Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Investigasi

Uang Lelaki, Katanya

Setoran bulanan harus diserahkan langsung ke meja Harmoko. Berapa yang didapat Harmoko dan kerabatnya?

12 Januari 2003 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pernah ada suatu masa ketika Arswendo Atmowiloto menjadi tamu terpenting Harmoko, setiap bulan. Dia mengaku datang membawa uang setoran puluhan juta rupiah buat sang Menteri Penerangan. "Uang lelaki," kata Wendo, mengutip istilah yang dipakai Harmoko. Bagi orang Jawa, "uang lelaki" bisa berarti penghasilan sampingan yang tidak harus diketahui istri. Nafkah sampingan yang lumayan besar. Kadang Wendo membawa tas penuh uang kontan senilai Rp 50 juta-75 juta. Kali lain, Harmoko lebih suka menerima cek. Baik kontan maupun cek, setoran itu harus diserahkan langsung ke meja Bos. Kuitansi yang harus diteken Harmoko biasanya ditulisi: "Untuk Biaya Konsultasi". Wendo, dan Kelompok Kompas-Gramedia yang dulu pernah mempekerjakannya, memang menjadi salah satu ladang uang utama bagi Harmoko. Pada dasawarsa 1980, Wendo menerbitkan Monitor?tabloid "lheer", menurut istilahnya sendiri, yang mengungkap kehidupan artis dan dunia televisi secara blak-blakan. Tabloid itu laris manis pada era ketika politik menjadi wilayah tabu. Sementara itu, Gramedia adalah konglomerasi bisnis media terbesar yang dari waktu ke waktu terus menambah jumlah penerbitannya. Dari enam izin penerbitan (atau SIUPP) yang pernah diurus Wendo, Harmoko mendapat rata-rata Rp 10 juta setiap bulan per media yang sudah diterbitkan. Tapi, menurut Wendo, bahkan jauh sebelum izin keluar, Gramedia umumnya sudah harus membayar uang pesanan Rp 250 juta per penerbitan. Dan cobalah kalikan enam dari izin yang diurus Wendo saja. Akan halnya Harmoko membantah menerima setoran bulanan dari Wendo. "Itu tidak benar, kalau dividen memang saya terima." Pernah satu kali Harmoko meminta Rp 75 juta uang muka untuk izin majalah Kawanku milik Gramedia. Tapi bahkan Wendo tidak merasa rugi memberinya Rp 150 juta alias dua kali lipat. Harmoko kadang memilih menguasai saham untuk mendapatkan dividen 5-30 persen saham kosong tiap media, tergantung seberapa ketat negosiasinya. Meski dia mengatakan hanya menerima dividen setiap tahun seperti lazimnya, Wendo mengaku menyetor lebih sering. Dari sahamnya di Monitor, misalnya, Harmoko memperoleh dari Wendo tiap semester sebesar Rp 600 juta. Gramedia hanya salah satu. Dan dari izin penerbitan, Harmoko bahkan menghasilkan "uang perempuan" juga. Pada 1997, menurut majalah Tajuk, istri Harmoko, Sri Rodhiyati, menerima dividen Rp 135 juta dari sahamnya sebesar 19,5 persen di harian Bisnis Indonesia. Rodhiyati terdaftar sebagai pemilik koran itu selama 12 tahun sebelum akhirnya, setelah reformasi, saham itu dialihkan kepada yayasan karyawan Bisnis Indonesia. Selain uang lelaki dan perempuan, ada juga uang adik-kakak dan ipar. Tiga saudara kandung Harmoko?Adi Sutrisno, Adi Husodo, dan Ariadji?memiliki saham pula, terutama di kelompok media milik pengusaha Ciputra, Sedaya Citra Media, yang menerbitkan tabloid Aura, Bintang Indonesia, dan Fantasi. Dari tiga media yang juga dipelopori Arswendo ini, saudara sekandung itu menerima sedikitnya Rp 20 juta-50 juta sebulan. Ketika dimintai konfirmasinya, Ariadji mengelak menjawab perannya dalam kelompok media itu. "Urusan pers itu urusan Pak Harmoko," ujarnya. Tapi Aryatmoko, anak Ariadji yang kini bekerja di bagian promosi Bintang Indonesia, mengatakan saham ayahnya sudah dialihkan semua kepada pengusaha Ciputra. Adik ipar Harmoko, yakni Yahya Zuraida Hasan, juga menerima dividen jutaan rupiah dari sahamnya di stasiun televisi SCTV. Tapi, setelah reformasi, pada 1998 dia harus ikut keluar modal juga. Ketika SCTV memerlukan modal tambahan sekitar Rp 300 miliar, Zuraida ikut andil Rp 1,5 miliar. Di harian berbahasa Inggris The Jakarta Post, Harmoko juga memiliki saham. Pemimpin Redaksi The Jakarta Post Raymond Toruan membenarkan ada hadiah saham kosong sekitar 4 persen ketika harian itu didirikan. "Setoran uang untuk empat persen saham itu ditanggung oleh para pendiri harian ini," ujarnya kepada TEMPO. Tapi Harmoko membantah soal saham gratis tersebut: "Saya ikut setor modal," katanya. Kini sebagian media milik Harmoko dan kerabatnya itu sudah gulung tikar, bahkan ada yang belum sempat diterbitkan sama sekali. Seperti diakuinya sendiri kepada TEMPO, hanya tinggal kelompok media Pos Kota, The Jakarta Post, dan sebagian koran yang diterbitkan bersama Grup Jawa Pos yang masih jadi tambang uang buatnya. Akan halnya tabloid Monitor, telur emas Wendo, sudah lama almarhum karena alasan lain. Pada akhir dasawarsa 1980, kalangan Islam memprotesnya melecehkan Nabi Muhammad. Terlalu panas untuk diselamatkan, baik Gramedia maupun Harmoko memilih menutupnya. Wendo berhenti menjadi tamu istimewa yang setia datang ke meja Harmoko. Dia masuk penjara.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus