaki kiri Romi hancur hanya menyisakan setengah tulang kering. Anak itu berdiri bertelekan tiang besi. Andre merangkul tubuh adiknya, lalu berlari sekuat tenaga menuju rumahnya. Tapi tak ada orang. Adiknya yang lain entah di mana. Sunardi dan Nuamawati belum tiba. Sambil menangis, ia memeluk erat tubuh Romi dan berlari menuju rumah kakeknya.

Rupanya Sunardi, yang baru tiba dari ladang, melihat anak sulungnya berlari membopong Romi ke rumah ayahnya. Ia pun mengikuti Andre. ”Ayah…” suara Romi sudah lirih. Tangannya melambai menunjuk luka menganga di kakinya yang tak henti meneteskan darah. Sunardi lemas, Nuama­wati menjerit memeluk anaknya. Melihat luka Romi yang terus meneteskan darah, Sunardi membopongnya menuju puskesmas. Tapi rumah pengobatan itu sudah roboh rata tanah.

Orang kian banyak berkumpul di jalan, saling bertanya sanak saudara, menangis, atau bersimpuh di tanah karena terguncang oleh hebatnya gempa. Sejak gempa pertama pukul 14.41 yang dicatat Badan Nasional Penanggulangan Bencana berkekuatan 6,2 skala Richter itu, gempa lain susul-menyusul.

Sunardi terus berlari membopong Romi. Kini ia menuju rumah Bidan Eli. Tapi rumah itu juga sudah roboh. Tak tampak penghuninya di sana. Dua jam ia berlari ke sana-kemari mencari pertolongan. Pilihan satu-satunya hanya tinggal Rumah Sakit Datu Beru di Takengon, yang jaraknya 45 kilometer atau sekitar dua jam perjalanan. ”Selama mencari pertolongan itu, Romi tak menangis. Dia hebat,” katanya.

Ia ingat keponakannya punya mobil bak terbuka. Tapi kaki sang keponakan tak sanggup menginjak pedal karena lemas terguncang gempa. Sunardi berlari lagi menuju rumah tetangganya yang bisa menyetir. Pak Selamat juga menolak permintaannya karena tak yakin sanggup menyetir dalam jarak jauh, selain menjaga keluarganya yang mengalami trauma. Sunardi bersimpuh di kaki Selamat sambil menangis meminta tolong. Selamat akhirnya luluh. Ia mau menyetir mobil itu ke Takengon.

Baru beberapa kilometer lepas dari Blang Mancung, sebuah mobil ambulans milik Komando Distrik Militer Kabupaten Bener Meriah meraung menyisir korban gempa. Romi pun dipindahkan ke sana. Selewat magrib, satu keluarga ini tiba di Takengon. Romi segera ditolong para dokter. Malamnya, dokter mengabari Sunardi akan memotong kaki Romi karena sudah tak mungkin diselamatkan. ”Saya menangis mendengarnya,” ujarnya.

Romi terbaring lemah di bangsal kelas tiga Rumah Sakit Datu Beru ketika Tempo menjenguknya Kamis pekan lalu. Wajahnya tak menyiratkan rasa sakit. Ia malah tersenyum ketika disapa. Padahal jarum infus menancap di tangan kiri dan luka kering menghitam di wajahnya. Kakinya, kaki kiri itu, kini tinggal setengah, berbalut perban dan slang infus.

Dengan wajah dan suara polosnya, Romi bercerita tentang horor pada Selasa siang itu.

Seperti hari-hari lain ketika libur sekolah, Romi membentangkan layangan tokong di lantai dua masjid Blang Mancung. Ada 20 anak yang bermain serupa. Yang paling tua kelas II sekolah menengah atas. Tapi angin mati hari itu. Dibantu Jihan, anak tetangga yang usianya setahun lebih muda, Romi membentangkan layangan warna-warni itu.

Susah payah keduanya meninggikan layangan. Ketika angin semilir berembus dan tokong itu melayang di udara, bunyi keras terdengar dari lantai bawah. Brak! Satu tiang patah. Lantai dua masjid itu pun oleng. Romi melihat tubuh teman-temannya terpelanting. Ia sendiri terlempar ketika lantai itu miring, lalu roboh. ”Saya lihat Jihan jatuh dengan kepala di bawah,” katanya.

Tubuh Romi terkubur reruntuhan beton dan kayu kusen. Tapi pikirannya tetap sadar. Nyeri di kakinya tak ia rasakan. Waktu itu ia belum tahu kakinya remuk. Sambil beringsut, ia menghampiri tubuh Jihan­ yang sudah tak bergerak. ”Saya mau tolong, tapi takut kepalanya lepas,” ujarnya. Dengan sisa tenaga, Romi merangkak naik lewat lubang yang tak tertutup reruntuhan atap. Saat kepalanya menyembul itulah ia melihat kakaknya berdiri di depannya.

Meski skalanya lebih kecil ketimbang gempa 2004, yang mencapai 9,3 skala Richter, lindu pekan lalu itu mengguncang Aceh begitu hebat. Hanya 14 detik guncangan itu menghancurkan sedikitnya 3.503 rumah serta membuat 1.368 rusak berat dan 2.135 lainnya rusak ringan. Hingga Jumat pekan lalu, tercatat 35 orang meninggal—terbesar sejak tsunami yang menerjang Aceh pada 2004—8 orang hilang, dan 166 lainnya luka-luka. Badan Nasional Penanggulangan Bencana menyebutkan 16 ribu orang mengungsi dari rumah mereka.

Menurut Ketua Ikatan Ahli Geologi Indonesia-Aceh Faizal Ardiansyah, guncangan dahsyat itu karena pusatnya yang dangkal, hanya 10 kilometer di bawah tanah sebelah barat daya Kabupaten Bener Meriah. ”Ini bergesernya patahan Semangko yang memanjang membelah Aceh Tengah dari utara ke selatan,” ucapnya.

Dengan pusat yang dangkal itu, kata Faizal, patahan tektonik Semangko mengguncang patahan-patahan kecil lain yang bermuara di Bukit Barisan. Dan patahan-patahan itu melewati daerah perbukitan. Tak seperti gempa yang berpusat di Samudra Hindia pada 2004, gempa kali ini mengakibatkan tanah longsor dan retak jalan di mana-mana. Akibatnya, bantuan medis terlambat masuk posko pengungsian yang tersebar di empat kecamatan di Kabupaten Aceh Tengah.

Bagja Hidayat, Imran M.A. (Aceh Tengah)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus