Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KONGKALIKONG antara dokter dan perusahaan obat terlihat dari resep yang diberikan. Dokter yang terikat "janji" dengan perusahaan obat biasa meresepkan obat yang tidak perlu buat pasien. Misalnya antibiotik dan vitamin. "Padahal kadang cukup dengan dinasihati beristirahat yang cukup dan makan teratur bisa sembuh," kata Zaenal Abidin, Ketua Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (IDI).
Ditemui di Kantor Pusat IDI, Jalan Dr Sam Ratulangi, Menteng, Jakarta Pusat, Jumat tiga pekan lalu, dia mengakui masih ada dokter yang main mata dengan perusahaan. Padahal sanksi bagi dokter yang melakukan hal itu cukup berat, sampai pencabutan izin praktek.
Banyak keluhan masih ada dokter yang suka meresepkan obat yang tak dibutuhkan pasien. Benarkah ini pengaruh kongkalikong dengan perusahaan obat?
Bisa karena orang yang datang ke dokter memang sudah sakit. Tapi saya tidak menutup kemungkinan adanya kerja sama seperti itu, karena Majelis Kehormatan Etika Kedokteran kadang menegur dokter yang melakukan itu, tapi tidak disebut dokter siapa.
Apakah sulit menghentikan kerja sama yang merugikan pasien itu?
Dalam etika kedokteran, dokter dibolehkan mendapat sponsorship berupa biaya transportasi, penginapan, dan makan untuk pendidikan berkelanjutan seperti seminar atau simposium.
Tapi bagaimana jika kemudian, sebagai balas jasa, dokter meresepkan obat-obat dari sponsor tadi untuk pasiennya?
Tidak bisa dihindari jika dokter itu meresepkan obat dari sponsor, asal jangan didikte oleh sponsor. Sekarang kami mendorong agar tidak ada pemberian kepada perorangan, tapi melalui institusi seperti IDI atau organisasi spesialis dokter. Sponsor itu dikumpulkan dan diatur oleh masing-masing institusi sebagai alat preventif sehingga tidak ada lagi dokter yang bermain-main.
Apakah belakangan ini ada laporan ke majelis etik mengenai dugaan persekongkolan perusahaan farmasi dan dokter dalam peresepan obat?
Banyak, tapi kalau terkait dengan obat saya belum tahu.
Kami mendapatkan banyak data dan informasi bahwa masih banyak dokter menerima gratifikasi dari perusahaan farmasi.
Iya, tapi tidak sebanyak dulu. Sebenarnya dulu belum ada aturan gratifikasi, sekarang baru ada. Semuanya sudah berhati-hati untuk menerima macam-macam. Yang tidak boleh begini: ada perusahaan obat datang dan mengatakan, "Resepkan obat saya, sekian resep selama satu tahun, saya kasih kamu mobil." Atau, "Saya kasih kamu mobil sekarang, tapi saya kontrol resep itu."
Kami mendapatkan data ada seribuan dokter menerima uang dari perusahaan farmasi.
Bukti-bukti bisa diserahkan ke kami untuk diteruskan ke majelis etik.
Apa sanksi bagi dokter yang melanggar kode etik atau menerima gratifikasi?
Ada teguran sampai sanksi etik. Kalau berdampak pada disiplin, akan disampaikan ke Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia, yang memberi sanksi administratif. Konsil Kedokteran Indonesia bisa mencabut surat tanda registrasi dokter sehingga tidak bisa praktek. Kalau di IDI, bisa merekomendasikan dokter tidak berpraktek atau izin prakteknya dihentikan sementara.
Ada medical representative mengatakan organisasi spesialis dokter pun menerima uang dari perusahaan farmasi sebagai bentuk kerja sama atas peresepan obat. Bagaimana kalau begitu?
Wah, saya tidak tahu itu. Kalau ada, nanti kami kaji ulang. Tapi, kalau semua perusahaan masuk ke institusi, institusi mau mendorong yang mana?
Pernahkah Anda dilobi medical representative untuk meresepkan obat-obat tertentu?
Dulu mereka datang lalu minta tanda tangan karena mau dilaporkan ke bosnya kalau sudah melakukan kunjungan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo