Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Nyaris tanpa perabot, ruang besar itu seperti menenggelamkan Harmoko di tengah kekosongan. Dindingnya yang bercat putih mulai kusam. Hanya ada beberapa meja kecil dan seperangkat sofa hitam di sana. Pigura dengan lukisan anggrek warna merah muda tak banyak menolong suasana. Tak ada buku, tak ada tumpukan koran, dan sama sekali bersih dari kertas berserakan yang mencerminkan kesibukan.
Di situlah Harmoko kini berkantor, di ruang 7x4 meter lantai dua Gedung Metro Pos milik kelompok penerbitan Pos Kota. Dia kembali menekuni profesi lamanya: rutin menulis kolom "Kopi Pagi" untuk koran yang dibaca jutaan warga Jakarta itu.
Dari Pos Kota kembali ke Pos Kota. Di koran itulah Harmoko memulai karier sebagai wartawan, sebelum akhirnya sempat mencapai jabatan paling tinggi di negeri ini?Ketua MPR. Ke situ pula dia kembali setelah ingar-bingar kekuasaan lewat.
Tapi menulis hanya salah satu pekerjaan bagi Harmoko?bahkan sampingan. Waktunya kini lebih banyak disita untuk urusan bisnis. Dengan tiras terbesar di negeri ini, koran itu mengalirkan keuntungan miliaran rupiah setiap tahun. Bertahan terbit selama tiga dasawarsa, Pos Kota bahkan kini menjadi pusat dari sebuah konglomerasi media.
"Tapi tidak semua media dalam grup ini menguntungkan," kata Harmoko kepada TEMPO dua pekan lalu. "Kami sedang mempertimbangkan untuk menutup harian Terbit karena terus merugi." Koran sore Terbit adalah satu dari belasan media yang sebagian sahamnya dia miliki dan muncul pada masa kejayaan Harmoko sebagai Menteri Penerangan.
Meski tidak semua media bertelur emas seperti Pos Kota, Harmoko beruntung masih memiliki kuasa atas sebagian media yang pernah dia besarkan. Lebih dari itu, dia kini hanya bertarung melawan hukum besi bisnis: persaingan pasar, tempat Pos Kota telah menancapkan kukunya dengan baik. Dan bukan ancaman bredel, yang di tangan Harmoko dulu pernah menjadi hantu belau bagi setiap pengusaha pers.
Luasnya kekuasaan Departemen Penerangan pada zaman dulu pada kenyataannya tak hanya membuat Harmoko leluasa membangun imperium bisnis medianya, tapi juga menjadi modal besarnya di lapangan politik, yang kelak mengantarkan dia menjadi orang sipil pertama yang memimpin Golkar. Alasannya jelas, departemen itu tak hanya berwenang mengeluarkan izin baru penerbitan, atau yang dikenal dengan SIUPP, tapi juga "membina" pers, mengendalikan pemberitaan, dan menentukan hidup matinya koran atau majalah. Dan Harmoko melakukannya dengan sempurna.
Harmoko barangkali orang kepercayaan paling efektif bagi Soeharto. Wartawan senior Muhamad Chudori bercerita bagaimana setiap bulan Harmoko memanggil para pemimpin redaksi untuk mendengarkan wejangannya selama berjam-jam. "Harmoko akan bicara tentang beberapa hal yang disampaikan oleh Presiden kepadanya," kata Chudori, mantan Pemimpin Redaksi Kantor Berita Antara. "Dia meneruskan petunjuk itu kepada kami."
Chudori juga tak pernah lupa pesan rutin Harmoko kepada para pemimpin redaksi yang hanya bisa mengangguk-angguk: jangan menempatkan berita bagus tentang Soeharto di halaman dalam atau belakang.
Media pemerintah seperti Antara, RRI, dan TVRI bahkan menerima briefing mingguan. "Kami diberi tahu mana yang boleh, mana yang tidak boleh dimuat atau disiarkan," kata Chudori. "Salah satunya adalah jangan memberitakan apa pun yang negatif tentang Soeharto dan keluarganya."
Ketua Pelaksana Harian Leo Batubara dari Serikat Pekerja Suratkabar yang beberapa kali pernah ikut dalam acara briefing Menteri Penerangan melukiskan, "Suasana itu lebih tepat disebut monolog ketimbang dialog." Tapi siapa yang berani menolak untuk hadir dalam pertemuan "menerima petunjuk" pada masa itu?
Para penerbit dan redaktur sadar belaka betapa perlunya memelihara rapor yang bersih. Sopan santun adalah salah satunya. Dahlan Iskan, misalnya, tahu benar pentingnya urusan tata krama di depan Harmoko kala itu dan menjadikannya resep manjur untuk membangun konglomerasi bisnisnya sendiri: Kelompok Jawa Pos. Jika ada yang tidak beres dengan pemberitaan Jawa Pos, Dahlan memilih menghadap terlebih dahulu sebelum dimarahi. Dengan pendekatan model Jawa, Dahlan akan berkata "Pak, nyuwun duko," mohon dimarahi, sebelum mendapat teguran.
Dengan resep seperti itulah antara lain Jawa Pos bisa bertahan. "Meski saya ini relatif melanggar aturan, toh tidak pernah ditindak," katanya. Dahlan memang punya hubungan dekat dengan Harmoko dan disebut sebagai salah satu orang yang bisa dipercayainya. Kedekatan itu membawa keuntungan ketika Dahlan mulai memperluas bisnisnya dan mengurus izin-izin penerbitan baru. "Saya sama sekali tak pernah dipersulit," katanya. Dahlan bahkan mengaku tidak harus memberi saham kosong kepada Harmoko seperti dilakukan pengusaha lain.
Tidak setiap orang dan pendatang baru memang mudah mendapat izin penerbitan. Kecuali teman yang bisa dipercaya Harmoko, keluarga dekat, dan orang-orang yang tidak berseberangan, pencari izin penerbitan harus bertarung dengan birokrasi yang berbelit-belit, bahkan setelah memenuhi semua persyaratan resmi (lihat Jalan Berliku Menuju SIUPP).
Sebetulnya tersedia jalur cepat. Hanya ongkosnya tidak kira-kira. Harga izin penerbitan di masa itu mencapai ratusan juta rupiah, sebagian besar di antaranya masuk kocek Harmoko dan keluarganya, baik dalam bentuk upeti maupun opsi saham kosong. Dengan cara itulah Harmoko membangun jaringan luas kepemilikan saham media.
Salah satu kunci sukses bisnis adalah memperkecil munculnya pesaing dan memperluas jaringan sinergi. Harmoko menggenggam kunci emas dalam hal itu. SIUPP tak hanya memberi berkah pada dia sendiri, tapi juga keluarganya. Meski untuk mengurus izin itu diperlukan surat rekomendasi dari Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) dan Serikat Pekerja Suratkabar (SPS), nama Harmoko dan keluarga menjadi jaminan kecepatan. Direktur Eksekutif SPS Suryana punya ceritera sendiri tentang hal ini. Pernah suatu siang datang seorang adik Harmoko meminta rekomendasi dari lembaganya. "Dia mendesak agar surat rekomendasi sudah keluar petang harinya," kata Suryana. "Akhirnya terpaksa kami penuhi meski biasanya surat seperti itu perlu waktu tiga hari."
Tak mengherankan jika Harmoko dan keluarga menjadi rekanan potensial bagi setiap penerbitan baru. Dia dan kerabatnya digandeng Grup Suara Merdeka untuk menerbitkan koran Wawasan di Semarang, misalnya. Bersama Grup Bisnis Indonesia mereka memiliki Solopos di Solo. Dan dengan Grup Gramedia mereka melahirkan harian Surya di Surabaya. Di puncak masa jayanya, menurut data resmi yang dikeluarkan SPS, saham Harmoko dan keluarganya tersebar di puluhan media cetak, bahkan di televisi swasta (lihat Menjadi Murdoch tanpa Keringat).
SIUPP sebetulnya bukan ide orisinal Harmoko. Ali Moertopo-lah, Menteri Penerangan sebelumnya, yang pertama kali mencetuskan gagasan ini. Ide awalnya tidak jelek amat: membatasi kelompok bisnis media besar agar tidak melibat penerbit kecil, terutama di daerah. Pertama kali ditetapkan dalam Undang-Undang Pokok Pers pada 1982. Dua tahun kemudian, Harmoko meneken peraturan menteri yang mengatur teknis penerapannya.
Belakangan menjadi senjata penekan media untuk tunduk pada kemauan pemerintah, SIUPP itu juga jauh melenceng dari tujuan awal yang lain, yakni menyejahterakan karyawan pers dengan memberi mereka saham 20 persen di media tempatnya bekerja. Para pemilik media justru lebih sibuk memikirkan jatah saham bagi Harmoko dan keluarganya, sebagai imbalan keluarnya izin.
Shirato Sjafei, bekas Pemimpin Umum Bisnis Indonesia, memberi jawaban yang amat pragmatis ketika ditanya kenapa harian itu memberi jatah saham kepada istri Harmoko, Sri Romadhiyati. Setelah lelah mengurus keluarnya SIUPP Bisnis Indonesia selama setahun, para pendiri koran tersebut rupanya memutuskan untuk masuk jalur cepat. Dan Shirato menjadi utusan. "Saya sendiri yang mengantarkan bukti penyerahan saham itu ke rumah Harmoko," kata Shirato. Bisnis Indonesia memberi Romadhiyati saham kosong 20 persen atau senilai Rp 60 juta. "Tarifnya memang segitu," dia melanjutkan.
Arswendo Atmowiloto, pelopor dunia tabloid hiburan di Indonesia, juga punya pengalaman khusus di jalur cepat ini. Wendo benar-benar mau efisien dengan waktu. Di samping menawari saham kosong, yakni atas nama orang-orang yang disebut Harmoko dari kalangan kerabatnya, dia juga membawa gepokan uang kontan jutaan rupiah untuk memperlicin jalannya izin (lihat Kuasa Tiga Dewa).
Meski pengakuan Wendo dan Shirato diperkuat oleh data SPS, Harmoko sendiri menolak pernah menerima suap. "Itu fitnah. Saya masih punya moral dan menjunjungnya dengan tinggi," katanya. "Saya tidak pernah menerima uang, saham kosong, atau memberi fasilitas kepada saudara-saudara saya" (lihat wawancara dengan Harmoko: "Itu Fitnah!")
Tidak semua barangkali merupakan kesalahan Harmoko sendiri. Tapi regulasi berbelit, yang memaksa orang memilih jalan pintas, memang akhirnya menguntungkan dia. "Sistemlah yang memungkinkan dia mendapatkan keuntungan dari posisinya, baik ekonomis maupun politis," kata Goenawan Mohamad, bekas Pemimpin Redaksi TEMPO. "Tapi yang menggunakan SIUPP untuk mendapatkan saham hanya Harmoko."
Dia juga memanfaatkan aturan itu untuk mengendalikan aspek bisnis media secara umum. Dikenal sebagai orang yang amat tertib dalam hal administratif, Harmoko tak hanya peduli dengan aspek prinsipiil seperti perizinan, tapi juga dengan detail setiap aturan dalam SIUPP. Tak hanya menyangkut persentase iklan dan tebalnya halaman, tapi juga ukuran penerbitan. Urusan dua sentimeter bahkan bisa membawa celaka pada sebuah media. Itulah nasib yang dialami majalah Vista, majalah hiburan yang diberi surat peringatan pertama dan terakhir gara-gara ukurannya kelebihan dua senti.
Dianggap dewa bagi para pengusaha pers, Harmoko sendiri melayani Soeharto seperti layaknya abdi yang setia?resep lain dari suksesnya, terutama di lingkungan politik. Kerja keras Harmoko dalam mengontrol pers tidak sia-sia. Tiga periode Soeharto memilihnya menjadi Menteri Penerangan. Dia memang penyambung lidah Soeharto yang sempurna.
Jadi, tidak mengherankan jika pamornya menjulur jauh melewati halaman Departemen Penerangan. Pada 1993, dia terpilih menjadi Ketua Umum Golkar, partai pendukung Soeharto selama Orde Baru, yang sebelumnya hanya pernah dipimpin bekas jenderal. Melalui partai ini pula, Harmoko naik ke jenjang lebih tinggi. Pada 1997, Soeharto memberinya restu untuk memimpin MPR/DPR?sebuah pilihan yang terbukti "meleset".
Di tengah tekanan kerusuhan besar, adalah Harmoko yang memandu para pemimpin DPR pada 16 Mei 1998 ke Istana Merdeka dan meminta Soeharto mundur dari kursinya. Padahal, baru dua bulan sebelumnya, Harmoko gencar menjamin bahwa semua fraksi di DPR bulat hati meminta Soeharto untuk menjadi presiden yang ketujuh kalinya.
Manuver politik itu tidak membuatnya bisa bertahan di lingkungan politik. Tapi kelihaian Harmoko menghadapi zaman adalah sebuah rahasia bagaimana dia bertahan dan lolos di tengah lautan kejengkelan dan kebencian manusia terhadap semua yang berbau "Orde Baru". Dia hidup tenang, nyaris dilupakan, sementara rekan-rekannya datang dan pergi ke pengadilan, sembari singgah di kantor tahanan polisi. Seorang kawan dekatnya di Solo melukiskan salah satu kekuatan Harmoko adalah karena dia mampu menyerap tradisi ngenger (menumpang) dalam setiap tahap hidupnya.
Jauh di masa silam, di stasiun kereta api Kertosono, Nganjuk, Harmoko menenteng sebuah koper seng sembari mendengarkan nasihat ibundanya, Nyonya Asmoprawiro. Itulah episode yang kemudian diceritakan kembali dalam biografinya: 50 Tahun Harmoko. Saat itu Harmoko tengah menanti kereta yang akan membawanya ke Blora, ke rumah Ariadji, kakak sulungnya. Oleh sang ibu dia diminta ngenger kepada abangnya: berlaku sebagai adik, belajar taat, juga disiplin. "Ngenger itu ikut serta. Bukan ikut saja," kata sang ibu. "Jadi kamu harus benar-benar menyatu dengan masmu itu."
Nasihat itu melekat seperti mercu yang memandunya hampir sepanjang hidup: dia menyatu dalam kekuasaan Soeharto sedemikian rupa, sehingga "darah wartawan"-nya tak sanggup mencegah kematian enam media selama masa pemerintahannya. Dia juga menyatu dalam masa yang baru setelah lewatnya Soeharto: saham-saham yang pernah diterima keluarganya buru-buru dikembalikan setelah reformasi menggelegak pada 1998.
Seorang wartawan mingguan yang pernah merasakan pahitnya berurusan dengan Harmoko sekali waktu berkata dengan gusar, "Dia selalu mengatakan berdarah wartawan," katanya. "Tapi, dalam prakteknya, Harmoko seperti dalang yang melupakan wayang."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo