Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Berkata Indonesia dari Yogya

Kelompok Kampungan menggelar pentas di Taman Ismail Marzuki, 27-28 Oktober 2015. Kelompok dari Yogya yang kerap mengkritik Orde Baru pada 1970-an.

2 November 2015 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Di atas pentas berlatar susunan pisang itu, tabuhan kendang dan rebana, gesekan biola, pukulan gong, petikan gitar melodi, sampai dentingan bonang, sahut-menyahut membuka konser. Sekilas terdengar seperti musik rakyat. Tapi ada unsur blues di sana. Juga jazz, klasik, dan bahkan rock n roll. Lalu lelaki gaek tak beralas kaki yang berdiri di panggung tengah itu mulai bersuara.

"Alam, lepaskan aku dari kotak-kotak kebudayaan. Yang menjadi beban kehidupan ini. Getarkan seluruh tubuh dan jiwaku. Agar aku dapat berkata: Tuhan tidak buta!" Lelaki itu Bram Makahekum, 63 tahun, pemimpin Kelompok Kampungan. Ia menyanyikan lagunya yang pernah populer di kalangan seniman Yogya pada 1970-an: Mereka Mencari Tuhan. Lagu karya Bram itu diciptakan setelah ia nyaris mati tenggelam di pantai selatan Jawa. Saat itu Bram baru saja belajar bermusik. Kadang dia belajar di hutan, lain waktu di pinggir pantai.

Kelompok Kampungan lahir dan besar dalam pengaruh Bengkel Teater milik W.S. Rendra di Yogyakarta. Kelompok ini mulai dikenal setelah tampil dalam Pasar Seni ITB pertama pada 1976. Dari sana mereka rutin manggung dari kampus ke kampus, menyuarakan kritik terhadap kondisi sosial, politik, dan budaya. Lirik mereka lugas.Lagu mereka tentang Sukarno, yang diawali rekaman pidato Sukarno tentang kejayaan Nusantara di masa lampau, sering tak boleh dinyanyikan pada era Orde Baru. Bukan sekali dua kali pentas mereka disabotase. "Kadang, pas manggung, listrik tiba-tiba mati. Tapi, kalau dengan yang berbaju hijau (tentara), kita sopan," kata Bram.

Kelompok ini pekan lalu manggung di Graha Bakti Budaya Taman Ismail Marzuki, Jakarta. Sedianya Hariman Siregar, aktivis Malari; dan tokoh Muhammadiyah, Ahmad Syafii Maarif, membacakan orasi budaya dalam konser itu. Sayang, keduanya tak bisa hadir. Hariman harus bertolak ke Amerika Serikat menemani Presiden Joko Widodo di saat akhir, sedangkan Syafii Maarif mundur karena iklan rokok dalam konser ini. Keduanya digantikan oleh aktivis dewan mahasiswa Indro Tjahjono dan budayawan Radhar Panca Dahana.

Bram juga menggaet Iwan Fals untuk menyanyikan lagunya: Arti Hidup, Kontemplasi, dan Kalau. Begitu Iwan Fals naik, karisma Bram tertelan. Suara Iwan yang gahar langsung melahap "kesaktian" suara Bram yang agak cempreng saat mereka berduet. Iwan sembilan tahun lebih muda dari Bram. Iwan suka mendengarkan Kelompok Kampungan saat masih SMP. Namun Iwan baru bertemu dengan Bram setelah sukses dengan Umar Bakrie.

Kelompok Kampungan pernah menerbitkan album di bawah label Akurama Record. "Sebenarnya kami menolak ikut arus industri. Tetapi, karena pemiliknya benar-benar berusaha, kami bersedia hanya untuk satu album," kata Edi Haryono, bekas anggota Bengkel Teater, yang ikut bermain perkusi. Album itu selesai pada 1980 dan pemerintah langsung melarang distribusi album ini. Bram sendiri kerap diundang untuk reissue album tersebut. "Album itu sudah di-reissue lima kali. Terakhir dua tahun lalu di Kanada, pernah juga di Jerman," kata Bram.

Dengarkan lagu Berkata Indonesia dari Yogyakarta . "Ini lagu tentang pluralisme di Yogya. Dulu di Yogya tahun 70-an banyak terjadi perkelahian antarsuku. Lagu ini turut mencegah dan mengingatkan," kata Bram. Lagu ini menceritakan betapa di Yogya mengalir mahasiswa dari seluruh Indonesia. Mereka mulanya sendiri-sendiri tapi kemudian bersatu melakukan pergerakan melawan Orde Baru. Pada 1970-an lagu ini mungkin menggetarkan. Lagu ini seolah peringatan "suci" dari Yogya. Tapi malam itu kita melihat sekadar nostalgia. Bahwa mereka pernah menjadi "sesuatu" pada 1970-an.

Amandra M. Megarani

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus